🌙 Chapter 2: Teman Masa Kecil

11 5 2
                                    

Saat ini, aku sedang berjuang mencari namaku yang tertulis di mading, untuk menentukan masuk ke kelas yang mana. Suara langkah kaki dan riuh rendah percakapan siswa dan siswi memenuhi koridor SMA Bina Bangsa.

SMA Bina Bangsa adalah sekolah tingkat menengah atas yang banyak diminati oleh berbagai macam kalang, mulai dari anak pejabat sampai golongan kelas atas. Kualitas sekolahnya pun tidak main-main elitnya, calon siswa harus lolos seleksi dan nantinya akan dimasukkan ke dalam kelas sesuai dengan kemampuan yang mereka punya.

Kebetulan ayahku adalah seorang pekerjaan kantor dan aku pun anak tunggal. Tentu saja ibu memilihkan sekolah yang bergensi  sekaligus berkualitas bagus agar cita-cita anaknya bisa tercapai.

"Sa, ada ketemu namamu? Kamu masuk kelas yang mana?" tanya Normal sambil menepuk bahuku.

Aku tidak menghiraukan apa yang ditanyakan oleh Normal, soalnya aku sibuk mencari di lokal mana aku di tempatkan.

'Semoga gak masuk kelas IPA,' ucapku dalam hati.

Jujur saja dari SMP aku sudah tidak suka pelajarannya, mulai dari matematika, ilmu pengetahuan alam, fisika dan  biologi. Semua mata pelajaran yang aku sebut tadi sungguh sangat merepotkan dan bikin sakit kepala, apalagi kalau sudah berkaitan dengan menghafal rumus-rumusnya. Jangankan menghafal rumus fisika dan matematika hafal arah jalan ke rumah saja aku suka lupa.

"Oii! Sa, ditanya kok gak nyahut-nyahut? Kamu kerasukan jin, ya?" tanya Normal sambil berbisik pelan, seketika hal tersebut membuatku tubuhku merinding.

Reflek saja aku memukul kepala dan mendorong tubuhnya agar menjauh dariku, sehingga membuat Normal jatuh terduduk di lantai dengan bunyi gedebuk yang keras.

"Awwww, pantatku sudah tidak suci lagi," teriak Normal lebay.

Teriakan tersebut berhasil memancing perhatian seisi koridor ke arah kami berdua, aku bergegas menutup mulut Normal sebelum dirinya berkata yang aneh-aneh lagi dan dengan paksa menyeret tubuhnya ke tempat yang sepi.

Setelah sampai di tempat yang sepi, barulah aku melepaskan tangan dari mulutnya Normal.

"Huhu! Sa, kamu tega bener sama aku! Liat pantatku udah gak suci lagi karena dicium sama lantai. Kamu harus tanggung jawab!" ucap Normal sambil mengelap bagian belakang celananya yang kotor terkena debu.

Aku memutar mataku jengah melihat kelakuan Normal, yang tidak berubah malah makin hari semakin bertambah parah menurutku.

"Kamu sih, Mal. Jelas aku lagi sibuk cari namaku, kamu malah ganggu konsentrasiku! Seharusnya, aku yang minta kompensasi soalnya fokusku buyar dan nama baikku nyaris saja hancur karena kamu!" ucapku dengan mata melotot, galak.

"Maaf, Sa! Aku janji gak bakalan kayak gitu lagi," ucapnya sambil cengar-cengir gak jelas. Kalau bukan teman, sudah lama aku tenggelamkan dirinya ke rawa-rawa atau ke laut biar dimakan sama ikan hiu.

"Awas, kalo kamu kayak gitu lagi! Kamu ini cowok, Mal! Cowok harus lakik, jangan lebay kayak cewek, okeh!" ucapku sambil menepuk bahunya.

"Okeh!" balas Normal sambil mengacungkan jari jempolnya, aku pun mengangguk puas melihatnya.

Setelah itu, aku dan Normal kembali mendekati mading yang ramai dengan siswa-siswi yang sibuk mencari namanya di daftar kelas.

Aku meneliti satu persatu setiap daftar nama siswa dan siswi yang tertempel di mading. Normal tiba-tiba menepuk bahuku sambil menunjukan deretan kelas X IPA 2.

"Sa, namamu masuk di kelas IPA dua!" teriak Normal kegirangan, "Yeay, kita akhirnya satu kelas!"

Kebahagiaan bagi Normal, kemalangan bagi diriku. Mungkin ini yang dinamakan udah jatuh ketimpa tangga pula. Semua hal yang aku inginkan selalu saja bertolak belakang dengan apa yang aku dapatkan, seperti kelas ini contohnya. Jelas-jelas aku ingin masuk kelas IPS, malah dapat kelas yang aku benci dan gak suka.

'Hah, nasib-nasib! Kenapa nasibku apes banget," ucapku dalam hati dengan wajah murung.

Di tengah kesedihanku masuk kelas X IPA 2, siswa dan siswi lain berteriak-teriak  heboh tanpa terkecuali sahabat laknatku, si Normal. Dia yang teriakannya paling heboh dari yang lain sambil menepuk-nepuk bahuku, dia gak tau apa aku lagi sedih menangisi nasibku yang malang.

"Sa, cepat liat ada cewek cantik di sana!" teriak Normal heboh.

"Udah biarin aja, Mal! Aku lagi sedih, nih!" ucapku sambil menundukkan kepala.

"Aihh, liat dulu napa!" ucap Normal mengarahkan kepalaku ke arah di mana cewek cantik tersebut berdiri.

Seketika aku merasakan jantungku berdebar dan berdetak tak karuan. Aku kenal dengan cewek yang mereka sebut cantik tersebut, ia adalah Mentari, teman masa kecilku dulu.

Saat kecil Mentari seperti dewi keberuntungan bagiku, kalau ada dirinya di dekatku tidak ada yang namanya nasib sial. Saat aku masuk SMP, Mentari dan keluarganya pindah keluar kota karena ayahnya yang seorang tentara dipindah tugaskan. Semenjak itu, hubungan aku dengannya menjadi renggang dan tidak pernah saling memberi kabar.

Mentari yang sejak tadi celingak-celinguk seperti mencari seseorang, berhenti mencari saat tatapan mata kami bertemu. Ia mengembangkan senyum manis yang bisa membuat cowok-cowok disekitarnya pingsan. Melihat senyuman Mentari, aku merasakan firasat buruk menghampiriku.

"Angkasa, lama tidak bertemu! Aku kangen tau!" teriak Mentari sambil berlari ke arahku, sesampainya di hadapanku Mentari langsung memeluk erat tubuhku.

"Aku tidak akan pernah pergi lagi dari sisimu, Sa!" bisiknya pelan sambil berlinang air mata.

"Cie!" teriak semua siswa dan siswi heboh saat melihat aku dan Mentari berpelukan di koridor sekolah. Sedangkan, Normal malah pingsan di sebelahku.

Aku hanya termenung tidak tahu harus berbuat apa, hanya bisa diam tidak bergerak seperti patung.

"Tar, udah liat tuh! Angkasa sampai gak bisa nafas dan gerak gitu gara-gara kamu peluk erat," ucap seorang gadis yang tidak kuketahui namanya menarik Mentari melepaskan pelukannya dari diriku.

Saat Mentari melepaskan pelukannya dari tubuhku barulah diriku bisa bernafas lega dan sedikit tenang.

"Lama tidak bertemu, Tar!" ucapku sambil tersenyum kikuk. Soalnya aku sudah tiga tahun tidak pernah bertemu dengannya dan rasanya dia jadi seperti orang asing. Butuh beberapa waktu untukku menyesuaikan diri, agar bisa dekat dengannya lagi.

Mentari tersenyum manis sambil menepuk bahuku. "Kamu sekarang udah tinggi ya, Sa! Dulu kamu cowok pendek yang suka terkena sial dan hobinya nangis," ucap Mentari sambil tersenyum hangat. Satu hal yang tidak pernah berubah dari Mentari yaitu senyumannya yang selalu hangat, sama persis dengan namanya itu.

"Sekarang udah gak lagi," balasku sambil menggelengkan kepala.

"Masa? Aku tahu bahwa kamu masih sering ketiban sial, 'kan?" tanya Mentari sambil menaik turunkan alisnya melirik ke arahku.

"Hehe, iyah," jawabku sambil mengaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

My Girlfriend, Not Just A Beauty (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang