Pretty Skies [2]

400 55 21
                                    

"K-kau menunggu lama ya, m-maafkan aku, aku harus membersihkan diri sebentar." Hinata merapihkan rambut setengah basahnya ke belakang telinga. "Mau kuhangatkan lagi makan malamnya? Apa kau sudah makan bersama orangtuaku?"

"Aku menunggumu." Suaranya yang intens selalu memberi hujaman kejut listrik ke diri Hinata. Membunyikan detak jatung berirama aneh. Daya tarik orang tampan memang luar biasa.

"Ba-baiklah." Karena bingung harus merespon seperti apa lagi, Hinata memilih menghangatkan makan malam mereka. Setelah selesai, berikutnya ia sajikan untuk mereka makan bersama di meja kecil tanpa kursi, beralas karpet hangat.

"Ba-bagaimana rasanya?" tanya Hinata takut-takut, menggigit sendok sup misonya menunggu reaksi.

"Masih bisa kumakan," balas Naruto lalu menatap Hinata. Menelan nasi dan ikan setelah tiga kali kunyahan.

"Aku penasaran, apa... apa warna matamu adalah warna asli?" Spontanitas pertanyaan itu begitu saja mengudara, sehingga keheningan datang begitu saja pada keduanya. Keheningan yang damai.

"Kurasa."

Hinata tersenyum bersamaan dengan pipi mengembung terisi nasi, "Jernih menyerupai warna langit," pujinya tulus, lalu kembali mengunyah.

Tertegun, Naruto terdiam untuk mencerna apa yang baru saja terjadi di dalam hatinya. "Mengapa kita tidak tinggal berdua saja?"

Hinata terbatuk, kemudian meminum air putih buru-buru. "Ba-bagaimana dengan ini?" Hinata menunjukkan kartu pengenal Naruto, yang selalu ia bawa ke hadapan lelaki itu. "Apa kau tidak mengingatnya? Keluargamu Namikaze?"

Naruto mengerutkan kening tidak suka. "Kenapa menjawab pertanyaan dengan pertanyaan?" Dia tidak mempunyai perasaan penasaran dengan Namikaze itu.

Hinata mengangguk kalah berdebat, melihat sikap pemaksaan itu. "Ka-Karena kita masih pe-pengantin ba-ba-baru." Matanya berkedip mencoba mengalihkan topik, "Ja-jadi apa kau ingat sesuatu, setelah melihat kartu pengenal itu?"

"Aku ingin kita tinggal berdua saja."

Kali ini bukan lagi batuk biasa. Hinata benar-benar terbatuk-batuk, mendengar bagaimana mudahnya kalimat frontal itu lolos dari mulut Naruto tanpa saring. Keagresifan itu sesuatu hal asing yang menyentil hati Hinata, seperti ada kupu-kupu berterbangan di perutnya.

"K-K-Kita tidak cukup mempunyai uang u-untuk tinggal berdua saja, Na-Naruto-san."

"Naruto-san?"

Hinata gelagapan, "Ma-maksudku Na-Naruto-kun."

Sekali lagi keheningan datang pada keduanya, sampai-sampai Hinata pikir mereka tidak akan saling bertukar kata lagi. Namun demikian, Naruto memang sesekali di luar dugaan. "Baiklah aku akan mencari uang lebih banyak agar kita bisa tinggal bersama." Kalimat disertai cengiran hangat selayaknya matahari itu, cukup meremas jantung Hinata bekerja lebih cepat.

"Hah?" Hinata melongo tidak percaya. Asing pada keromantisan. Bagaimana ini? Bagaimana bila Hinata mulai serakah agar bisa memiliki Naruto hanya untuk dirinya sendiri.

* * *

"Kita tidak tidur bersama?" Naruto kembali mengujarkan pertanyaan. Atensinya beralih memegang ujung rambut keunguan Hinata yang hampir mengering. Ia duduk di kasur mendengarkan intruksi Hinata.

Pretty SkiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang