000

31 5 5
                                    

Sebelumnya, disclaimer. Saya minta maaf untuk bahasa jawa yang saya pakai ini sesuai pengetahuan saya. Maaf, jika bahasanya tidak halus dan kadang halus 😭🙏.

Oh ya, di dalam dunia sihir jawa ini tidak ada tahun ya. Saya tidak menetapkan tahun karena cukup bingung mau tahun berapa. Karena nanti bisa bertabrakan dengan sejarah. Ya, meskipun ini fiksi. Tolong dukung apa yang saya tetapkan. Itu saja, terima kasih telah mencoba membaca karya saya.

Tolong dukung karya ini sampai selesai.

.

Sihir Jawa

Selamat membaca

.

"Ora pareng murung nduk, uwes ayo metu, enggak isin di tinggali wong iku?" ucap ndoro ibu menenangkan anaknya yang tengah menangis karena di usir dari kediamannya.
[Tidak perlu bersedih nak, sudah ayo keluar, enggak malu di lihatin orang-orang?]

Pemuda yang tengah menangis dengan sesengukan itu akhirnya berhenti menangis dan berdiri untuk menghadap ibunya dengan tegap.

Dia mengusap air mata yang sempat jatuh di pipinya, "Ngapunten bu, Harja ra iso nyenengno ibu. Sak niki tambah di usir ndugi griyane kiyambek," ucap Harja menunduk memainkan jarinya. [Maaf bu, Harja enggak bisa bahagiain ibu. Sekarang malah di usir dari rumahnya sendiri]

"Ngendika iku di tinggali lawane nduk," ujar ibu memengang kedua pundak Harja memberi isyarat untuk mendongakkan kepalanya.
[Kalau bicara itu di lihat lawan bicaranya Nak]

"Uwes nduk, ayo mlaku golek enggon damel istirahat," ucap ibu menuntun anaknya untuk melangkah menjauh dari rumah mereka.
[Udah nak, ayo jalan cari tempat buat istirahat]

Para warga yang melihat itu merasa iba, ada juga yang mencibirnya. Kematian yang di sebabkan oleh ibu dan anak itu menjadi berita besar untuk kerajaan Adiyasa. Karena itu, mereka di asingkan dari istana dan tidak di perbolehkan untuk kembali.

-

Hari ke hari berlalu ibu dan Harja berjalan menyusuri bumi dengan berbagai rintanganannya. Entah itu, hujan, angin, atau panas yang menyengat. Hari ke 7 mereka menemukan sebuah rumah gubuk yang sudah tidak terpakai cukup jauh dari istana.

Dengan semangat mereka membersihkan rumah tersebut. Hanya untuk terlihat rapi dan layak di tinggali. Saat malam tiba, ibu dan Harja tengah memasak air untuk mereka minum nanti. Suasana cukup hening, sampai suara tangisan dari Harja terdengar.

"Lan napa nangis nduk?" tanya ibu dengan mengusap punggung Harja. [Kenapa nangis nak?]

"Ngapunten ibu, ngapunten kulo mboten saget-,"
[Maaf ibu, maaf aku enggak bisa-]

"Uwes, ra usah nangis. Iku ngunu jenenge musibah. Sampean mboten salah, pendet male ngriya sampean nduk," ucap ibu memotong ucapan Harja. [Udah, enggak perlu nangis. Itu namanya musibah. Kamu enggam salah, ambil lagi rumah kamu nak]

"Saget kulo pendet maleh to ibu? kulo mboten saget bela diri." ujar Harja mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk. Sang ibu tersenyum padanya.
[Bisa di ambil lagi emangnya ibu? Aku enggak bisa bela diri]

"Saget, engken sampean lek sampun umur pitung welas tahun sampean bidal golek ilmu nggeh," ucap ibu dengan mengusap air mata yang berada di pipi Harja. [Bisa, nanti kamu kalau udah umur tujuh belas tahun kamu berangkat cari ilmu ya]

"Sihir Jawa. Niku namine ilmu seng kanjenge sampean golek," [Sihir Jawa. Itu nama ilmu yang bakal kamu cari]

Harja mendengarkan dengan hati-hati, mencoba mengingat apa yang di katakan oleh ibunya. "Ibu, Harja lek golek ilmu sak niki mboten saget ta?" tanya Harja penasaran. [Ibu, Harja cari ilmu sekarang enggak bisa emangnya?]

Sang ibu tersenyum karena semangat sang buah hati. "Mboten saget nduk, umur sampean sek sepuluh tahun. Sampean enteni sekedap nggeh?"
[Enggak bisa nak, umur kamu masih sepuluh tahun. Kamu tunggu sebentar ya?]

Harja tersenyum dan mengangguk. "Enggeh ibu, matur suwon wejangane." [Iya ibu, terima kasih nasehatnya]


Salam kenal aku dari jawa timur

Sihir JawaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang