Maria dan Edric pulang hampir tengah malam. Dua manusia yang kayaknya mulai saling jatuh cinta atau cuma hobi dempet-dempetan itu, terus cekikikan sampai pagi menjelang. Tidurku jadi enggak nyenyak. Sebentar-sebentar bangun, lalu terlelap lagi. Aku sampai menutup telinga pakai bantal, saking kesalnya. Mentang-mentang di kamar ini tinggal kami bertiga, terus aku enggak dianggap, gitu. Huh.
Aku kangen deh, sama si Mas. Dia mikirin aku juga enggak, ya?
Hua Hin tuh, kalau enggak salah daerah pantai. Jangan-jangan, di sana si Mas cuci mata terus kecantol mbak-mbak berbikini lagi. Waduh. Aku kalah telak kalau begitu. Badanku enggak bahenol, malah cenderung kurang berisi di beberapa bagian.
Ah, sudahlah. Lupakan dia, Abella! Jangan jadi cewek bodoh lagi!
Kuusap kasar muka hingga puncak kepala, sampai angan-angan melantur tadi pelan-pelan menghilang. Aku tahu jelas, kalau seharusnya belajar dari pengalaman. Tetapi, terkadang apa yang ada di kepala enggak selalu berjalan selaras dengan yang ada di hati, bukan? Contohnya, kasus si Damar ini.
Okay, next.
Sebetulnya, posisi favoritku ketika baru bangun adalah duduk tegak di tepi kasur dengan kaki menjuntai lurus ke bawah. Namun, kemarin-kemarin kegiatan ini enggak bisa terlaksana karena takut tertangkap basah saat sedang menguap. Pagi ini berbeda. Aku bisa puas menguap selebar gua, tanpa takut kelihatan siapa-siapa.
Kupejamkan mata sebentar, supaya kesadaran terkumpul sepenuhnya. Jendela berbingkai putih yang berada di samping tempat tidur, sudah kubuka lebar. Tentunya, setelah mematikan pendingin ruangan. Nanti pas mau keluar, baru aku nyalakan lagi karena masih ada dua orang yang sedang berpetualang di dunia mimpi. Ya, iyalah. Tidurnya saja baru tadi subuh.
Tanpa mandi atau sekadar berganti baju, kedua kaki ini sudah melangkah santai menuju area makan. Lelaki yang mau kubuat kagum juga enggak ada. Jadi, buat apa capek-capek meluangkan waktu buat mempercantik diri. Cuci muka dan gosok gigi sudah cukup menjadi modal awal untuk menyapa sesama turis.
Cornor tengah duduk sendiri di meja dekat wastafel, sambil meminum kopi dari cangkir warna putih. Dia juga kayaknya belum mandi. Matanya masih sayu. Seperti kekurangan tidur. Aku menghampirinya setelah mengambil dua lembar roti tawar gandum dan selai bluberi sebagai pelengkap. Daripada duduk sendiri, kayaknya sarapan bersamanya bukan pilihan yang buruk.
"Good morning, Cornor," aku menyapanya sambil tersenyum manis. "Can I sit here?"
Dia mengangguk. "Yes, of course. Come and have a sit there," tunjuknya ke arah kursi kosong di hadapan.
Aku duduk sembari menggumamkan kata terima kasih. Setelah mengoles lembaran pertama, kuberanikan diri mengajaknya berbicara. Cornor ini cenderung pendiam. Bahkan, percakapan yang terjadi di antara kami kemarin, masih bisa dihitung jari.
"Have you had your breakfast?" tanyaku membuka pembicaraan.
Lelaki berhidung kecil tapi panjang ini, mengangkat kepala kemudian menggeleng pelan. Gerakannya lambat, tapi elegan. Beda banget sama Damar dan Edric, yang cepat dan gesit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hostel for Singles (TAMAT)
RomanceDiputusin dengan alasan nggak masuk akal, juga dikatain cewek manja dan nggak mandiri, bikin Abella bertekad bakal membuktikan kalau omongan mantannya itu salah. Liburan ke Bangkok sendirian? Siapa takut! Abella pikir rencananya sangat sempurna. Sam...