"Bukankah kau melihat wajah pelakunya, Professor Zenna?" Sebuah pertanyaan dengan nada melengking terdengar menggema di ruangan berukuran kecil itu.
Sayangnya, wanita yang tengah ditanyai hanya diam membisu, tatapan matanya pun terlihat sangat tenang, seperti air di danau. Melihat wanita yang begitu tidak berekspresi membuat polisi itu menjadi frustasi.
Beberapa orang yang berada di balik ruangan pun hanya bisa menghela napas kasar, seperti tidak menemukan titik temu antar kasus yang telah tertunda investigasinya. Kematian salah satu anggota mereka, membuat pukulan telak. Itu adalah sebuah peringatan, peringatan untuk tidak menyelidiki lebih lanjut sebuah kasus yang tengah mereka kerjakan.
"Saya tidak mengingatnya!" jawab Zenna dengan sangat tenang. "Saya tidak mengingat kejadian setelah penembakan itu," tegasnya.
"Kita kehilangan salah satu anggota inti tim rahasia tapi kau baru saja mengatakan tidak mengatakan kejadian yang terjadi satu tahun lalu?"
Terdengar deritan pintu yang terbuka, seorang pria memakai kacamata datang mencoba untuk menenangkan suasana.
"Zenna baru saja bangun dari koma, Pak. Bisakah kita memberinya waktu sampai benar-benar sembuh?" Suara pria itu terdengar begitu menenangkan, apalagi saat dia memohon, sangat sopan.
Hanya decakan kecil terdengar. "Sampai kapan kita harus kehilangan orang-orang yang berbakat!" gerutunya sambil keluar dari ruangan introgasi.
Zenna masih duduk diam, kepalanya mendongak melihat pria yang baru saja masuk itu. "Ayo, aku akan mengantarkanmu kembali ke rumah sakit," ucap pria itu dengan nada lembut. "Maaf, seharusnya aku bisa mencegah para atasan agar tidak memaksamu."
Tanpa mengatakan apapun, Zenna memilih keluar dari ruangan. Dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi, setelah membuka mata dia bahkan tidak bisa menghadiri pemakaman Kenneth. Satu tahun telah berlalu.
Pria yang tengah berada disampingnya mengatakan jika dia mendapatkan luka tembak dititik vital, membuatnya hampir mati. Andai saja, terlambat sedikit saja mungkin dia pun ikut dimakamkan di hari yang sama dengan Kenneth.
"Setelah investigasi kali ini, keluarlah dari tim, Zen!" ucap pria itu sambil menghentikan langkah Zenna, dia membalikan tubuh wanita itu agar melihat ke arahnya. "Kau tidak boleh terseret lebih jauh ke dalam kasus ini. Aku minta maaf, seharusnya aku tidak menyarankan dirimu ikut serta dalam investigasi kami!"
"Aku harus menemukan pelakunya, Jeho! Ken mati karena menyelamatku!" Zenna menolak dengan tegas, dia kekeh jika tidak ingin keluar dari tim.
Pria yang dipanggil Jeho oleh Zenna, memperkuat cengkramannya pada bahu Zenna. "Apa setelah kejadian yang menimpa Ken, kau masih ingin tetap berada di tim?" Jeho terlihat sangat tidak setuju dengan keputusan yang diambil wanita dihadapannya.
"Bukankah kau juga sama, seharusnya kau keluar!" bantah Zenna.
"Zenn ... Jebal!"
Zenna hanya diam sambil melepaskan cengkraman tangan Jeho dari bahunya. "Kita sudah sampai seperti ini, aku kehilangan Ken. Tidak mungkin aku keluar, aku harus menemukan pembunuhnya."
"Kau yang mereka incar. Sejak awal kau adalah target mereka! Kali ini saja, apa kau bisa tidak keras kepala, huh?" Jeho memohon menatap wajah Zenna. "Please, aku tidak mau kehilanganmu juga!" tambahnya.
"Kang Jeho. Aku yang memutuskan apa yang akan kulakukan! Kalian membutuhkanku, jadi kenapa kalian tidak akan melibatkanku."
Mendengar perkataan Zenna, Jeho hanya bisa menghela napas kasar sambil mengacak rambutnya. "Kau benar-benar sangat susah diatur!" geram Jeho.
Walaupun dia tahu watak dari wanita bersamanya tapi tetap saja dia memohon agar Zenna keluar. Jeho akui jika Zenna sangat diperlukan dalam menyelesaikan kasus. Kecerdasaan Zenna sejauh ini mampu membuat perkembangan kasus semakin dekat dengan apa yang mereka cari.
Baru beberapa langkah Zenna berjalan, tiba-tiba kepalanya pusing membuatnya harus mencari sesuatu untuk dipegang. Dinding di dekatnya menjadi sandaran sementara, tangannya gemetar mencari pegangan yang lebih stabil. Pandangannya mulai kabur, dan ia bisa merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Jeho yang melihat itu dari kejauhan, segera berlari mendekat. Wajahnya penuh kekhawatiran. "Zenna! Kau baik-baik saja?" tanyanya, nada suaranya terdengar cemas.
Zenna berusaha tersenyum lemah, namun sebelum ia sempat menjawab, tubuhnya hampir ambruk ke lantai. Jeho berhasil menangkapnya tepat waktu, memeluk Zenna dengan erat.
"Kau tidak seharusnya dipanggil dalam keadaan seperti ini," geramnya. Matanya menatap tajam ke arah petugas yang ada di dekat mereka. "Para petinggi, sialan. Mereka harusnya menunggumu sehat dulu sebelum mengintrogasimu!" seru Jeho dengan penuh kekesalan. Dia bukan membantu Zenna berjalan, dia memilih untuk menggendongnya.
"Jeho, apa yang kau lakukan? Lepas!" rengek Zenna memberontak. Dia tidak bisa membiarkan Jeho mengendongnya, apalagi mereka berada di kantor polisi, banyak petugas yang tengah berjaga.
Seberapa keras usaha Zenna untuk melepaskan diri dari gendongan Jeho, dia tetap tidak bisa. Kekuatannya kalah jauh, apalagi saat ini tubuhnya masih dalam keadaan lemah.
"Diamlah, Zenn. Aku sedang membantumu. Kau pikir, aku bisa membuatmu berjalan sampai mobil dengan tubuhmu seperti ini?"
Tidak punya pilihan, Zenna pun memilih diam membiarkan Jeho menggendongnya sampai mobil. Walaupun semua tatapan mata tertuju pada mereka tapi Jeho tidak mempedulikannya.
Semua orang bisa melihat jika Jeho memendam perasaan untuk wanita yang tengah digendongnya, sayangnya Zenna selalu memberikan batasan jika mereka adalah teman. Saat Zenna tidak sadarkan diri, Jeho adalah pria yang selalu menemaninya di rumah sakit.
"Kau pasti kesal karena aku tidak menuruti saranmu tapi, Jeho—aku—" Suara Zenna terdengar lemah, dia pun sangat berhati-hati dalam berbicara.
"Kita bahas itu nanti saja. Kau harus segera diperiksa dokter!"
"Karena aku Ken terbunuh. Kau pasti membenciku 'kan? Kau bilang aku adalah target mereka, jika bukan karena menolongku kau pasti tidak akan kehilangan Ken!"
Jeho hanya diam, sepanjang jalan. Dia membiarkan Zenna meluapkan apa yang ingin dikatakan. Mungkin itu lebih baik daripada wanita yang dalam pelukannya memilih memendamnya sendiri.
Bahkan Zenna tidak menyadari jika mereka telah sampai diparkiran. Jeho membuka pintu mobil dan meletakan Zenna di kursi penumpang.
"Jika aku jadi Ken, aku pun akan melakukan hal yang sama!" ucap Jeho sambil memakaikan seatbelt. "Tidak ada yang ingin kehilangan orang yang dicintai di depan mata."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Monster | Save My Heart
RomanceKang Haneul terpaksa menikah, setelah kalah taruhan dengan Zenna Kyra Myesha, wanita yang di temuinya di TKP pembunuhan, tidak lain adalah seorang Profesor Psikolog Kriminal. Di tengah Investigasi, mereka berdua dihadapkan pada sebuah fakta besar ya...