Sesi jalan-jalan tadi malam, membuatku tahu kalau ternyata ada masjid di dekat hostel. Memang ukurannya enggak begitu besar, tetapi sewaktu kami lewat di dalamnya sedang ramai. Padahal waktu salat Isya sudah berakhir lama.
Kenangan tentang Papa jadi bermunculan di kepala. Bikin mendadak rindu berat padanya. Untungnya gurauan-gurauan yang dilontarkan Damar mampu menghapus rasa haru yang hampir membuat mataku sembab. Perhatianku juga berhasil teralihkan karena banyaknya pedagang yang menjual camilan halal di sepanjang jalan.
Enggak susah menemukan lambang penting itu, di setiap papan nama kedai. Momen penuh canda tawa terasa sangat berarti dan berhasil membuatku tersenyum sepanjang waktu. Bahkan ketika baru membuka mata seperti sekarang, yang langsung ingin kulihat hanya dia saja. Tokoh utama dalam bunga tidurku sejak beberapa hari yang lalu.
Proses mandi pun berlangsung lebih cepat daripada biasanya. Semacam enggak mau kehilangan momen menyantap sarapan bersama. Setelah beberapa hari tidur di kamar yang sama, aku jadi tahu kalau Damar sering bangun lebih awal. Dia suka berjalan mengelilingi area sekitar hostel sebelum mandi dan sarapan.
Sementara aku, selepas salat subuh pasti tidur lagi. Tanpa ponsel, enggak banyak yang bisa kulakukan. Mau mengobrol terus sama Maria juga melelahkan. Sering kali obrolan kami berubah jadi sesi tebak-tebakan gerakan tubuh pas masuk ke topik sulit. Persis seperti saat aku menjelaskan kronologis kecopetan pada Pak Polisi.
Aku sudah bilang sama dia, pakai google translate saja. Tetapi, kakakku yang satu itu menolak. Katanya biar seru. Sekali lagi aku mengalah. Kan, Abella anak salihah.
“Morning, Eonni!” sapaku riang pada Maria yang selalu tampil modis.
Kali ini, dia mengenakan terusan berbahan sifon dengan motif polkadot kecil warna cokelat muda. Aku enggak kalah kece, dong. Pagi ini aku pakai terusan polos sampai mata kaki dengan beberapa aksen kerutan. Warnanya magenta. Bikin mukaku makin cerah dan bersinar. Semakin memperlihatkan isi hati pemiliknya yang sedang berbunga-bunga.
“Morning, Abella!”
Maria menatapku sekejap, kemudian memegang telapak tangan yang semula ingin mengambil pisau roti. Dia mencondongkan kepala ke dekat telingaku.
“You look so pretty. Going on a date, again?” lanjutnya, penasaran.
Aku jadi menunduk malu, dan tanpa sadar menyibakkan rambut ke belakang telinga sampai dua kali. Namun, dengan terpaksa kugelengkan kepala. Damar memang enggak bicara apa-apa sebelum tidur tadi malam.
Setelah selesai mandi, dia hanya mengucapkan selamat tidur tanpa suara. Sekarang juga dia enggak terlihat di mana-mana. Mungkin masih jalan kaki keliling, atau sudah pergi entah ke mana.
“Aha! I almost forgot!” seru Edric tiba-tiba.
Arah pandangku dan Maria jadi terarah pada lelaki yang tengah sibuk mencari sesuatu di dalam tas gendongnya. Kami berdua menunggu karena telanjur penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hostel for Singles (TAMAT)
RomanceDiputusin dengan alasan nggak masuk akal, juga dikatain cewek manja dan nggak mandiri, bikin Abella bertekad bakal membuktikan kalau omongan mantannya itu salah. Liburan ke Bangkok sendirian? Siapa takut! Abella pikir rencananya sangat sempurna. Sam...