Part 3 - Beat The Last Bond

216 63 0
                                    

Karena hubunganku yang terlalu menegangkan dengan Barry juga, aku akhirnya mengambil kelas Yoga. Ini adalah saran dari salah satu staf staf T&D, Wenny, yang mengajakku Yoga karena menurut penelitian Yoga memang baik untuk kesehatan fisik dan mental.

Dan malam ini, ada jadwal kelas yang harus kuikuti. Aku sudah janjian dengan Wenny untuk pergi ke studio Yoga bersama, dia barusan mengirim pesan sedang siap – siap untuk turun dan menunggu di depan minimarket. Aku memastikan pekerjaan Erlangga dan Tiwi done, juga tidak ada list yang terlewat kecuali dokumen yang membutuhkan tanda tangan Mr. K, aku membawanya untuk mengunjungi beliau besok pagi di rumahnya. Tentu setelah meminta izin padanya untuk berbagai pengajuan yang sudah beberapa hari terlewat olehnya itu di meja.

Kalula dan Kaisar selalu excited tiap aku berkunjung. Kaisar bahkan sudah menyatakan cinta padaku, oohh—andai saja kamu berusia setidak – tidaknya tiga puluh tahun, Sayangku Kaisar. Aku tidak akan menolak dinikahi oleh anak seorang founder dan CEO PT. Turangga Herba, Tbk. Iya, sejak melantai di Bursa, Turangga Herba sudah go public. Tapi tentu saja, pemegang saham terbesar mayoritas masih bosku yang baru saja berusia empat puluh tiga tahun itu.

Baru saja keluar dari lift dan mencari – cari sosok Wenny yang katanya sudah menantiku di sana, panggilan masuk mendistraksiku lagi. Aku merogoh ponsel dalam tas dan melihat nama Barry tertera di sana.

"Kenapa lagi, Yang?"

"Besok aku pulang, kita cari bahan tambahan sama – sama. Titik."

"Masih ada waktu—"

"Nggak. Jangan mepet – mepet, lebih baik sudah dapat baju yang seragam lebih cepat daripada kamu pakai baju dengan warna yang beda."

Aku menghela napas, kulihat Wenny melambaikan tangan ke arahku, aku mengangguk meresponnya sambil terus berjalan menuju tempat Wenny berada.

"Kenapa reaksi kamu gitu? Kayak nggak suka dengar aku pulang lebih awal."

Di sini aku memutar mata. "Nggak gitu, aku baru banget turun ini. Ada kelas Yoga sama Wenny." Aku berujar, dengan nada suara sarat kelelahan.

Yoga memang membantuku setidaknya menahan emosi untuk tidak bertingkah seperti remaja puber yang baru mendapatkan menstruasi di hari pertama. Tapi berbicara dengan Barry selalu semelelahkan ini.

"Memang kamu nggak senang kan kalau aku pulang. Kamu lebih senang aku jauh, biar bisa puas nongkrong bareng teman – teman kamu itu."

"Please deh, Yang, aku capek banget hari ini. Dan masih ada kelas olahraga yang harus aku ikuti. Jadi, kalau kamu bermaksud untuk menguras energiku dengan telepon ini, kamu simpan dulu aja untuk malam nanti."

"Pulang kalau capek, kamu malah nyari penyakit ikut kelas – kelas Yoga, nambah – nambahin aktifitas aja. Badan kamu sudah bagus, nggak perlu olahraga."

"Thanks bilang badanku bagus. Tapi, aku beneran sudah mau berangkat nih. Sudah ya?"

"Oke. Besok kosongin jadwal jam 5, I'll pick you up."

"Hmm."

"Aku nggak dengar jawaban kamu."

"Iya, Sayang."

"Oke. See you, Honey."

"Dagh."

Begitu tiba di hadapan Wenny, aku melebarkan senyum dan merangkul bahunya seraya mengajak dia ke tempat aku memarkirkan mobil. Dalam kepalaku sudah menduga kalau kepulangan Barry akan bertuntut pertengkaran lain yang harus kuhadapi, he's gonna beat the bond. Or did I?

Get Over SomethingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang