Bab 6

11 1 0
                                    

“Makan dulu, Ay.”

Arhan terus mengetuk pintu yang terkunci. Wanita yang tersentak karena teriakan Arhan itu masih enggan berhadapan langsung dengannya.

“Kata Bi Ida semalem kamu juga nggak makan. Makan dulu, Sayang. Kalau kamu nggak mau bareng aku nggak apa-apa. Nanti aku makan kalau kamu udah selesai.”

Lelaki dengan wajah basah karena baru sempat mencuci muka itu bersandar dengan salah satu bahunya. Kemarahan Namira ternyata sulit diredakan. Tapi ini memang salahnya.

Beruntung hari ini ia tidak perlu pergi bekerja, jadi seluruh atensi dan waktu akan ia gunakan untuk mengembalikan suasana rumah kembali hangat.

Ketukan Arhan melemah sebab usahanya tak ada respon. Tapi suaranya tetap mengudara menembus pintu meskipun pelan. “Ay. Makan dulu, Sayang.”

“Kamu aja duluan yang makan,” timpal Namira dengan sedikit berteriak.

“Aku nggak mau makan kalau kamu nggak makan,” Arhan balik menjawab dengan teriakan.

Lelaki yang masih bersandar pada pintu itu kembali pasrah ketika ia tak lagi mendengar suara sang istri. Padahal ia berharap dengan begitu Namira akan segera keluar. Selama ini Namira tak suka jika ia melewatkan makan, terlebih itu adalah sesuatu yang sudah istrinya sediakan.

Pintu terbuka ketika langkah Arhan sedikit menjauh, hendak pergi dan menunda usaha membujuk sang istri.

“Berisik! Elio lagi tidur,” ucapnya seraya melengos pergi.

Keduanya turun dengan Arhan yang membuntuti setiap langkah Namira. “Aku nggak tau kalau El lagi tidur, Ay. Maaf.”

Lagi-lagi Namira tak menjawab, wanita yang sudah mengganti bajunya itu menghampiri meja pantry. Semua makanan dingin. Terpaksa ia hangatkan lagi.

Selang beberapa lama, semuanya sudah kembali tertata rapi dengan wadah yang berbeda. Tangannya gesit mengambil nasi dan beberapa lauk.

“Ngapain diem di situ? Sini makan dulu,” ujar Namira memberi gestur untuk mendekat melalui mata dan gerakan kepala.

Arhan duduk setelah mendapat perintah. Sejak istrinya keluar kamar, ia tak berani mendekat. Lelaki itu menjaga jarak, membantu pun rasanya hanya akan terkena omelan sang istri.

“Sayang tentang masalah kemaren …”

“Udahlah nggak usah dibahas.”

Arhan menaruh sendok, kali ini ia geram dengan sikap Namira yang menganggap remeh bahkan dibiarkan menggantung tanpa penyelesaian. Padahal sudah jelas masalah ini sangat berdampak pada hubungan mereka.

“Nggak bisa gitu. Aku udah cek CCTV. Jadi aku udah tau apa yang kamu masalahin.”

Namira mengangkat kepala, menatap suaminya. kemudian berujar, “Sepele, ‘kan?”

Lelaki itu menggeleng. “Nggak ada yang sepele Sayang kalau kamu sampe diemin aku kayak gini.”

Namira tak lagi menggubris, ia hanya kembali sibuk menyantap makanannya tanpa selera. Sedangkan Arhan menatap dengan saksama air muka sang istri yang kentara kesal.

Arhan simpan tangannya di kedua sisi piring. “Aku minta maaf karena lambat dan nggak peka. Posisi aku sama Bianca kemaren, aku beneran nggak sadar, Sayang.”

“Nggak sadar matamu!” Namira mengejek segala perkataan sang suami. Wanita itu jelas tak percaya.

“Beneran, Sayang. Aku cuman fokus ke komputer aja.”

“Cih! Udah jelas tuh belahan dada depan mata. Mana mungkin dibiarin lolos.”

Setiap kata-katanya ketus dan menusuk, tentu tepat sasaran sampai membuat Arhan kelabakan.

Kini mata mereka bertemu. Sorot memancarkan keberanian. “Kalau beneran kamu cuman fokus ke komputer aja. Berarti boleh dong aku liat CCTV-nya.”

Arhan melepas tautan. Ia sudah tertangkap basah. Mau bagaimanapun ia mengelak, pada akhirnya akan berujung tak berdaya untuk membalas.

“Kenapa? Nggak bisa? Atau jangan-jangan bukan cuman itu yang kamu lakuin sama Bianca?”

“Aku nggak sampe segitu-nya, ya, Ay.” Arhan menepis segala tuduhan jelek Namira terhadapnya. Sepasang mata itu menyiratkan tidak setuju. Ia memang tak melewatkan apa yang istrinya sebutkan. Tapi melakukan di luar itu rasanya tuduhan Namira berlebihan.

“Ngaku juga akhirnya.”

“Aku emang ngeliat sekilas, tapi bukan berarti terus-terusan aku nikmati. Apalagi sampai berbuat hal yang enggak-enggak.”

“Baguslah.”

“Kemaren aku nyuruh kamu agak siangan ke kantor karena emang takut kamu nunggu lama aja.”

“Biasanya juga kayak gitu. Kamu nggak pernah bilang apapun, aku pun nggak protes apa-apa. Tapi tiba-tiba kamu khawatir aku nunggu lama? Nggak masuk akal tau.” Setiap ucapannya disertai tangan yang terus bergerak. Memberikan gestur tak percaya, menepis segala pembelaan.

Arhan terdiam. Setiap kata yang terlontar dari mulut sang istri beserta emosi yang keluar tak akan ia tahan. Biarkan semuanya tumpah ruah, melonggarkan segala sesak yang mengikat.

“Coba kamu suruh Bianca pake baju lebih sopan lagi, Mas. Atau emang itu kemauan kamu supaya dia pake bajunya kayak gitu?”

Arhan sebatas menggeleng untuk merespon.

“Kalau bisa ganti ajalah. Mau aku cariin sekretaris baru? Yang cowok.”

“Aku nggak bisa pecat karyawan gitu aja, Ay. Apalagi kalau kerja mereka bagus. Bukannya itu nggak profesional?”

Berbeda dengan Namira yang menggebu ketika berbicara, seolah menyuruh Arhan mengakui segala tuduhannya. Arhan justru masih menjaga intonasi untuk tetap tenang dan pelan, tanpa meninggikan suara.

“Bagus buat nemenin kamu,’kan?”

Ucapan Namira kali ini terlalu sarkas, hingga membuat Arhan yang semula tak ingin membalas, merasa jengah juga pada akhirnya.

“Cukup, ya, Mir! Aku udah nahan-nahan biar nggak ikutan emosi juga. Tapi kamu nuduh aku yang enggak-enggak terus. Lama-lama cape juga tau.”

“Kamu pikir aku nggak cape kayak gini?” Air mata lolos membasahi pipi, jatuh tepat ke atas piring yang masih kosong.

“Aku juga cape, Mas.” Kini suaranya parau dan bergetar disertai tangisan. Wajahnya ia tutupi dengan kedua telapak tangan. Menunduk lemas. Energinya hampir habis. Dadanya naik turun. Namira kesulitan mengatur napas.

Masa lalu yang belum usaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang