|| ALAMANDA STORIES ||
🎓 Latar belakang kelas - ( 1 SMA )
Ini tentang Alamanda, Alamanda Fayre Inshira. Gadis pemakai kacamata yang berhasil menduduki peringkat pertama Sekolah Pucuk Impi -Sekolahnya. Bangga, tentu. Namun, sayangnya bukan itu yang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ribuan kata dihatinya yang tak berhasil dikeluarkan, juga air mata yang menggambarkan rasa sakitnya, semua itu membawa langkah Alamanda berantakan entah kemana. Gadis pemakai jepit rambut kecil itu terus melangkah tanpa memikirkan tentang arah, sampai akhirnya ia merasa lelah dan berhenti di tengah-tengah bersama tangis yang masih bertabur.
Tangan lentik Alamanda mengusap kasar wajah tanpa kacamata bulatnya, lalu membereskan beberapa helaan rambut yang berantakan menghalangi, sembari memandang jalanan yang amat sunyi di hadapannya. "Serius gue diginiin?!" Ia terkekeh setelah mengatakan itu.
"Kenapa baru sekarang?!" seloroh Alamanda sedikit menaikkan nada bicaranya. "Kenapa baru sekarang gue nyadar, kalo usaha gue ngga bakal mereka anggap. Kenapa?! Kenapa juga gue seyakin itu liat senyum mereka saat minta gue buat berubah?!"
Alamanda membentak jalanan sunyi itu tanpa pikir demi meluapkan banyak kata yang sejak tadi memenuhi relung hatinya. Tadinya ia ingin marah tatkala mendapati fakta menyakitkan itu, tetapi fakta tentangnya yang tadi disuarakan Fara, membuat gadis itu bungkam tak dapat melakukan pembelaan.
"Gue tau ini sepele, t-tapi hati gue ngga kuat ...." Suara lirih gadis itu kian habis diambil alih isakan tangisnya yang semakin keras. Kepalanya tertunduk lesu, bersamaan dengan tubuhnya yang kini bergetar hebat.
Malam ini, gadis pemilik kulit putih pucat itu tengah menangis sejadi-jadinya, tanpa memikirkan bagaimana sunyi jalanan yang menjadi saksi bisu kesedihannya.
Ditengah terjangan tangis histeris Alamanda, siulan angin datang mengembus bersamaan dengan kilatan petir yang tiba-tiba melukiskan dirinya di langit. Langit yang gelap itu tak menunjukkan akan turunnya hujan, tetapi kedatangan petir yang mengagetkan Alamanda menyadarkan jika langit juga akan menumpahkan tangisnya.
Meski mengetahui hujan akan datang, gadis itu sama sekali tidak beranjak dari duduknya. Tak peduli jika ia harus jatuh sakit karena hujan daripada harus pulang melihat orang-orang yang tengah bersenang-senang tanpa menghiraukan kesenangannya.
Tangan lentik Alamanda bergerak menyeka air matanya tatkala gerimis mulai berdatangan, bersamaan dengan gemuruh petir yang semakin menjadi.
"Hei, ngapain lo hujan-hujanan di sini?!"
Alamanda sedikit terperanjat tatkala suara itu datang secara tiba-tiba, bersamaan dengan tangan kekar yang singgah pada pundaknya. Namun, dengan adanya rasa kecewa yang menyelimuti, membuat rasa takutnya tidak berkuasa saat ini dan tetap memilih untuk diam.
Merasa tak ada respon dari seseorang yang ditegur nya, seseorang itu berusaha mendekati Alamanda lagi. "Hujannya makin deres! Lo yakin ngga mau neduh?" ujarnya sedikit berteriak.
Suara itu tak terdengar jelas dalam indra pendengaran Alamanda karena terkalahkan dengan derasnya hujan disertai petir yang bergemuruh. Itu menenangkan, tetapi Alamanda masih butuh ketenangan yang lain.