Bab 8

7 1 0
                                    

Aroma kopi menusuk indra penciuman.

Namira bangun setelah cukup lama ia membuka mata. Mengumpulkan energi untuk bisa beranjak dari kasur yang selama dua hari telah menemaninya.

Tubuhnya ia bawa dengan langkah gontai mendekat pintu yang terbuka lebar. Sesekali ia sandarkan tubuhnya untuk kembali mengumpulkan energi sebab hanya dengan beberapa langkah membuatnya kelelahan.

Pagi ini cukup senyap, tak ada celoteh menggemaskan. Bayi itu juga tak terlihat sejauh mata memandang. Tapi aroma khas menyegarkan memenuhi ruangan. Elio sudah mandi.

Namira awas memperhatikan sekitar ketika tangan berpegang pada pagar pembatas di lantai dua. Menelusuri lantai bawah, meja pantry kosong, tak ada yang memasak. Pandangannya ia bawa ke kiri, ada yang duduk di sofa panjang dengan laptop di pangkuannya serta kopi yang asapnya masih mengepul. Baru saja dibuat. Jelas ia tahu itu siapa.

Tapi ada yang menarik perhatiannya lebih dalam, yaitu dua koper yang bersisian depan vas bunga besar dekat sofa yang diduduki suaminya.

Alisnya bertaut, kepala mencoba menerka dengan mata yang tak beralih pandang. menatap dengan saksama.

“Mas,” panggil Namira lirih bahkan hampir tak terdengar jika suasana sekitar ramai. Arhan yang fokus segera menoleh dan bergegas mendekat.

“Kenapa, Sayang?” Arhan bantu wanita tak berdaya itu berjalan. Duduk di sofa tepat di samping laptop yang tergeletak sembarang.

“Itu koper siapa?” Tunjuk-nya ingin tahu, masih menelisik.

Arhan kembali dari mengambil air minum untuk Namira. Dengan raut sumringah ia melayangkan pertanyaan. “Coba tebak siapa?”

Namira mengambil alih gelas dalam tangan Arhan, kemudian meminumnya perlahan seraya memutar otak. Tapi tak kunjung terpikirkan satu orang pun. Terlebih dalam kondisinya yang sedang sakit.

Untuk langkah kecil saja menghabiskan banyak energi, apalagi ini harus mencari memori mana dalam kepalanya yang sejurus dengan benda besar yang ia tanyakan.

“Masa nggak tau, sih,” ucap Arhan menantang ingatan sang istri. Tangan sigap menaruh gelas yang disodorkan padanya.

Namira menggeleng dengan mata terpejam. Tubuhnya bersandar lemas pada sandaran sofa. “Aku lagi sakit gini lho, Ay. Masa disuruh mikir.”

Arhan tersenyum senang karena berhasil menggoda Namira. Mengeluarkan rona bahagia dalam dirinya. Gurat senyum tak luntur meski respon yang ia dapat tidak begitu baik.

Wanita yang selalu mengurus keperluannya dari pagi hingga malam itu menatap Arhan, menunggu jawaban.

Rumahnya jelas bukan penginapan sembarang orang, jadi mungkin dua koper itu bisa menunjukkan identitas sang pemilik. Tapi ia tak terpikirkan siapapun, dan Arhan masih bungkam untuk melihat raut Namira yang kesal.

“Coba perhatiin, Ay. Ada lho yang buat kamu tahu punya siapa itu.”

Namira membuang napas berat. “Udah lah. Terserah kamu aja,” jawabnya dengan tangan melambai menyerahkan urusan itu pada sang suami yang enggan memberitahunya.

Dalam beberapa detik Arhan tertawa renyah, meski Namira tak menunjukkan hal yang sama. Lelaki itu cukup terhibur melihat bagaimana raut istrinya yang tak senang.

“Elio mana, Ay? Sama Ibu?”

Setelah menanyakan kepemilikan koper yang mengganggu pandangan, akhirnya ia mencari satu-satunya bayi yang tak pernah jauh bahkan lepas dari jarak pandangnya.

“Ibu mana pernah pagi-pagi banget ke sini, Ay.”

“Terus Elio sama siapa? Di kamar nggak ada.” Panik mulai menyergap seluruh tubuhnya yang kini sudah tegap dengan suhu yang masih terasa hangat. Mata membelalak terkejut karena tak ada siapapun lagi yang berhak membersamai sang buah hati jika bukan mereka dan mertuanya.

Wanita itu menggerakkan tubuh dan memutar kepala untuk mencari eksistensi Elio ke seluruh penjuru ruangan. Tapi tak ada tanda-tanda yang menunjukkan kalau bayi itu ada di sekitar.

“Mas!” seruan itu mengudara. Memaksa sang suami untuk segera menemukan buah hati mereka.

“Ada, Sayang. Tenang.”

“Mana?!” Namira masih mempertahankan intonasi-nya yang tinggi. Jika berhubungan dengan Elio, ia tak bisa tenang.

“Lagi jalan-jalan.”

“Sama siapa? Ibu kan nggak ke sini?”

“Sama Om-nya.”

Jawaban Arhan berhasil membungkam dan menimbulkan pertanyaan baru bagi Namira. “Om?”

Arhan mengangguk dengan yakin. Sangat yakin. Lelaki itu tak langsung memberitahu, ia ingin Namira mengingatnya sendiri sampai raut yang tak bisa terbayangkan keluar.

“Kak Bima?” tanya Namira antusias, sedikit tak percaya. Tapi rona bahagianya jelas tergambar.

“Iya, Sayang. Kak Bima sama Kak Vita dateng tadi pagi jam 3.”

“Kamu nggak bohong, kan?” Namira masih tak percaya meskipun sangat jelas ia bahagia.

“Kalau aku bohong. Terus Elio sama siapa? Nggak mungkin sama Bi Ida.”

Namira mengulum senyum. Raut bahagianya sangat kentara hingga wajahnya merona. Menghempas gurat lelah dan warna wajah yang pucat.

“Kenapa nggak bangunin aku?”

“Kamu lagi sakit. Masa ia aku bangunin.”

“Sebelum ke sini pasti ngabarin dulu, kan?”

Arhan mengangguk.

“Kenapa nggak kasih tau aku?” Namira merajuk karena ia tak dilibatkan dalam operasi kedatangan kakak laki-lakinya.

“Ya karena kata Kak Bima jangan kasih tau kamu.” Arhan menampilkan senyum polos. Merasa berhasil dengan kerjasama yang sudah dibuat dengan kakak iparnya.

“Assalamu’alaikum.”

Namira bergegas berdiri meskipun sedikit sempoyongan. Beruntung Arhan sigap memegangi. Wajahnya kentara sumringah mendengar suara yang tak asing dalam pendengaran.

Matanya berkaca-kaca melihat sosok tinggi berisi dengan warna kulit serupa dengannya. Putih. Dalam gendongannya ada Elio yang tak menangis, bahkan jejak air mata pun tak ada. Menunjukkan bahwa Elio nyaman dengan Om dan Tantenya.

“Wa’alaikum salam.”

Masa lalu yang belum usaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang