Histeri Emma dan Keracunan Eric

40 4 0
                                    

Cw / metion of corpse

Emma menghembuskan napasnya panjang. Pikirannya kalut. Baru saja dirinya membantu Hugo untuk menerawang status Adam. Ia tidak menyangka, bahwa Adam akan mati. Emma berpikir apa karena kekuatan meramalnya, atau memang Adam mati dibunuh werewolf.

-- Flashback --
"Lo udah gunakan kekuatan meramal lo?" tanya Hugo yang sedang memecahkan kode musik piano di area ruang tamu.

"Belum. Gue bingung mau menerawang siapa. Kesempatannya cuma dua kali."

"Boleh tolong gue? Sebagai gantinya gue akan kasih separuh hadiahnya ke lo."

Emma tersenyum senang. "Menarik. Mau gue bantu apa?"

"Terawang Adam."

"Lo?!" Emma terkejut dengan permintaan Hugo.

"Lakukan aja."

Emma pergi ke ruang Queen, melakukan penerawangan, dengan Hugo yang berdiri di depan pintu ruang Queen, menunggu hasil terawang Emma.

"Gimana?" tanya Hugo antusias. Sejujurnya Hugo sangat berharap bahwa Adam adalah werewolf.

"Warga biasa."

"Shit!"
-- back --

Emma terus berjalan melewati ruangan arcade, bar dan ruang cctv. Emma mengintip sedikit halaman belakang tanpa pintu itu. Auranya terasa menyeramkan. "Ingat Emma, ini cuma game. Wajar kelihatan menyeramkan, ini sudah malam." Emma memberikan sugesti kepada dirinya sendiri. Menarik napasnya panjang dan melangkahkan kakinya tanpa ragu memasuki halaman belakang.

Emma mencari-cari di mana tempat menutup katup udara. Emma tersenyum saat menemukan katup udara. Ia memutarkan katup udara 3 kali ke arah kanan. Misi selesai. Emma mendapat clue terbaru. "Werewolf lebih dari satu." Emma tercengang saat membaca kertas itu.

"Aku harus kasih tahu yang lain."

Emma memundurkan langkah kakinya. Namun ia terhenti saat merasa terinjak sesuatu. Emma memutar badannya.
"Aaaaaaa!!!" teriak Emma histeris.

"Aaaa ... aaaa."

Teriak ketakutannya kini berubah menjadi tangisan. "Hiks ... kalian."

Melihat Emma yang berlari sambil menangis, membuat Asad dan Hugo saling berpandangan. Keduanya lalu mengikuti Emma.

Emma menekan tombol merah di aula. Membuat semua pemain jadi berkumpul secara otomatis.

"Ngapain lo pencet tombol itu?" tanya Nakula.

"Lo kenapa?" tanya Jovan.

"Game ini gila! Ini bukan game! Bukan!" teriak Emma.

"Ini game. Buktinya saja lo pencet tombol kita otomatis berkumpul, gak perlu capek berlari, dan gak perlu nunggu," jawab Jovan.

"Lo bilang ini game? Game apa yang ada mayat?" balas Emma.

"Maksud lo?" tanya Hugo bingung.

"Gue belum buta. Gue lihat di halaman belakang ada tumpukan mayat. Ada Yuxvie adik lo, ada Adam, ada Jizzy. Aaaaargh! Semuanya yang tereliminasi di game, ada di halaman belakang tanpa nyawa!" jelas Emma frustasi.

"Ini hanya game. Lo gak lihat apa kita semua pakai alat ini," pungkas Nakula cepat.

"Ini bukan game. Percaya sama gue. Mereka mati ada darahnya!"

"Gak mungkin. Lo gak lihat gue tadi mati di game, tapi gue masih bisa main lagi," ujar Xavier.

"Gak ada satupun yang percaya sama gue?!" Emma menatap tidak percaya satu persatu pemain tersisa.

"Seharusnya cewek jangan main werewolf. Ribet."

"Xav." Eric menahan lengan Xavier yang sudah mau maju melawan Emma.

"Lo juga kenapa tadi di diskusi menghilang, Jo?" tanya Eric yang tiba-tiba teringat akan diskusi sebelum waktu voting.

"Gak tahu, chat gue gak bisa terkirim," jawab Jovan jujur.

"Mungkin eror. Namanya juga sistem. Kayak gue di—." Hugo tersadar gak ada yang tahu tentang eror di permainan Truth Quest, kecuali gengnya No Mercy. "Lebih baik kita selesaikan cepat game ini. Gue udah capek."

"Kita harus bersatu buat cari tahu werewolf. Dengan begitu kita menang," ujar Eric.

"Bagaimana caranya? Bisa jadi werewolf bukan salah satu diantara kita. Bisa jadi juga diantara kita." Asad.

Semua tampak berpikir.

"Kalian gak ada yang ketemu clue satupun?"

Pertanyaan Jovan membuat Emma teringat akan cluenya. Ia mencari kertas cluenya. "Ish! Malah hilang."

"Gue tahu siapa werewolf," ucap Eric. Membuat semua pemain saling melihat satu sama lain.

"Xav, lo masih ingat yang gue omongin? Lo harus—, Argh!"

"Ric, lo kenapa?" tanya Jovan panik.

Eric berteriak kesakitan. "Lo racunin gue, Xav? Kenapa?"

"Gue—."

Belum selesai Xavier berbicara, tubuh Eric tertarik dan menghilang dari mereka.

"Gila lo! Kenapa lo racuni dia?!" Jovan marah. "Kalau gue jadi lo, gue racunin werewolf."

The Queen of Hearts GameTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang