5. Amnesia?

138 7 0
                                    

Thalia mengutuk tali sepatu yang hampir saja membuatnya terjatuh di depan gerbang. Lagi pula, kenapa tali sepatunya bisa lepas coba? Perasaan tadi di rumah ia sudah mengikatnya dengan kencang. Namun yang terjadi, tidak seusai dengan kenyataan. Ceroboh sekali.

"Hey, syantik. Pagi-pagi muka udah ditekuk aja. Kenapa, si?" tanya Eca yang baru keluar dari arah parkir.

"Gue hampir jatoh gara-gara tali sepatu."

Eca tertawa mendengar ucapan sahabatnya. "Ya elo lagian ceroboh bener. Oh iya, soal kemarin gimana? Kak Regan sama lo gak berubah, 'kan?"

Eca mengingatkan soal Regan yang kemarin. Tahlia jadi murung kembali.

"Muka lo murung lagi, jangan bilang kalo kak Regan emang gak ngenalin lo dan cuek sama lo?" tanya Eca dengan wajah terkejutnya.

Thalia mengangguk seraya menatap lantai koridor dengan pias. "Apa gue semenyebalkan itu ya, Ca? Sampe dia berubah cuek gitu sama gue?" tanyanya seraya menoleh pada Eca.

Eca menggelengkan kepalanya. Ia tidak paham jika soal itu. Pasalnya, ia juga bingung dengan perubahan Regan yang tiba-tiba.

"Dah, jangan murung lagi! Kalo emang Regan mengasingkan diri gitu sama lo, ya udah cukup biarin aja. Lo jangan kepikiran yang sampe bikin down. Inget! Cowo cakep dan baik gak cuma dia doang."

Thalia tersenyum dan mencubit kedua pipi Eca dengan gemas. Sahabatnya itu selalu saja bisa menenangkannya. "Sayang Ecaaaa." Dan Eca pun tersenyum dengan riang menatap Thalia. Mereka bahkan tak mengindahkan para siswa/i yang memerhatikan tingkah mereka di koridor.

***

Jam istirahat seperti biasa, Regan dan ketiga sahabatnya sudah asik mejeng di kantin dengan tingkah konyol mereka. Ya, pengecualian si untuk Regan. Dia yang cuek dan tak peduli pada para siswi yang terus memerhatikannya.

Regan hanya diam menikmati siomaynya, dengan telinga yang mendengar celotehan ketiga temannya.

"Gan, balik sekolah nongkrong dulu lah kita di tempat biasa."

Regan mendongak menatap Angga. "Nongkrong di mana?"

"Ck, lo segala lupa tempat tongkrongan biasa. Warmat-warmat, deket laundry bu Siti."

Kerutan di dahi Regan semakin kentara.

"Jangan bilang lo lupa sama warmat? Gan, lo beneran sakit? Semacam amnesia, gitu?" Pertanyaan beruntun dari Jeron membuat Angga dan Faldi menatap Regan juga dengan lekat.

Regan menggelengkan kepalanya. Bingung ingin menjawab apa. Pun, ia memang tidak tahu di mana letak warmat (warung pak Mamat) berada.

"Lo geleng-geleng kepala artinya apaan? Beneran amnesia atau enggak?" tanya Faldi bergantian.

Sebelum menjawab, terdengar bunyi notifikasi dari ponselnya. Lantas, membuatnya melihat dan membaca sebuah pesan tersebut. Seusai itu, ia kembali meletakkan ponsel di saku celananya dan menatap ketiga sahabatnya kembali.

"Gue gak bisa kumpul. Habis jalanin hukuman gue cabut, ada hal penting yang gak bisa gue tinggal."

Seusai mengatakan hal itu, Regan memilih diam seraya menghabiskan es teh manis di dalam cup sedang. Regan mengabaikan respon ketiga temannya yang nampak bingung dengan tingkahnya ini.

***

Regan melenggang dari kawasan sekolah bersama motornya. Meninggalkan Angga, Jeron, dan Faldi yang diam di atas motor mereka masing-masing.

"Regan kenapa si, anjir! Bingung banget gue sama tingkahnya dari kemaren. Kita udah gak punya musuh lagi di luaran sana, gak ada lagi ribut-ribut sampe pertumpahan darah, kita udah damai dan hidup tenang dengan apa adanya kita. Harusnya Regan gak gini dong, kita bebas dan dia jadi gak ada beban. Tapi Regan kenapa kaya bukan dia, ini lebih kaya tai banget. Dia cuek dan gak ada bobrok-bobroknya sama sekali. Arghh, bingung banget gue sial!" Angga nampak frustrasi dengan sikap Regan yang aneh di matanya.

"Apa dia punya kepribadian ganda? Semacam kepribadian lain yang gak kita tau selama ini?" Faldi menerka seraya menatap ke arah lapangan yang terisi oleh anak-anak paskibra.

"Ngeri lo, Fal. Kalo dia emang lagi sakit kaya gitu, kenapa gak kita coba deketin dia aja? Selama ini kita seolah gak peduli 'kan sama Regan? Padahal Regan selalu ada buat kita, di saat kondisi dia sekarat sekali pun. Sedangkan kita ... kita tau permasalahan keluarganya kaya apa. Tapi, pernah gak kita tanya soal dia yang selama ini gak baik-baik aja karena keributan kedua orang tuanya itu? Kita selama ini cuma diem dan takut kalo Regan bakalan tersinggung kita bahas masalah keluarganya. Tapi coba kita ngomong dari hati ke hati, gak akan kaya gini kejadiannya. Gue juga yakin, Regan begini karena emang dia terlalu bingung dan cape sama hidupnya. Keluarga yang gak harmonis tanpa penuh kasih sayang." Jeron yang biasanya suka bercanda, jika seperti ini ia bahkan bisa bijak dibandingkan Faldi dan Angga.

Mereka terdiam tanpa berkata kembali. Mencoba berpikir soal Regan yang tak biasa di mata mereka. Suasana yang selalu hidup jika ada Regan, kini tak lagi sama. Semua seolah gambar kosong. Regan yang suka bercanda seperti hilang ditelan alam.

***

Tubuh Regan terasa sakit semua ketika baru masuk ke dalam rumah. Tadi ketika di perempatan jalan, ia sempat terjatuh dari motor karena tak begitu fokus berkendara. Otaknya tengah dipaksa berpikir untuk tidak seharusnya dilakukan.

Kakinya melangkah dengan sedikit sempoyongan. Celana abunya robek dan ada luka goresan di sana.

"Tara, bonyok lagi?" Itu papanya, kepala keluarga di rumah ini. Namanya Dalvi Benzani.

Regan menatap Dalvi dengan raut datarnya. Ia menggumam pelan sebagai jawaban.

"Mau seperti anak itu? Nyari mati? Gak waras kamu Tara!"

Regan tersenyum sinis pada Dalvi. Papanya itu memang tidak bisa membedakan yang mana bonyok habis berkelahi atau habis kecelakaan? Bodoh sekali kalau sampai iya.

"Gak usah ngomong kaya gitu sama Tara. Kamu mikir gak si, ini bukan bonyok abis berantem, tapi abis kecelakaan." Istri dari Dalvi, yakni mama Regan yang bernama Anggini Sirendian itu menjawab dengan nada kesal. Seakan tak terima bahwa Regan terluka karena habis berkelahi.

"Oh ya? Tapi Tara mengiyakan omongan aku tuh kalo dia abis bonyok." Dalvi menatap Anggini dengan senyum miringnya. Lalu tatapannya teralih pada Regan kembali, "Jangan jadi yang menyusahkan Tara. Posisi kamu sekarang terancam jika kamu buka mulut. Gara-gara anak itu buat ulah, kita semua yang nanggung. Jangan bertingkah dan sampai semua berantakan. Inget itu!" Dalvi berdiri dan pergi menuju kamarnya, karena terlalu lelah dengan segala pikiran kacaunya hari ini. Meninggalkan Anggini dan Regan yang terdiam menunduk menatap lantai.

"Tara, ini kamu gak apa-apa?" tanya Anggini dengan tangan yang terayun memegang kaki kiri Regan dengan luka goresan di sana.

Regan memegang tangan Anggini dan melepasnya. Menghela nafas sebentar dan ia menjawab, "Ini cuma kecelakaan biasa, jadi Mama gak perlu khawatir."

Usai mengatakan itu, Regan memilih menaiki anak tangga dengan kaki yang sedikit terseok. Menahan nyeri dari luka goresan aspal di kakinya.

________

Terima kasih ❤

25-01-2024

Exchange (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang