Bab 5

8 1 0
                                    

Pagi ini mungkin menjadi pagi pertama dalam hidup Arhan setelah menikah, bangun karena suara alarm.

Alunan lembut serta tepukan sayang itu tak ia rasakan pagi ini. Sebelah tempat tidurnya sudah kosong. Hanya ia sendiri yang terlelap dan terlambat bangun.

Senyuman manis bukan lagi menjadi pembuka paginya, justru detak jarum jam dinding yang terdengar. Ruangan itu kosong.

Arhan mengusap wajahnya kasar disertai helaan napas berat. Kemudian ia bangun dan turun ke lantai bawah.

Ada Namira yang duduk di kursi, sibuk dengan ponsel dan Elio tengah bermain sendiri di karpet bulu dikelilingi mainan. Pandangannya mengedar, ia melihat meja pantry sudah terisi penuh.

Arhan bawa kakinya untuk mendekat dan mengecup pipi Namira dari belakang. “Kenapa nggak bangunin aku?”

Tubuhnya memutari kursi untuk bisa menghampiri Elio, melakukan hal yang sama. Menciumi anak semata wayang-nya bertubi-tubi.

Setelah puas, kini kedua tangannya melingkari perut Namira, mencoba mengambil fokus sang istri yang masih mendiaminya.

“Aku minta maaf karena berpikir kamu terlalu berlebihan. Aku salah, Sayang.” Kepalanya mendongak menatap wajah tak acuh Namira. Wanita itu masih betah bercengkerama dengan ponsel pintar-nya.

“Sayang.”

“Apa?”

“Liat aku dulu,” ucap Arhan memohon.

Namira patuh. Wajahnya kentara tak memberi ekspresi apapun, hanya menatap dan menunggu apa yang Arhan inginkan.

“Aku minta maaf.”

“Iya,” jawabnya singkat. Lantas kembali sibuk dengan benda pipih itu.

Arhan frustrasi. Ia menenggelamkan wajahnya di bahu sang istri. Helaan napasnya terdengar jelas. Kemudian ia bangkit membenahi duduk. Merampas ponsel yang menjadi penghalang komunikasinya bersama Namira.

Namira menunjukkan ekspresi tak suka, tangannya sigap untuk mengambil kembali ponsel-nya. Namun Arhan berhasil menjauhkan-nya.

“Kita harus bicara, Ay. Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini.” Sorot mata Arhan memohon kerjasama sang istri dalam menyelesaikan masalah kali ini.

Ia merasa tak ada yang salah dengan kejadian kemarin. Lelaki itu butuh sudut pandang Namira untuk tahu apa penyebab perubahan sikapnya.

Arhan kembali membuat mereka berhadapan. “Sayang, aku minta maaf kalau aku nggak peka. Aku pengen tau apa yang kamu liat kemaren supaya kita bisa nyelesain masalah dan kesalahpahaman ini.”

Namira menunduk. Semalaman ia berpikir tentang sikapnya yang menurut Arhan berlebihan. Apa benar ia terlalu berlebihan?

Jika memang begitu, maka segalanya akan Namira buat biasa saja. Termasuk rutinitas mereka yang akan ia lakukan di luar kebiasaan. Seperti pagi ini yang sengaja Namira lakukan, menyetel ulang alarm di ponsel Arhan untuk membangunkan lelaki itu, tidak lagi dengan perlakuan-perlakuan manis darinya.

“Nggak ada. Emang aku yang terlalu berlebihan mengambil sikap aja. Kamu bener, aku yang salah. Aku yang terlalu meributkan hal yang nggak terlalu penting. Jadi, udah cukup ya kita bahas ini.”

Wanita itu berdiri menghampiri Elio, tapi Arhan menahannya. Kepalanya menggeleng berulang kali. Tak setuju dengan perkataan sang istri. Ia masih merasa ganjal dan tak nyaman. Sedangkan Namira tak ingin membahas masalah ini jika suaminya saja tak menyadari kesalahannya.

“Oke. Kemaren pas kamu buka pintu itu aku lagi duduk, terus Bianca di samping-ku ngasih tau apa aja yang harus aku lakuin lewat komputer. Terus apa lagi, Sayang? Udah kaya gitu aja.” Arhan berusaha menjelaskan setiap detail kejadian. Semuanya terlalu singkat untuk ia utarakan lebih jauh karena yang Namira lihat sebatas mereka yang bersisian.

“Iya. Emang kayak gitu aja. Kataku juga aku yang salah terlalu mempermasalahkan. Kamu nggak salah. Aku yang berlebihan.” Setiap kata yang keluar begitu ketus, menusuk telinga Arhan yang tak biasa dengan nada yang dipakai sang istri.

Mata mereka beradu tatap begitu sengit. Keduanya tak ada yang mau mengalah sampai seruan cukup tinggi mengundang tangis bayi yang sedang tenang bermain.

“Namira!”

Air menggenang di pelupuk mata. Seruan itu serasa sambaran petir, mengejutkan dan begitu menyesakkan. Hatinya berdenyut sakit.

Namira hempaskan tangannya. Kemudian mengambil Elio dan membawanya ke kamar. Mereka menenangkan diri, memilih tak bersinggungan dengan penyebab keduanya menangis. Sedangkan Arhan duduk dengan tubuh membungkuk, kedua siku bertumpu pada lutut, serta wajah diusap kasar, rambutnya diremas seraya membuang napas berat.

Selang beberapa saat, Arhan memainkan ponsel Namira yang sejak tadi berbunyi. Beberapa pesan masuk dari satu nomor yang sama.

Ia baca dengan saksama isi percakapan dari awal hingga selesai. Memang tak ada yang aneh, inti dari pesannya menjelaskan bahwa mereka teman yang sudah lama tak bertemu dan saling bertukar kontak.

Meski cukup mengganggu, tapi tujuan Arhan bukan itu. Ia segera men-dial nomor yang Namira simpan dengan nama ‘Bianca’.

Lelaki yang baru terpikirkan satu hal yang bisa membuatnya mengetahui sudut pandang istrinya itu segera memanggil Bianca. Sambungan terhubung.

“Kirim rekaman CCTV ruangan saya kemaren ke email.”

Masa lalu yang belum usaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang