-15°

15 6 0
                                    

Tanganku cekatan mengambil beberapa baju tebal lengkap dengan padding panjang dan juga penutup kepala. Di musim dingin bersalju ini, siapapun yang tidak mengenakan pakaian tebal pasti akan membeku. Apalagi seorang Kim Seokjin yang selalu mengeluh tidak menyukai musim dingin tapi kekeh mengajakku bermain ski.

Ceroboh adalah nama tengahnya. Aku sudah hapal mati itu. Sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan apabila dia mengabarkan telah menjatuhkan atasannya ke dalam bak mandi hingga basah kuyup. Yang membuatku tidak habis pikir, apa sih yang membuatnya membuka baju di tengah suhu -15 derajat ini? Kurasa jika laki-laki buang air besar sekalipun, tidak sampai membuka baju atasannya kan? Ingin heran, tapi dia adalah Kim Seokjin si ceroboh.

"Misi Mas, mau ke toilet kan? Boleh minta tolong nggak?" Aku menghadang seorang laki-laki yang berjalan ke arahku, atau lebih tepatnya ke arah toilet laki-laki di sebelahku.

"Tolong banget, Mas, sebentar aja. Tolong kasihin paper bag ini, isinya baju, ke orang di bilik ke tiga. Maaf banget ya, Mas, ngerepotin. Itu suami saya lagi butuh baju di dalem sana tapi saya kan ngga bisa masuk."

Laki-laki berlesung pipi itu mengangguk ramah. "Iya, Mbak. Gapapa. Senang bisa membantu."

Aku menghela napas lega sambil menggosok-gosokkan kedua tangan yang terbalut sarung tebal. Total waktu yang kuhabiskan dari berlari ke toko baju terdekat sampai terbirit-birit ke sini adalah 15 menit. Semoga Kim Seokjin masih dalam keadaan baik-baik saja.

"Aduh kok lama banget sih? Apa dia kenapa-napa ya?" Mondar-mandir di depan toilet lelaki, aku tak peduli pada pandangan heran orang yang berlalu lalang. Aku terlalu sibuk menghitung waktu dan mengkhawatirkan suamiku. Bahkan laki-laki yang kutitipi baju tadi sudah keluar. Tapi batang hidung Kim Seokjin belum juga muncul.

"Sayaang ... hatchi!"

Panggilan itu membuatku reflek menoleh dan menghampiri lelaki yang kini bersin-bersin sampai hidungnya memerah.

"Kamu pucet banget, masih kuat jalan ke mobil nggak?" tanyaku seraya memegang pipinya. Dingin. Dia pasti sangat kedinginan.

Mengabaikan kekhawatiranku, Seokjin malah terkekeh, "Bahkan nyetir ke rumah aja masih kuat kok. Kamu terlalu khawatir, sayang. Makasih ya, pertolongan pertamanya."  Ketika dia menarikku ke dalam pelukan, bisa kurasakan tubuhnya masih bergetar. Dia pasti sangat kedinginan.

"Ayo pulang dulu, pelukannya di rumah aja. Ini aku beliin teh panas, diminum dulu."

Kami pun berjalan ke mobil sambil berangkulan. Seokjin meminum teh itu dua teguk, lalu memberikannya padaku.

"Kamu pasti panik lari-lari dan mengabaikan kalo kamu juga kedinginan. Maafin aku ya, aku malah bikin repot."

Aku menerima gelas itu tanpa banyak protes. Tatapan bersalah Seokjin yang dalam itu membuatku tidak sanggup menolaknya.

"Nggak usah minta maaf. Yang penting kamu nggak sampe kena hipo. Aku aja yang nyetir ya, kamu tiduran aja biar nggak demam."

"Aku nggak demam, sayang. Aku beku." Lagi-lagi dia tergelak.

"Udah, nurut aja kenapa?" sungutku agak geram. "Anggep ganti rugi karena kamu udah bikin aku panik dan khawatir."

Seokjin bergumam rendah, "Hm, yaudah deh. Terserah kamu. Makasih ya, sayangku!" ucapnya sembari tersenyum manis.

Sesampainya di rumah, aku segera mengubur tubuh Seokjin di bawah selimut berlapis-lapis. Tak lupa untuk menyeka kaki dan tangannya dengan air hangat sebelum membungkusnya dengan kaus kaki dan kaus tangan. Satu liter jahe hangat sudah terminum separuh. Syukurlah suhu tubuhnya dengan cepat naik.

"Udah?" tanya Seokjin dengan tatapan polosnya. Tangannya melingkari perutnya yang setengah kembung setelah kucekoki jahe.

"Kamu harus makan yang banyak. Aku udah bikinin bubur ayam."

Seokjin mengerutkan kedua alisnya, "Jahe setengah liter belum cukup?"

"Belum, Seokjin. Perut kamu harus diisi makanan."

"Tapi tadi kan kita udah makan malem. Aku masih kenyang, Yang." Bibirnya mengerucut  meminta belas kasihan.

"Terus kamu mau biarin bubur ini terbuang percuma gitu?"

"Taruh di kulkas aja. Besok diangetin. Badan aku udah enakan kok, dan aku masih kenyang banget suer deh."

Aku menghela napas pendek. Selain ceroboh, Kim Seokjin juga keras kepala melebihi batu. Meski kadang terlihat suka mengalah padaku, aslinya dia sama sekali tidak bisa dibantah jika sudah memutuskan sesuatu.

"Bubur, kasian banget kamu nggak diinginkan malem ini." Aku menatap bubur di nampan dengan prihatin.

"Hahaha. Ayang lucu banget sih. Udah biarin taruh di kulkas aja, besok aku makan janji deh."

Akupun pergi untuk meletakkan bubur tersebut di kulkas, lalu kembali lagi ke kamar untuk mengecek termometer yang diapit ketiak Seokjin.

"Gara-gara kedinginan, kamu jadi demam, sayang." Suaraku berubah sendu.

"Sini deh." Seokjin menarik pinggangku sampai aku berbaring di sampingnya.

"Aku tuh nggak butuh apa-apa sebenarnya. Cuma butuh dipeluk sampe suhuku normal. Tapi kamunya nggak peka banget, asli."

"Mana ada pelukan bisa bikin suhu normal?"

"Ada...," Seokjin mengeratkan pelukannya padaku. Sekarang aku bisa merasakan berada di bawah selimut berlapis-lapis ternyata sangat hangat. Apalagi berada di pelukan tubuh besar Seokjin.

"Aku beruntung banget punya kamu, sayang." kata Seokjin sambil mengecup keningku.

"Makasih ya, udah ngerawat aku dengan sangat baik. Perlakuan kamu bener-bener bikin aku berkali-kali jatuh cinta lagi sama kamu!" lanjutnya, kini mengecup kedua pipiku, laku hidungku.

Ia menatap mataku lembut, "Aku sayang banget sama kamu," lalu kedua maniknya turun, menatap sesuatu dengan pandangan berkilat. Kemudian yang kurasakan selanjutnya adalah bibirnya yang dingin menyentuh bibirku.

"Kamu juga kedinginan, sayang," bisiknya sangat lirih di sela-sela ciuman kami, "kuhangatkan, ya?"

Aku tidak menjawab, hanya menarik lehernya untuk membalas pagutannya.

#####

NYEBUT NYEBUUUUTT😭

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

huru-haraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang