Apakah kamu di sini, Ayah?

28 10 0
                                    

Hujan turun deras, menciptakan suasana kelabu di luar jendela kamar Maya. Ia duduk di sudut ruangan, memandang foto-foto di dinding yang dulunya penuh tawa. Kini, setiap senyuman terasa seperti bayangan yang hilang, menyisakan kesepian yang menyengat.

Sejak kepergian ayahnya, hidup Maya berubah drastis. Ayah adalah satu-satunya tempatnya bersandar. Namun, satu malam, semua itu berakhir. Kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya meninggalkan lubang besar di hati Maya. Seperti sebuah kehampaan yang tak terisi.

Suatu hari, saat hujan masih mengguyur, Maya pergi ke taman. Di sana, ia bertemu seorang pemuda tampan yang tampak melankolis, dengan tatapan yang dalam dan penuh pengertian.

"Kenapa kamu sendirian di sini?" tanya pemuda itu, duduk di sampingnya.

"Aku... hanya ingin merasa tenang," jawab Maya, suaranya bergetar.

"Kesedihan itu wajar. Tapi kamu tidak sendirian. Kehilangan itu menyakitkan, tapi kamu harus berani menghadapinya," katanya, suaranya lembut namun tegas. Ada sesuatu dalam cara berbicaranya yang membuat Maya merasa nyaman, meski tidak sepenuhnya mengerti mengapa.

"Bagaimana aku bisa menghadapinya? Rasanya terlalu berat," Maya menatap langit, air mata mulai mengalir. "Semua kenangan itu hanya menyakitkan."

"Aku mengerti. Tapi ingat, kenangan itu juga indah. Mereka bagian dari hidupmu. Jangan biarkan kesedihan mengalahkanmu," pemuda itu menatapnya dengan mata yang penuh harapan. "Kamu bisa mengubah rasa sakit itu menjadi kekuatan."

Maya terdiam, merenungkan kata-katanya. Ada sesuatu yang akrab dalam tatapan pemuda itu, senyum, cara dia mendengarkan, semuanya mengingatkannya pada ayahnya. Namun, meski hatinya nyaman, Maya tidak bisa jatuh cinta pada pemuda itu. Sebuah jarak emosional tetap menghalangi.

"Kadang, kita harus melepas agar bisa melanjutkan hidup," lanjut pemuda itu. "Cobalah untuk tidak menganggap kehilangan sebagai akhir. Ini adalah bagian dari perjalanan."

"Perjalanan? Rasanya aku terjebak dalam kegelapan," keluh Maya. "Setiap aku melangkah terasa sia-sia tanpa dia."

"Tidak ada langkah yang sia-sia. Bahkan di kegelapan, kamu bisa menemukan cahaya. Beri dirimu kesempatan untuk merasakannya," jawab pemuda itu, suaranya tegas namun lembut.

Hari-hari berlalu, dan setiap pertemuan memberi Maya sedikit harapan. Namun, saat ia bangun keesokan harinya, pemuda itu tidak muncul. Rasa cemas menyelimuti Maya. Ia menunggu dengan harapan, tetapi hari itu berlalu tanpa kabar. Hatinya seolah kembali terperosok ke dalam kesedihan yang dalam.

Beberapa waktu kemudian, saat Maya kembali ke taman yang sepi, ia duduk di bangku, merenung. Tiba-tiba, sekelebat bayangan melintas di benaknya-bayangan ayahnya. Teringat akan senyum, tawa, dan kasih sayang yang pernah ada. Air mata mengalir di pipinya, saat ia menyadari betapa dalamnya rasa kehilangan itu.

Di tengah keheningan, tiba-tiba sosok pemuda itu muncul kembali di benaknya. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Dalam satu momen, Maya menyadari bahwa pemuda tampan itu sebenarnya adalah bayangan ayahnya. Dalam benaknya, sosok itu perlahan-lahan berubah, mengungkapkan ciri khas yang familiar.

"Apakah kamu di sini, Ayah?" pikirnya, suara hatinya bergetar.

Tak lama, dia melihat seorang sosok di kejauhan-dengan tatapan yang sangat familiar. Saat sosok itu mendekat, Maya merasakan sebuah pengertian mendalam. Pemuda itu, dengan senyuman hangat dan ciri khas yang sama, ternyata adalah ayahnya. Dia tersenyum lembut, seolah ingin memberi tahu bahwa dia tidak pernah benar-benar pergi.

"Ayah selalu bersama kamu, Maya," suara ayahnya terdengar di benak Maya, jelas dan penuh kasih. "Jangan biarkan kesedihan mengubah siapa dirimu."

Maya terisak. "Tapi Ayah, aku merasa sendirian. Aku tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup tanpa Ayah."

"Ayah mengerti, Nak. Kehilangan ayah menyakitkan ya? tapi ingatlah, Ayah selalu mencintai Maya. Dan itu tidak akan pernah hilang," jawabnya, tatapan penuh pengertian. "Hiduplah untuk dirimu sendiri, sayang. Jangan biarkan bayangan Ayah menghalangi jalan kamu."

Maya merasakan getaran hangat di hatinya. "Aku ingin berjuang, Ayah. Tapi, dunia tanpa ayah, kenapa sulit sekali?"

"Tidak ada yang mudah, sayang. Setiap perjalanan memiliki rintangan. Tapi ingat, Nak, kamu memiliki kekuatan yang lebih besar daripada yang kamu sadari," nasihat ayahnya. "Maya, jadilah seperti Ayah, yang berani menghadapi segala sesuatu dengan cinta dan harapan. Jadi, ayo sayang, kejar harapan kamu, walau tanpa Ayah sekalipun."

Dengan harapan baru, Maya menghapus air matanya dan beranjak dari bangku. Hari itu, meskipun hujan masih turun, ia merasa ada secercah cahaya yang mulai muncul di ujung terowongan gelap yang telah lama membelenggunya. Kini, ia siap menjalani hidupnya dengan membawa cinta ayahnya dalam setiap langkah.

-End-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dua hati, Satu cerita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang