[CERITA INI SUDAH BISA DIBACA LENGKAP DI KARYAKARSA KATAROMCHICK. TERDIRI DARI 8 CHAPTER DENGAN TOTAL 74 HALAMAN. JANGAN LUPA PAKAI KODE VOUCHER YANG TERSEDIA DI ATAS UNTUK DAPAT POTONGAN HARGA.]
"Ini uang yang bisa kamu dapatkan dengan setuju menjadi istri sementara saya."
Yudisa Citraloka menatap isi tas uang tersebut dengan wajah penasaran. Namun, dia harus menjaga image supaya tidak dikira sangat menginginkan uang itu—meskipun memang mau banget.
"Ini cuma sementara, kan?"
"Iya, kamu nggak perlu sibuk mikirin tenggat waktunya. Kalo saya menahan terlalu lama, saya akan kasih kamu lebih."
Yudisa mengangguk dengan pelan. Dia menaikkan kedua alisnya mendapati kasih lebih dalam ucapan pria di depannya ini. Namun, sebelum mengiyakan, Yudisa harus bertanya lebih dulu mengenai kategori penilaian yang dilakukan pria di depannya ini untuk Yudisa.
"Kenapa saya yang Bapak pilih untuk menjadi istri sementara?"
"Kamu punya kualifikasi yang lumayan. Nggak terlalu tinggi, juga nggak terlalu rendah. Karena kalo kamu terlalu tinggi, kamu nggak akan mau saya tawarkan uang begini. Nggak terlalu rendah karena track record kamu yang seorang Lady Companion juga cukup bersih. Kerjaanmu profesional jadi pegawai, nggak berminat dibawa atau sekadar disentuh sembarangan."
Yudisa otomatis memajukan bibir karena penilaian tersebut yang, okelah baik, tapi tidak membanggakan juga. Jika tidak terhimpit keadaan, Yudisa tidak akan melakukan hal sejauh ini.
"Sudah sesi tanya jawabnya?" ucap pria itu.
"Hm. Iya, sudah."
"Kalau begitu, mulai besok jangan bekerja lagi disini. Kamu akan segera masuk menjadi bagian keluarga saya, paham?"
Yudisa mengangguk, dan berusaha mengambil tas berisi uang di tangan si pria. Tapi Yudisa ditahan dengan cepat.
"Uang yang saya berikan bukan yang ini. Saya akan transfer kamu secara bertahap. Untuk melihat, apa kamu akan kabur atau nggak. Kinerja kamu bagus atau nggak. Semua itu akan tercermin dari nominal saldo rekening kamu. Kamu kirimkan semua data yang nanti asisten saya minta. ID pengenal, nomor rekening, ijazah pendidikan terakhir, dan alamat tinggal sampai titik koordinat di peta harus sesuai."
Yudisa menghela napas kesal karena persyaratan yang terbilang rumit itu.
"Bapak ini cuma mau menikahi saya sementara, kenapa ribet banget, sih?"
"Saya mau menikah sementara dengan jelas. Bukan menikah sementara dengan penipu nantinya. Saya belum tahu kamu lebih jauh, jadi nggak usah banyak protes."
Yudisa memajukan bibirnya dan hanya bisa menatap pria banyak uang itu dengan tajam. Ketika tas berisi uang tersebut dibawa, Yudisa merasa sangat kehilangan. Padahal mendapatkan uang banyak dengan pekerjaan yang terbilang mudah akan segera dirinya dapatkan, tapi tetap saja tidak ada yang instan untuk apa pun di dunia ini. Yudisa harus sabar menunggu.
"Oh, iya. Saya nggak membahas mengenai pertemuan keluarga karena saya tahu kamu sudah besar di panti asuhan dulu. Jadi saya simpulkan kamu nggak punya keluarga. Jadi, kita nggak perlu susah payah membahas tentang restu atau semacamnya. Tinggal menikah, bertahan untuk beberapa waktu, lalu selesai. Kamu hanya perlu menunggu uang ke rekeningmu masuk, dan tunggu perceraiannya saja setelah saya dapatkan semuanya."
Yudisa tidak sakit hati dengan pembahasan dirinya yang besar di panti. Memang kenyataannya demikian. Dia yang bisa sekolah sampai tingkat SMA saja sudah bagus, ketimbang tidak disekolahkan. Makanya, tidak ada rasa malu juga karena pria di depannya ini membahas tidak perlu memperpanjang perdebatan menyoal restu. Toh, Yudisa memang tidak ingin melakukan sesuatu yang muluk-muluk. Setelah dia mendapatkan uang dan bercerai, masalahnya akan selesai dan dia bisa kembali ke kehidupan normalnya atau bahkan memperbaiki hidupnya menjadi lebih baik.
***
Edris Aras Niar. Begitulah nama yang dimiliki pria sukses yang menawarkan sejumlah uang yang tidak sedikit pada Yudisa dan meminta bantuan untuk menjadi istri pria itu dalam tenggat waktu sementara. Meski 'sementara' itu belum ditentukan, tapi yang jelas tidak akan lama. Jika lama pun, Edris sudah menjamin bayaran untuk Yudisa. Makanya perempuan itu tidak risau.
Namun, ada satu kerisauan ketika pada akhirnya Yudisa menginjakkan kaki di rumah Edris dan mendapati seorang anak perempuan yang berdiri dengan berkacak pinggang dan menatap kehadiran Yudisa selayaknya musuh.
"Ini putri saya, Heela Eshma Janah. Panggilannya Ela. Kamu nggak bertugas untuk mengurus atau menjaga anak saya, kamu hanya perlu nggak mengganggu dan nggak membuat anak saya risih dengan kehadiran kamu."
Perintah itu rasanya terlalu berlebihan untuk Yudisa dengar. Bagaimana bisa putri pria itu tidak akan merasa risih? Secara mereka adalah orang yang asing satu sama lain. Wajar jika putri pria itu risih dengan Yudisa. Toh, Yudisa juga tidak nyaman dengan kehadiran anak kecil itu yang menatapnya tidak sopan. Sumpah nggak ada manis-manisnya! Padahal biasanya anak kecil, apalagi perempuan, pasti ada sisi manis dan menggemaskan.
"Ini ceritanya saya jadi istri yang gimana, ya, Pak? Saya diem aja di rumah? Padahal saya juga nggak bisa diem orangnya. Kalo pun anak Bapak risih, ya, emang kami belum saling kenal. Jadi, gimana?"
"Tante cerewet, kenapa nanya terus sama Papa aku?"
Edris menatap putrinya dan mengusap rambut anak itu sayang. "Ela, Tante ini punya nama. Namanya Tante Yudisa."
Ela menatap papanya dan bertanya, "Kenapa namanya kayak cowok, Pa? Yudisa. Temen aku di sekolah ada yang namanya Yudis juga. Yudistira."
Lihatlah, anak kecil yang memanggil Yudisa dengan sebutan Tante cerewet itu sekarang sibuk bertanya pada papanya. Siapa yang sebenarnya cerewet disini?
"Papa nggak tahu. Karena bukan Papa yang kasih nama untuk Tante Yudisa. Kamu bisa tanya ke Tante Yudisa sendiri. Anyway, mulai sekarang Ela tinggal sama Tante Yudisa di rumah, ya. Hanya sementara. Tante Yudisa nggak akan macem-macem, kok. Karena kalo Tante Yudisa macem-macem, Papa nggak akan bayar hasil kerjanya."
Yudisa memelotot karena ucapan Edris pada anak perempuannya itu. Bisa-bisanya pria itu mencoba untuk mengancam Yudisa di depan anak kecil.
"Iya, Pa. Oma udah bilang, kok."
Yudisa menjadi ngeri sendiri. Dia sudah masuk ke keluarga macam apa sebenarnya? Anak kecil seperti Ela saja mengerti posisi Yudisa di rumah itu dan memahaminya dari sang nenek? Mereka sepertinya keluarga yang pandai bersengkongkol.
"Yaudah, kalo gitu, Yudisa bisa nggak bawa Tante Yudisa ke kamar yang udah dibersihin sama bibi Turiyam?"
Ela mengangguk dan langsung melayangkan tatapannya pada Yudisa lagi.
"Ayo, Tante! Aku tunjukkin kamar buat Tante."
Yudisa melirik Edris lebih dulu sebelum akhirnya mengikuti Ela yang tampak percaya diri memimpin langkahnya di depan.
"Kamu umurnya berapa? Kenapa pinter banget ngomongnya?"
"Dasar Tante kepo! Jangan tanya-tanya aku! Aku nggak suka sama Tante."
Yudisa yang mendapatkan respon demikian langsung menyeletuk. "Siapa juga yang suka sama kamu?"
Ela langsung memutar tubuhnya dan bersikap tak suka dengan ucapan Yudisa. "Tante bilang apa!?"
"Aku bilang, aku juga nggak suka sama kamu, wleee!"
Yudisa memeletkan lidahnya dan membuat Ela kesal. "Dasar Tante kepo! Tante cerewet! Ela nggak mau anterin lagi, sana cari sendiri kamarnya!"
Ela pergi meninggalkan Yudisa yang kebingungan, tapi dia gengsi untuk memanggil Ela dan meminta maaf pada anak itu. Jadilah Yudisa menggunakan akal pikirnya saja. Dia akan mencoba membuka pintu kamar yang tidak terkunci dan mengeceknya. Jika ada barang milik Edris, berarti itu kamar si pria kaku, jika bukan maka itulah kamar untuknya. "Dipikir gue nggak bisa cari kamar gue sendiri apa? Dasar bocil!"
YOU ARE READING
IBU WASIAT
Short StoryYudisa hanya perlu menjadi istri sementara saja untuk Edris, dengan begitu dia akan mendapatkan uang dan fasilitas yang memadai. Namun, semua kesenangan itu juga sifatnya sementara. Ditengah proses yang sementara itu, mereka bermain dengan api cinta...