Kapan Bapak pulang, Pak?

71 36 99
                                    

Tahun sudah berganti, dan aku berdiri di depan cermin, menatap bayangan diriku yang kini bukan lagi bayi yang merangkak, tapi seorang sarjana. Namun, di dalam hati ini, ada kehampaan yang tidak pernah terisi. Dunia yang dulunya penuh tawa kini terasa sepi.

Kabar tentangmu, Pak, hanya terdengar samar-samar. Ibu sudah semakin tua, tubuhnya rentan, rambutnya hampir seluruhnya memutih. Setiap kali aku pulang ke rumah, matanya selalu mencari-cari, menanti kehadiran bapak yang tak kunjung datang. Dia selalu bercerita tentang masa-masa indah saat kita bertiga-aku, bapak, dan Ibu. Seperti saat kita berkeliling kota dengan sebuah motor butut bapak yang menjadi kendaraan kita. Tapi semua itu kini terasa seperti kenangan yang terjebak dalam gambar hitam putih.

"Kapan Bapak pulang, Pak?" tanyaku pada diriku sendiri, suara itu seperti gaung di ruang kosong. Aku ingin menghubungimu, tetapi nomor yang bapak tinggalkan telah hilang seiring waktu. Setiap malam, Ibu duduk di kursi goyang, menunggu. Matanya berkilau ketika aku bercerita tentang kehidupan baruku, namun aku tahu harapannya selalu tertuju padamu.

Di tengah pencarian pekerjaanku, satu hal terbersit di pikiranku, aku harus menemukanmu. Bukan hanya untukku, tapi untuk Ibu. Dia butuh penutupan, butuh mengetahui apakah bapak masih ada di luar sana.

Hari-hari berlalu, dan aku memutuskan untuk pergi ke tempat-tempat yang bapak ceritakan padaku di masa lalu, seperti kota yang pernah kita singgahi, taman yang kita kunjungi. Aku mengumpulkan potongan-potongan cerita dan berusaha menemukanmu. Setiap kali aku melangkah di jalan yang sama, bayang-bayangmu mengikutiku, seolah bapak tersenyum dari jauh, mengingatkan akan kasih sayang yang dulu ada.

Namun, kenyataan yang kutemui selalu getir. Tidak ada jejakmu, Pak. Hanya kenangan yang semakin memudar. Aku merasa seperti berlari di lorong tanpa ujung. Sementara itu, Ibu tetap menunggu, berharap di dalam kerinduan yang tak kunjung usai.

Suatu sore, saat aku kembali ke rumah, aku menemukan Ibu terkulai di kursi goyang. Di tangannya, ada sebuah foto usang-foto kita bertiga. Air mata mengalir di pipinya, dan hatiku hancur melihatnya. "Dia masih mencintaimu, Pak, sangat," bisikku pada diriku sendiri. "Kapan Bapak pulang?"

Ketika senja melukis langit dengan warna keemasan, aku berjanji dalam hati. Jika bapak tidak kembali, aku akan memastikan Ibu tidak merasa sendirian. Aku akan mengisi kekosongan yang bapak tinggalkan, meski bayang-bayangmu selalu ada. Sebab dalam setiap harap dan setiap doa Ibu, ada satu nama yang takkan pernah terlupakan, yaitu namamu, Pak.

-End-

Dua hati, Satu cerita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang