🌙 Chapter 1: Aku dan Kesialanku

45 8 2
                                    

Pernahkah kamu tertipa sial terus menerus? Atau kamu sudah berusaha untuk menghindari tapi tetap saja kesialan terus menghampiri, bagaikan kutukan yang terus menempel di tubuhmu.

Aku tidak tahu dari mana datangnya kesialan ini, yang jelas sejak aku kecil kesialan ini sudah ada dan menempel erat di tubuhku. Tiada hari tanpa kesialan dan parahnya bahkan dalam mimpi sekali pun aku tetap sial, benar-benar malang nasibku ini.

Pernah aku pergi ke mini market memakai celana jeans pendek, di tambah sweater yang menutupi kepala dan tidak lupa memakai kacamata hitam andalanku. Nah, sialnya kebetulan ada anak kecil jalan di depan karena arah rumahnya sama dengan  jalan ke mini market. Aku malah dikira om-om penyuka lolicon dan berujung dikejar-kejar warga. Plusnya lagi aku nyemplung ke sungai dengan gaya batu, alias gak bisa berenang.

Saat aku menceritakan hal tersebut kepada kedua orang tuaku, kalian tau bagaimana tanggapan mereka? Ayah dan ibuku tertawa sampai terpingkal-pingkal selama satu jam. Hal tersebut membuat hatiku hancur berkeping-keping, walaupun begitu aku tetap sayang ayah dan ibuku.

Hari ini, adalah hari pertama aku masuk ke SMA Bina Bangsa. Aku Angkasa Raditya Putra atau yang akrab disapa Angkasa sudah lama menantikan hari ini, memakai seragam baru dan bertemu dengan teman-teman yang baru membuatku sangat bersemangat.

"Bu, Angkasa berangkat ke sekolah dulu," ucapku sambil berpamitan kepada ibu. Pada saat aku akan menuju pintu, ibu malah memegang tanganku dan mensejajarkan tubuhnya dengan tinggiku.

"Sa, kalau jalan hati-hati ya! Jangan sampai kamu ketabrak mobil, motor dan sepeda lagi. Terus kalau jalan kamu harus liat yang bener, jangan sampai kesandung batu dan masuk ke lubang, ya! Satu lagi, hati-hati sama hewan kayak anjing dan gagak, jangan sampai kamu pulang basah-basah karena abis nyemplung di got," pesan ibu menepuk bahuku sambil tersenyum hangat.

"Oke siap, Kapten!" balasku layaknya seorang tentara yang siap untuk pergi berperang.

Ibu tersenyum kecil melihat tingkahku yang masih kekanak-kanakan itu. "Ya, sudah kamu boleh pergi!" ucapnya.

Aku kemudian berlari menuju pintu keluar dan tanpa di duga jalan ke arah sana sangat licin, sehingga sebelum sampai ke pintu aku sudah jatuh duluan dengan gaya yang estetik. Untungnya tidak ada luka berat, cuma keningku tergores ujung meja hingga sedikit berdarah.

Ibu bergegas menghampiriku dengan wajah panik dan cemas.

"Sa, kamu gak papa, 'kan? Ibu lupa bilang sama kamu bahwa lantainya licin karena itu baru saja selesai di pel," kata ibu sambil meringis dengan perasaan bersalah.

Sambil tersenyum manis ala iklan pasta gigi aku menjawab, "Aku gak papa kok, Bu! "

"Beneran, gak papa?" tanyanya lagi sambil menatap tubuhku dari ujung kepala sampai ujung kaki, untuk memastikan bahwa aku tidak terluka dan baik-baik saja.

"Beneran!" ucapku sambil mengangkat jari tengah dan jari manis berbentuk huruf V.

"Apanya yang baik-baik saja, huh! Itu liat kening kamu lecet begitu," ucap ibu mendengkus kesal sambil menempeleng kepalaku.

Spontan saja aku berteriak, "Adow, sakit!"

Ibu langsung saja melepaskan tangannya dari kepalaku dan secepat kilat ia mencari kotak obat-obatan yang ada di lemari.

"Oke, lukanya sudah ibu obati. Sekarang kamu harus hati-hati gak boleh lari-lari kayak tadi lagi," ucap ibu memperingatiku setelah menempelkan plester luka di kening.

Aku pun mengangguk kepala sebagai tanda jawaban, sebenarnya yang tadi itu efek terlalu bersemangat karena ingin cepat-cepat sampai ke sekolah. Jadinya keningku tergores karena hal tersebut, untungnya kepalaku baik-baik saja. Kalau kepalaku yang kena, mungkin ibu akan langsung melarikan diriku ke rumah sakit dengan jurus secepat kilat andalan miliknya.

Aku hanya bercanda mana mungkin ibuku punya jurus seperti itu, lagian kalau aku kenapa-kenapa ibu pasti bakalan menelepon ayahku yang terlalu monoton dan bucin itu. Ia akan langsung pulang ketika dipanggil oleh sang istri, walaupun dalam keadaan meeting bersama orang penting sekali pun.

Berbicara soal ayahku, beliau sudah berangkat kerja sehabis subuh tadi. Bayangkan saja, aku baru bangun dari tidur beliau sudah berangkat kerja. Kata ibu, ayah adalah seorang yang rajin dan tepat waktu. Tapi, menurutku ayah adalah orang yang kelewat rajin untuk berangkat kerja.

Pada saat tidak bekerja, ayahku hanya duduk diam tanpa bergerak di kursi sambil menonton tv dan ia hanya akan bicara hal yang sama berulang kali.

Seperti, "Apakah kamu sudah makan?" Ini pertanyaan ketika aku sedang duduk di meja makan, menunggu ibu selesai memasak makanan.

"Kamu lagi ngapain?" Ini pertanyaan ketika aku lagi duduk di meja belajar, saat sedang mengerjakan tugas sekolah.

"Kamu mau pergi kemana?" Ini pertanyaan ketika aku sedang bersiap-siap untuk pergi keluar membeli minyak goreng ke warung.

Hal tersebut terjadi berulang kali, sehingga aku sudah hafal dengan kebiasaan ayahku tersebut. Selain, monoton ayahku juga bucin istri hal ini sudah dijelaskan di atas.

Okeh, cukup sampai di sini pembahasan soal ayahku yang monoton. Sudah saatnya untukku berangkat ke sekolah, kali ini aku akan lebih berhati-hati seperti apa yang dikatakan oleh ibuku.

Aku dengan hati-hati melangkah secara perlahan, agar tidak terpeleset untuk yang kedua kalinya. Setelah sampai di depan pintu, aku menghirup napas pelan kemudian membuka pintu rumahku dengan penuh semangat.

"Sekolah aku datang!" teriakku sambil melangkah keluar dari pekarangan rumah.

Seketika semua perhatian tetangga tertuju padaku dan kening yang diplester.

"Pagi-pagi, kamu sudah ketiban sial ya, Sa?" tanya seorang nenek sudah tua yang giginya tinggal dua, itu terlihat ketika beliau berbicara. Ia juga selalu ditemani oleh seekor burung kakak tua yang selalu hinggap di jendela.

"Hehehe! Sudah biasa, Nek!" jawabku cengegesan sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

Belum lagi sindiran dari beberapa tetangga, yang kujawab dengan nyengir ala kuda minta disleding. Mereka sangat kesal ketika melihat cengiranku itu, bisa dilihat dari raut wajah mereka yang cemberut kayak ikan buntal.

Perjalanan menuju ke sekolah aku lewati dengan nyaris terserempet mobil, dikejar anjing dan kesandung batu. Belum juga sampai di sekolah pakaian dan rambutku yang sudah rapi, kembali berantakan dan acak-acakan.

"Oii! Sa, baru hari pertama masuk sekolah kamu sudah terlihat keren begini!" ucap salah satu teman SMPku dulu, Normal, di depan gerbang sekolah.

"Itu pujian apa sindiran?" tanyaku sambil memukul kepalanya, sehingga yang punya kepala mengaduh kesakitan.

"Aduhh, kok kamu mukul aku sih, Sa?" tanya Normal dengan wajah memelasnya yang membuatku ingin muntah. Temanku yang satu ini namanya saja yang Normal, akan tetapi tingkahnya selalu absur dan gak ada normalnya sama sekali.

My Girlfriend, Not Just A Beauty (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang