Part 7 - Recall

169 53 0
                                    

Aku menginjak rem di depan sebuah gerbang berwarna abu – abu yang kutebak setinggi dua meter dari atas tanah, tertutup dan ada ukiran nomor yang terbuat dari kayu bernomor 69 persis alamat yang diberikan Mr. K padaku via whatsapp, tertempel di salah satu pintunya yang sangat tidak bercelah.

Tapi pintunya tertutup rapat. Aku menunggu sambil mengetuk – ketukkan jari di atas setir, kuhela napas dan memutuskan untuk coba menekan klakson. Tak lama, pintu abu – abu itu terbuka keduanya, memberi celah agar aku memasukkan mobilku lewat sana. Tak menunggu lama, aku kembali melajukan mobil memasuki bangunan yang sekarang tampak seperti tempat pencucian mobil juga bengkel. Aku disambut seorang laki – laki muda yang bertanya tindakan apa yang ingin kulakukan pada mobilku, namun aku menjawab bahwa aku ingin bertemu pemiliknya. Dan sayangnya, Mr. K belum tahu nama pemiliknya. Beliau sedang menanyakannya pada Gemilang dan aku pikir belum mendapat jawaban karena belum ada pesan yang memberikan nama pemilik usaha ini.

Laki – laki muda itu mengarahkanku untuk parkir tepat di sebrang tempat cuci mobilnya dan ia menunjuk sebuah ruangan yang berada di bagian menjorok ke dalam yang terlihat seperti tempat administrasi.

Bengkel ini cukup besar, mungkin berukuran 70 x 50 meter, aku tidak yakin. Tempat carwash-nya terpisah dari bangunan bengkel dan di bagian tengahnya mereka membuat ruangan kecil yang tampak seperti minimarket berisi berbagai perlengkapan bengkel dan otomotif lainnya. Terlihat dari luar karena seluruh bangunan itu terdiri dari kaca bening. Terdapat tulisan BENERIN pada sektor bengkel dan CUCIIN pada sektor carwash, membuatku menghembuskan napas mengingat betapa simple-nya si pemilik memberi nama pada usahanya yang cukup maju dan besar ini.

"Mam, mbak ini mau ketemu mas Ade."

Oh, Ade mungkin nama pemiliknya.

Aku melongok ke dalam ruang yang menyerupai kantor, mungkin di sini pemiliknya menghitung pemasukan dari layanan jasa mereka. Seorang wanita paruh baya, bertubuh kurus, berambut hitam legam keriting, mengenakan sleeveless shirt ungu tua dengan gambar bunga di tengahnya memiringkan tubuh untuk melihatku lebih jelas. Aku menganggukkan kepala seraya tersenyum menyapanya.

"Ini mami Mieke, ngobrol sama mami dulu aja ya, Mbak." Aku berterima kasih pada laki – laki yang mengantarkanku ke ruangan ini.

Sementara sosok wanita yang dipanggil mami Mieke itu memindai penampilanku dari ujung kaki hingga kepala sambil menghisap rokok kreteknya yang tinggal setengah. Di kedua tangannya terdapat tato yang hampir menutupi kulitnya. Begitu juga di sisi leher kiri, tato bunga mawar hitam terlihat jelas dari tempatku berdiri. Sebab ia sungguh berulang memindai penampilanku dari ujung kaki hingga kepala.

"Nggak biasa – biasanya si Ade kasih tahu bengkel ini ke pacarnya." Ia berujar, masih sambil mengamati penampilanku.

Spontan aku memajukan kedua tangan sambil menggerakkannya perlahan, menyangkal dugaan yang ia sebutkan barusan.

"Hmm—bu—bukan, saya bukan pacarnya mas Ade, Bu. Saya kesini datang untuk mewakili Turangga Herba—eng anu, bos saya ingin bekerja sama dengan bengkel dan carwash ini."

Ia mematikan rokoknya yang hampir habis ke dalam asbak, menekan ujung berapinya hingga mati kemudian ia berdiri sambil memajukan tangan kanannya untuk bersalaman.

"Gua kira lo pacarnya si Ade, tapi nggak mungkin lo pacarnya kalau namanya aja lo nggak tahu kan?" Ia tertawa, dengan canggung aku menyambut uluran tangannya yang kering dan sedikit keriput kemudian ia melambaikan tangan pada kursi di seberangnya agar aku duduk. "Kerjasama apa?"

Aku mengeluarkan dua berkas dengan copy-annya yang masing – masing harus ditandatangani pemilik bengkel ini atas kerjasama yang diajukan perusahaan kami. Menurut Mr. K untuk service mobilnya, beliau sudah deal dan tidak mempermasalahkan harga yang diberikan. PR-ku hanya diskon untuk carwash.

Namun, wanita yang bernama mami Mieke ini dengan cepat menolak berkas yang kusodorkan.

"Itu nanti aja sama anak gue deh, gue nggak ngerti."

Aku menarik tanganku yang hendak memberikannya berkas – berkas itu dan meletakkan di atas pangkuan sambil mengangguk maklum.

"Kira – kira jam berapa saya bisa bertemu mas Ade ya, Bu?"

Ia tertawa geli mendengar pertanyaanku, namun tetap menjawabnya dengan gaya santai yang kupikir sudah menjadi pembawaannya.

"Sebentar lagi juga datang. Lagi keluar sebentar dia."

Ia memberikan sebotol teh kemasan dari chiller yang terdapat di belakang punggungku, aku baru menyadarinya saat memperhatikan bu Mieke beranjak dari tempat duduknya hanya untuk memberikanku minuman.

"Terima kasih, Bu."

"Dari PT apa tadi?"

"Turangga Herba, Bu."

"Oh yang jamu - jamu itu yaa?"

"Betul, Bu."

"Mbaknya kerja jadi apa? Siapa namanya tadi?"

"Oh—" aku lupa belum memperkenalkan diri. "Saya Danishtia, Bu. Sekretaris Corporate."

"Oh Sekretaris."

Get Over SomethingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang