47. Usai 'Kah Sampai Di Sini?

76 5 0
                                    

By the way gaesss, maaf banget kalo aku ngulur-ngulur waktu buat sampe ke ending. Jujur setiap kali mau di selesaiin tuh selalu kurang sreg. Karena takut alurnya ngaco dan gak nyambung. Jadi aku bener-bener mau nyusun alur yang pas dan enak dibaca untuk endingnya.

Sekali lagi aku minta maaf yaaaa :(

_____

Deburan ombak terdengar ke telinga Thalia, yang kini tengah bermain di pantai bersama dengan Eca, Angga, dan Jeron. Faldi tak bisa ikut di karenakan liburan ke Bandung bersama dengan keluarganya.

Cukup banyak yang berkunjung ke sana karena ini hari libur tahun ajaran baru bagi anak-anak sekolah. Beruntung pantai yang mereka kunjungi saat ini tidak sampai membludak seperti tahun baru kemarin. Jadi mereka aman untuk masuk dan menikmati segala yang ada di kawasan tersebut.

Sejak dua jam yang lalu, yang Thalia lakukan hanya diam menikmati semilir angin ditemani Jeron di sampingnya. Ia hanya memerhatikan Eca dan Angga dari tempat duduknya saja. Ia malas harus terkena air laut karena tidak membawa pakaian cadangan.

Jeron yang di samping Thalia hanya diam tanpa mengganggu kegiatan Thalia sama sekali. Ia memerhatikan ke hamparan air laut yang cukup jernih, dengan tangan yang beberapa kali membidik foto melalui ponselnya. Namun, meski mereka tengah berlibur seperti sekarang ini, nyawa Thalia tidak ada di sini sama sekali.

Sejak mendapat surat dari Regan dan Tara kala itu, Thalia justru semakin berharap hari itu akan tiba. Hari di mana Tara dan Regan kembali ke hadapan Thalia dan mereka semua. Tapi harapan tersebut justru berubah menjadi yang menyakitkan.

Jeron paham mengenai perasaan Thalia. Ia pun bahkan merasa bersalah dengan kesedihan Thalia yang tak kunjung usai. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti arus. Karena takdir tak pernah tahu ke depannya akan seperti apa.

Dering panggilan pada ponsel Jeron berbunyi. Hal tersebut mampu membuyarkan lamunan mereka berdua.

"Ta, gue angkat telfon dulu, ya."

Thalia mengangguk menatap Jeron yang kini mulai melangkah agak menjauh darinya.

Lagi-lagi helaan nafas menguar dari mulut Thalia. Rasanya begitu hampa tanpa dua anak kembar yang hadir di sini. Satu tahun setelah surat itu dikirim padanya, tak ada lagi kabar apapun tentang keduanya. Sosial media Regan dan Tara sama-sama tidak aktif. Harapannya semu tanpa ada titik terang. Apakah pertemuan mereka hanya lah sebuah permainan takdir? Lantas, kenapa perasaan ini dengan kurang ajarnya hadir jika semua itu hanya fana?

***

Jeron masih setia menemani Thalia yang kini tengah melamun di teras depan villa tempat inap mereka. Gelapnya malam, mampu membuat keduanya seakan menyelami kisah yang tak ada ujungnya.

"Ta, mau sampe kapan lo kaya gini? Lo gak lelah tiap hari cuma ngelamun tanpa mikirin diri lo sendiri? Apa dengan ketidakhadiran mereka buat lo harus jadi kaya gini?"

Jeron yang sudah tak bisa membendung pikirannya, kini mulai berujar dengan gamblang pada Thalia.

Thalia bungkam tanpa ada kata yang keluar dari mulutnya. Hal itu tentu membuat Jeron frustrasi hingga mengusap wajahnya kasar.

"Ta, dengerin gue! Bukan cuma elo yang sakit saat mereka gak ada, tapi gue, Angga, dan Faldi juga ngerasain hal yang sama. Gue juga sampe pusing dan bingung karena nunggu kabar dari mereka. Tapi apa gue jadi kaya orang ling-lung dan manusia tanpa jiwa? Enggak, Ta. Karena gue tau hidup gue gak stuck ditempat. Paham, Ta?"

"Ron, gue ... maaf." Thalia berujar lirih dengan kepala menunduk.

"Gue cuma mau liat lo yang dulu, Thalia yang biasanya. Kemarin lo bahkan udah baik-baik aja tapi sekarang, lo murung kaya gini lagi. Lo liat sahabat lo, Ta! Eca, di depan lo dia berusaha baik-baik aja tapi di belakang lo, dia rapuh, Ta. Dia bingung dan kecewa sama dirinya sendiri karena lo kembali jadi diri Thalia yang murung dan menyedihkan." Ada jeda sebentar dari mulut Jeron karena menetralkan rasa emosi. Kemudian ia menatap Thalia kembali dengan lekat seraya helaan nafas menguar dari mulutnya.

"Liat orang-orang di sekitar lo, Ta, kaya Eca, kedua orang tua lo. Mereka sayang sama lo dan gak mau liat lo kaya gini terus-terusan. Cukup jadi Thalia yang baik-baik aja tanpa terlihat rapuh dan menyedihkan."

Usai berbicara seperti itu, Jeron memilih untuk bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan Thalia yang merenungi setiap ucapan Jeron dengan air mata yang meleleh.

***

Jeron duduk dengan rokok yang menyala di sela bibirnya. Tangannya tak berhenti dari layar ponsel yang menyala. Seakan titik fokusnya hanya di sana sampai tak mengalihkan ke arah yang lain.

Tak lama dari itu, Angga datang seraya membawa dua gelas kopi di tangannya dan mulai memosisikan duduk di samping Jeron.

"Fokus banget lo."

"You know lah."

Angga mengangguk paham atas ucapan Jeron. Kemudian tangannya mulai mengambil sebungkus rokok yang ia simpan di saku hoodie hitamnya. Lalu, ia mengambil satu batang dan mulai memantiknya hingga kepulan asap menguar.

"Gimana soal mereka?"

"Masih sama, Ngga. Belum ada titik terang."

"Mau sampe kapan, si, mereka terus sembunyi? Jujur gue pusing sama tingkah mereka yang milih begini. Emangnya mereka gak capek kalo terus-terusan kaya gini?"

Jeron menghembuskan nafas beratnya seraya menyandarkan tubuhnya ke kursi. Netranya beralih menatap langit malam yang cukup terang.

"Mereka yang milih buat kaya gini. Mereka mau kita terus sembunyi sampe mereka bener-bener fiks kembali. Dengan kita tutup mulut, ya itu udah buat mereka cukup lega. Kalo mereka maunya begitu, ya gue bisa apa. Gue cuma ngikut aja apa keputusan mereka. Mungkin hanya dengan cara itu kita bisa dukung mereka dari jauh. Perjalanan hidup mereka gak gampang di sana dan lo tau itu, Ngga."

Angga mengangguk dan memahami setiap ucapan Jeron. Benar, apa yang dikatakan Jeron memang benar. Mungkin dengan bungkam saat ini sudah termasuk memberi dukungan untuk mereka. Dan memang seharusnya ia menyetujui keputusan itu demi kebaikan mereka

________

Terima kasih ❤

25-06-2024

Exchange (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang