SEMBILAN BELAS

852 84 4
                                    

Sudah hampir dua tahun Jay tidak duduk bersama dengan ayahnya, setidaknya itu yang dia ingat. Dan pagi ini, lelaki itu tengah duduk di ruangan mewah berisi banyak pajangan mengenai bisnis yang telah dihasilkan oleh perusahaan besar milik seseorang, Ayahnya.

Tidak banyak yang tahu tentang kedua orang tua Jay yang ternyata seorang pengusaha besar dengan banyak bisnis yang berjalan. Jay memilih menjadi pemain bola saat ayahnya berjuang untuk mengembangkan aset perusahaan besar untuk diwariskan pada Jay, tentu saja hal tersebut menjadi perdebatan besar keduanya.

Menurunkan egonya, hari ini Jay sudah membuat janji temu dengan ayahnya. Dihadapannya ada beberapa lembar kertas berisi akta pengangkatannya sebagai salah satu pemegang saham, ada pula hasil RUPS terakhir dan beberapa list proyek yang akan ditangani oleh perusahaan milik ayah Jay.

Jay terlihat tampat dengan setelan kantor dan jas biru tua nya, terakhir dia berpenampilan seformal ini adalah saat berdansa bersama Mai bulan lalu. Ah Mai, apa kabar gadis itu, Jay belum sempat menghubunginya sejak dia tiba di Jerman.

Mai Darling ♡
Hai darling, maafkan aku baru sempat menghubungimu. Bagaimana harimu?

Pintu ruangan terbuka, membuat Jay segera menyimpan ponselnya, memunculkan sosok lelaki pertengahan akhir lima puluhan dengan setelan jas hitam dan kemeja coklat muda. Ada beberapa kerut yang terlihat sejak terakhir Jay melihatnya, dipertemuan terakhir mereka yang hanya berisi perdebatan.

"Morning, Sir." Sapa Jay, dia menahan diri memanggil lelaki dihadapannya Ayah, karena disini dia memposisikan diri sebagai orang lain yang membutuhkan pekerjaan.

Tersenyum cemooh, ayah Jay duduk dikursinya, melepas kancing jasnya. "Selamat datang, debutan Serie A liga Italia."

Jay tersenyum, tahu ayahnya sedang tidak memujinya.

"Duduklah!."

"Apa yang kau inginkan? Sudah ingin pensiun dari sepakbola?" Ayah Jay bukan tipe yang suka berbasa-basi.

Membuka map nya, Jay menjejer dokumen yang dia bawa. "Aku masih terdaftar sebagai pemegang tujuh belas persen perusahaan kita ayah."

"Lalu?"

Jay menunduk, "bisakah ayah memberiku pekerjaan? Atau membiarkanku membeli beberapa persen saham perusahaan agar aku mendapat deviden tahunan minimal satu setengah juta USD?"

Ada suara tawa yang ditahan dari ujung lidah ayah Jay, tidak menyangka anaknya yang sangat gengsi dan berharga diri tinggi terlihat memohon dihadapannya.

"Masih kurang kah nilai kontrakmu?"

"Ada beberapa proyek yang sepertinya bisa aku tangani jika ayah memberiku kepercayaan." Jay menatap lurus mata ayahnya.

"Siapa yang memintamu? Apa motivasimu? Kau mau pensiun sekarang?"

--

Mai tersenyum menerima pesan dari Jay, baru tiga hari berpisah dia sudah merasa merindukan lelaki itu. Bagaimana bisa ada lelaki selembut itu bahkan disaat pertemuan pertama mereka.

Jay's Mai
Hai Jay, it's okay, aku tahu kau pasti butuh waktu beberapa saat. Aku baik, already miss you.

Bagaimana denganmu? Kau ada rencana apa?

Ada ketukan di pintu kamar Mai, membuat gadis itu berdiri membukanya. Menampilkan sosok Mama Mai, yang membawakan beberapa cemilan untuk gadis itu. "Mama boleh masuk?"

Mengangguk ringan, Mai melebarkan pintunya, memberikan izin bagi ibunya memasuki kamar sekaligus ruang kerjanya.

"Ada apa Ma?"

"Mama melihatmu di media sosial, berpelukan dengan seorang pemain bola?" Ucap mama nya mengambil duduk di salah satu sisi tempat tidur Mai, berhadapan dengan putrinya.

Mai mengangguk, "Ya, kami dekat. Papa sudah tahu itu."

"Bebarkah?" Tanya Mama Mai memastikan.

"Dia yang menolongku saat aku kabur ke Italia. Ternyata dia WNI baru, bergabung di timnas sepak bola kita." Jelas Mai mengenang singkat masa-masa bersama Jay diawal pertemuan mereka. "Papa menjemputku paksa dari tempat kami menginap."

"Apakah dia lelaki yang baik?"

Mengangguk lagi, "Sangat baik, beretika, bertanggung jawab dan perhatian. Tapi sepertinya dia tak sekaya Andrew atau lelaki lain yang kalian pilihkan untukku. Tapi sepertinya orang tuanya kaya."

"Maafkan mama yang tidak bisa membantah keputusan papamu ya Mai." Menggenggam tangan Mai lembut, mama nya menjelaskan. "Papa punya alasan kuat untuk segala yang dilakukannya."

Mai diam, memikirkan kalimat apa yang tidak menyakiti hati mamanya, "Kadang aku merasa aku ini hanya alat bisnis kalian Ma. Aku belum pernah jatuh cinta dengan baik dan benar. Dan saat aku benar-benar jatuh cinta papa menghalanginya."

"Apa maksudmu sayang?"

"Papa mengajak Jay bertemu. Lelaki itu bernama Jay Idzes ma. Dan sepertinya Papa membicarakan angka yang begitu besar sebagai syarat Jay bisa bersamaku."

Mereka terdiam, tenggelam dalam kalut pikirannya masing-masing.

Jay Idzes - The Runaway BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang