4. Kecewa

183 6 0
                                    

Thalia melangkah terburu-buru keluar kelas. Ia bahkan mengabaikan Eca yang baru saja menyamai langkahnya.

"Woy, Ta, santuy kali. Rusuh bener lo." Eca berteriak pada Thalia yang sudah menghilang di anak tangga menuju kelas 12 berada.

Thalia mengabaikan suara Eca yang meneriakinya. Ia lebih memilih berjalan dengan cepat menuju kelas 12 MIPA 4, di mana kelas Regan berada. Thalia ingin berbicara pada Regan, yang seolah tak mengenalinya sejak hari senin dia masuk sekolah kembali.

Irisnya terus menatap siswa/i yang keluar dari kelas 12 MIPA 4. Biasanya Regan akan keluar bersama ketiga sahabatnya saat kelas sudah mulai sepi. Ia pun bertahan berdiri di dekat jendela, seraya menatap dinding pembatas yang mengarah ke kelas seberang.

Setelah dirasa sudah sepi, Thalia segera masuk dan menatap keempat orang yang masih duduk santai disertai obrolan ringan ala mereka.

"Eh, ada Thalia. Mau nyari Regan?" Tepat. Ucapan dari Angga memang benar sekali. Thalia sengaja mencari Regan untuk mengobrol sebentar.

"Iya. Em, boleh minta waktunya gak?" tanya Thalia mencoba menatap Angga, lalu ke arah Regan yang kini menaikkan alisnya tanda bingung.

"Wah, tanya langsung aja kalo gitu ke Regan." Angga menyenggol lengan Regan yang masih terdiam menatap Thalia.

Regan menghela nafasnya dan mengangguk. Kemudian Regan mengikuti langkah Thalia setelah berpamitan pada ketiga sahabatnya.

Bagai anak yang patuh pada ibunya, Regan masih terus berjalan di belakang Thalia yang ternyata membawanya ke halaman sekolah. Beruntung di sana tidak banyak orang, jadi mereka sedikit bebas untuk memulai suatu obrolan.

Mereka duduk di bangku memanjang yang tersedia di sana. Tatapan Thalia langsung tertuju pada Regan yang kini diam seraya menatap ke arah hamparan rumput.

"Lo mau bicara sama gue?" tanya Regan yang langsung menatap Thalia sepenuhnya.

Thalia yang ditatap balik seperti itu merasa canggung. Entah kenapa Regan yang ini sangat berbeda dari Regan yang ia kenal.

"Gan, kenapa lo beda dari biasanya? Gue bahkan gak liat lo senyum dan bertingkah konyol sejak kemarin. Are you okey, Gan?"

Perkataan perempuan di depannya membuat Regan bingung. Apa itu penting untuknya?

"Gue beda, jelas urusan gue. Gak ada hubungannya juga sama lo."

Thalia menganga mendapat jawaban seperti itu dari Regan. Ia bahkan tak menyangka bahwa perkataannya begitu menusuk. Mereka seperti orang asing yang tidak saling mengenal.

"Sumpah, Gan, ini bukan lo banget. Lo gak pernah yang namanya ketus kaya gini. Dari awal, lo yang dengan mudahnya ingin mengakrabkan diri ke gue dan selama ini lo juga yang ngajarin gue main gitar. Kita bahkan sering ngomongin soal musik masing-masing yang kita sukain. Dan sekarang lo bilang kaya gini ke gue? Gila! Ini konyol banget, lo bukan Regan."

Thalia pergi dengan raut yang kecewa. Ia terlalu berekspektasi lebih soal kedekatannya bersama Regan. Thalia pikir, Regan adalah teman dan kakak yang baik untuknya. Selama ini, Regan bahkan sering kali memberi perhatian meski hal-hal kecil, seperti mengingatkannya akan makan atau menjaga badan agar tetap fit karena banyaknya tugas sekolah. Kini, Regan telah membuatnya merasakan kecewa hingga tak ingin lagi berhadapan dengannya. Karena takut akan penolakan yang membuatnya sakit hati lagi.

Regan termenung di bangku seorang diri. Ia menatap kepergian perempuan yang sudah mengusiknya dengan kalimat tadi. Apa ia terlalu jahat?

***

Regan memarkirkan motornya langsung ke garasi. Hari ini ia tak akan ke mana-mana. Lagi pula, tubuhnya serasa tersedot akibat menjalankan hukuman setiap harinya selama satu bulan penuh. Jadi ketika pulang sekolah, yang ia lakukan hanya lah beristirahat dan tidur dengan nyenyak.

Ketika masuk, hal yang menyambut Regan adalah kesepian. Tak ada suara ribut atau sapaan untuknya. Dulu, dulu sekali, ia pernah merasakan kehangatan keluarga. Seiring berjalannya waktu dan semakin tumbuh dewasa, kebahagiaan itu seakan lenyap. Hidup yang tak bisa bergantung lagi pada mereka selain keuangan dan tempat tinggal. Tak ada lagi canda-tawa, obrolan ringan, atau makan bersama dengan hangat. Semua begitu semu. Ternyata kehidupan yang ia jalani jauh dari apa yang dibayangkan selama ini.

Kakinya terayun menuju anak tangga. Otaknya begitu lelah dengan segala pemikiran yang ada. Apa ia bisa menjalani kehidupan seperti ini seterusnya? Hingga lulus sekolah bahkan menginjakkan kaki di sebuah Universitas?

"Shit!" umpat Regan kesal seraya membanting pintu dengan keras. Kenapa di saat ia ingin hidup tenang, ada saja masalah yang menganggu? Kapan ia bisa bebas tanpa hal yang mencekam ini?

Hidup di rumah ini dan berada di sekolah SMA Mandala adalah bukan atas dasar keinginannya. Ia bagai robot yang dikontrol, hingga bisa berjalan sesuai para pengendalinya.

Tangan Regan terayun mengacak rambutnya hingga berantakan. Ia merasa frustrasi hingga tak dapat mengontrol dirinya sendiri. Lantas, ia meraih sebuah benda yang sudah menjadi temannya belakangan ini. Tersenyum lega, ketika benda itu mencium lengan kirinya hingga menimbulkan cairan merah yang mengalir.

"Good job, Jake." Benda mati yang Regan namai Jake itu disimpan kembali setelah dibersihkan dengan tisu. Rasa nyaman kian menggerogoti hingga tubuhnya ambruk di atas ranjang. Mulai memejamkan mata dengan bertelanjang dada, menyisakan celana seragam abu yang masih melekat di tubuhnya.

***

Thalia menggigit bibirnya dengan berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Merasa bingung dengan sikap Regan, juga kecewa atas ucapannya yang menohok. Tapi, ia juga ingat dengan perkataannya tadi. Apakah itu dapat menyinggung Regan? Atau Regan tak peduli dengan semua ucapannya?

"Aish, gue kenapa, si? Lo juga, Gan, aneh banget tau gak. Kenapa lo berubah secepat itu? Dalam waktu seminggu, lo berubah total dari sebelumnya. Lo ada masalah apa si, Gan?" Thalia merasa greget sendiri dengan sikap Regan yang tak biasa. Bahkan ia sampai kepikiran hingga tak terasa waktu sudah gelap di luaran sana.

"Thalia, Ta ... makan malam yuk sayang. Mama udah siapin masakan kesukaan kamu. Turun, yuk!"

Thalia menoleh pada daun pintu yang tertutup rapat. Ia menghela nafasnya sebentar, setelah itu mulai berjalan melangkah ke arah pintu.

"Iya Mamaku sayang. Let's go kita makan!" Disti Almira atau biasa disapa mama Disti itu terkekeh, melihat putri satu-satunya antusias ketika mendengar masakan yang dia sukai.

"Hello, Tuan Ruri Nerendra kesayangan Mama Disti dan Thalia." Ruri yang tengah menyeruput kopi hitamnya, terkekeh akan ucapan Thalia yang menyapanya dengan embel-embel tuan.

"Semangat bener kamu. Gak lagi kedapetan sesuatu, 'kan?" tanya Ruri menatap Thalia dengan senyuman.

"Iya dong, semangat. Karena masakan kesukaan aku udah ada di depan mata." Thalia menatap Ruri dan makanan kesukaannya bergantian. Ia menatap binar hasil masakan Disti yang begitu menggugah selera.

"Kalo gitu sekarang kita makan. Jangan lupa berdo'a dulu, oke!" Disti memberi intrupsi pada suami dan putrinya sebelum mereka menyantap sajian makanan yang ada di meja.

Thalia diam-diam bersyukur. Karena beruntung memiliki kedua orang tua yang selalu melimpahkan kasih sayang padanya. Banyak perhatian serta mengajarkan hal yang baik setiap harinya. Ia tidak tahu, jika mereka bukan orang tuanya akan seperti apa ia sekarang. Mereka begitu hebat di matanya.

________

Terima kasih ❤

25-01-2024

Exchange (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang