🌙 Chapter 6: Masa Orentasi Siswa 2

5 4 0
                                    

Hari ini, merupakan hari kedua masa orientasi siswa di SMA Bina Bangsa berlangsung di dalam aula yang luas dan terang. Setelah kemarin puas bermain di lapangan sekolah, untuk hari ini kakak kelas mengajak kami bermain adu kecerdasan dengan mengadakan lomba cerdas cermat antar kelas.

Aku duduk di antara Normal, Mentari dan Aila. Kami pun akhirnya menjadi satu tim dan bersiap untuk mengikuti lomba cerdas cermat. Aula dipenuhi dengan semangat para siswa untuk kompetisi dan kegembiraan, tetapi berbeda denganku yang merasa sangat cemas dan tertekan.

Sejak SD, kalau aku ikut cerdas cermat timku selalu kalah. Soalnya, aku selalu kebagian menjawab yang pertama dan mendapatkan pertanyaan aneh plus di luar nalar. Yang membuatku sering kali terpaksa menjawab asal-asalan karena tidak tahu jawabannya dan berakhir dengan kekalahan, makanya pada saat SMP tidak ada yang mau sekelompok denganku lagi. Hari ini, tampaknya tidak akan jauh berbeda dari yang sudah pernah berlalu. Ketika soal pertama diumumkan, aku sudah merasakan bahwa ini akan menjadi tantangan yang sulit.

"Semuanya berikan perhatian sepenuhnya pada soal pertama ini," ucap Bu Damai, guru yang menjadi moderator lomba. Suaranya yang tenang namun penuh semangat, membuat atmosfer yang tegang di antara kami menjadi semakin bertambah tegang.

Aku mendengarkan dengan seksama saat pertanyaan pertama diumumkan. "Berapa jumlah tawa yang ada di lukisan 'Mona Lisa' karya Leonardo da Vinci?"

Aku mengerutkan kening. Pertanyaan seperti ini tidak pernah muncul dalam latihan cerdas cermat yang pernah aku ikuti. Aku merenung sejenak, mencoba mencari informasi yang ada di otakku. Tapi sebelum aku bisa merumuskan jawaban, bel tanda waktu berbunyi.

"Sa, ayo kamu yang jawab!" teriak Normal dengan penuh semangat meskipun ia tahu bahwa aku tidak terlalu terampil dalam hal ini.

"Aku rasa... empat?" jawabku ragu sambil mengaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

'Senyuman di lukisan wajah 'Mona Lisa'? Mana aku tahu berapa jumlah senyuman di lukisan tersebut, soalnya aku tidak pernah pergi ke museum atau pun searching di google tentang hal-hal yang seperti ini,' jerit batinku histeris.

Ini merupakan pertanyaan yang bisa membuatku sakit kepala dan pingsan secara mendadak, lebih baik ditanyakan soal matematika atau pun fisika dari pada pertanyaan yang seperti ini.

"Eh, salah! Bukan itu jawabannya," sahut Mentari yang berada sebelahku. Ia sudah mengetahui jawaban yang benar dan sepertinya dirinya berada di urutan pertama dalam hal pengetahuan aneh-aneh semacam ini.

Kami terus melanjutkan dengan soal-soal berikutnya. Setiap kali aku hampir menemukan jawaban, tiba-tiba terdengar jawaban yang tepat dari Mentari. Aila, teman Mentari yang duduk di depanku, juga terlihat sangat terampil dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sulit.

"Bagaimana kalian bisa tahu jawabannya?" tanyaku pada mereka pada salah satu jeda istirahat singkat.

Mentari tersenyum sambil menjawab, "Kadang-kadang, aku suka membaca hal-hal aneh di internet. Ternyata, soal-soal seperti ini pernah muncul dalam artikel yang jarang dibaca orang."

Aku mengangguk sebagai tanda mengerti bahwa Mentari memang memiliki ketertarikan khusus pada pengetahuan yang aneh-aneh. Aku merasa agak cemburu, karena aku tidak pernah terpikir untuk mencari tahu hal-hal seperti itu. Menurutku membaca hal-hal tersebut tidak berguna dan membuang-buang waktuku yang berharga, lebih baik menonton anime favoritku saja.

Pada pertengahan cerdas cermat, tim kami masih berada di urutan paling bawah. Aku merasa semakin putus asa, karena selalu saja jawaban yang aku kira benar ternyata salah atau terlambat menekan bel. Namun, saat giliran Mentari yang menjawab pertanyaan selalu benar dan menekan bel pas pada waktunya. Sehingga, tim kami berhasil mencapai peringkat ke dua. Saat pertanyaan terakhir diumumkan, Aila, teman Mentari mengajukan diri untuk menjawab soal terakhir.

"Aku rasa aku tahu jawabannya," ucapnya dengan percaya diri.

Aku dan yang lainnya menatap Aila dengan penuh harap karena soal terakhir ini menentukan kami bisa jadi juara satu atau juara ke dua. Aila menatap layar proyektor dengan serius, seolah-olah mencoba memindai dan memproses setiap informasi yang ia ketahui. Akhirnya, ia menjawab dengan tegas.

"Empat puluh dua!"

Bel tanda waktu berbunyi lagi dan suasana tegang pun melanda aula. Bu Damai langsung memeriksa jawaban kami dengan hati-hati sebelum mengumumkan pemenang.

"Dan jawaban yang benar untuk pertanyaan terakhir adalah... empat puluh dua!" serunya.

Kami semua bersorak, merasa senang karena akhirnya kami bisa memenangkan satu lomba. Aku merasa lega, meskipun sebagian besar kemenangan ini berkat Mentari dan Aila yang bisa memberikan jawaban yang tepat. Sedangkan, aku dan Normal hanya menjadi beban tim yang selalu salah menjawab pertanyaan.

"Terima kasih, Tar!" seruku pada Mentari dengan penuh kegembiraan.

Mentari tersenyum hangat dan mengangguk, "Sama-sama. Kita tim, kan?"

Kami semua mengangguk setuju. Meskipun aku masih merasa sedikit canggung dengan nasibku yang sial terus-menerus, aku merasa lebih percaya diri dengan dukungan dari teman-temanku. Masa orientasi siswa di SMA Bina Bangsa memang memberikan banyak pelajaran, tidak hanya tentang pengetahuan tetapi juga tentang kebersamaan dan kerja tim.

Setelah lomba selesai. Pak Sabar, wali kelas kami yang selalu memelototiku saat salah menjawab pertanyaan cerdas cermat mendekati kami. "Selamat atas kemenangan kalian," ucapnya dengan senyum tipis. "Namun, jangan lupakan bahwa setiap kekalahan juga memberi kita pelajaran berharga."

Aku merasa sedikit tersentuh oleh kata-kata Pak Sabar, meskipun aku tahu dia sering kesal dengan ketidakmampuanku dalam menjawab soal cerdas cermat. Aku tidak pernah bisa menjawab dengan benar, hal itu membuatku sering kali merasa minder dengan teman-teman yang lain.

Mentari mendekatiku dan menyadari keheninganku. "Kamu tahu, aku rasa kamu bisa lebih baik lagi kalau kamu punya lebih banyak kepercayaan diri," ucapnya pelan.

Aku menatap Mentari dengan heran. Dia selalu tampaknya tahu cara mengatasi segala sesuatu. "Tar, bagaimana kamu bisa begitu percaya diri dalam segala hal?" tanyaku dengan rasa ingin tahu.

Mentari tersenyum lembut. "Sebenarnya, aku juga tidak selalu percaya diri. Tapi, aku belajar bahwa terkadang, keyakinan itu bisa kita bangun dengan menyadari bahwa kita punya tim yang selalu mendukung kita, Sa."

Aku mengangguk dan merenungkan kata-kata Mentari dengan serius. Mungkin memang benar, bahwa kepercayaan diri tidak hanya tentang pengetahuan atau kemampuan, tetapi juga tentang dukungan dari orang-orang di sekitar kita. Karena hal itulah yang bisa membuat kita bangkit dan terus bersemangat untuk berjuang.

Kami melanjutkan hari itu dengan berbagai kegiatan lainnya, seperti pertemuan dengan kakak kelas yang memberi tips dan trik untuk menghadapi tahun pertama di SMA sekaligus berburu untuk mendapatkan tanda tangan anggota OSIS. Aku merasa semakin yakin bahwa, meskipun aku tidak selalu bisa menjawab semua soal cerdas cermat, aku punya teman-teman yang selalu siap membantuku.

Masa orentasi siswa hari kedua pun, berakhir dengan meriah dan kami meninggalkan aula dengan penuh senyum kepuasan di wajah masing-masing. Masa orientasi siswa memang memberi kami banyak pengalaman berharga, yang tidak hanya menguatkan pengetahuan tetapi juga persahabatan di antara kami semua.

My Girlfriend, Not Just A Beauty (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang