16. Toro...?

435 66 7
                                    

Sudah berminggu-minggu sejak Ian di kelas 11, dan Toro di kelas 12. Mereka benar-benar masih tidak ada komunikasi, jika ketemu hanya pura-pura tidak kenal sibuk dengan jalan masing-masing.

Kehidupan Ian tidak ada yang berubah, hanya saja menjadi sedikit(?) Lebih populer.

Ian berpikir mungkin suatu hari nanti mereka akan bosan.

Ian melakukan pekerjaan brand ambassador hanya untuk mendapatkan banyak uang, tidak lebih, tapi dipikirnya jika menjadi terkenal, akan ada banyak pekerjaan yang nimpuk ke dirinya.

.
.

Ian sekarang tengah menikmati waktunya tanpa terganggu seseorang.

'Akhirnya.' begitulah pikir Ian yang akhirnya berhasil menyingkirkan para gadis-gadis.

'Kak Enzo mana, ya. Apa di perpus?'

Tapi waktu sendiriannya tidak begitu panjang. Sampai ada seseorang yang menabraknya dari belakang, hampir saja terjatuh jika tidak berpegangan di dinding.

"Be-rat!"

Sesuatu yang berat dan terasa panas nemplok di belakangnya, Ian berusaha meluruskan badannya dan menahan badan orang di belakangnya itu.

Akhirnya Ian berhasil menjaga keseimbangannya, tapi saat melihat Toro, dia hampir melemparnya, namun ia mengurungkan niatnya.

Ian berpikir, bagaimana jika Toro kepalanya terbentur lantai, abis itu malah geger otak jadi amnesia. Bisa-bisa dia yang dituduh melakukan pembunuhan dan berakhir masuk penjara.

"Harus gimana ini... Di sini sepi, ga ada orang, gaada bantuan. Masa aku harus gotong dia sendirian ke UKS? Mana bisa hati nuraniku tinggalin dia sendirian di sini dalam keadaan sakit?"

Bagaimanapun perbedaan tinggi badan mereka adalah 10 cm, otomatis berat badan mereka berbeda, jadi akan susah bagi Ian membawanya ke UKS, bisa-bisa dia yang jompo kehabisan tenaga.

Ian menyesal sering bolong-bolong dalam jadwal olahraganya.

"...Tidak ada pilihan lain, lagian ngga ada yang lihat, kan?"

Ian tanpa berpikir panjang lagi, dia menyeret Toro di lantai sampai ke UKS, untung saja tidak perlu naik turun tangga, bisa mampus tulang pinggul Toro jika diseret turun tangga.

"Lin-!"

"Oh, Ian. Seleb kita ada di sini!"

"Sampingin itu dulu, ni ada pasien yang hampir meninggal-!" Sambil nunjuk Toro.

"...Diliat-liat kayaknya lu deh yang lebih butuh bantuan?" Ucapnya saat melihat wajah Ian yang udah pucat kehabisan tenaga.

"Udahlah, gue gapapa. Lu rawat dia aja."

"Lah? Lu ngga temenin sampe Toro bangun? Kayaknya dia kelelahan sejak jadi waketos, ketos zaman sekarang beban sih."

"Skip dulu, mau ke perpus. Mending jaga-jaga deh kalau ngomong walaupun fakta, bisa gawat kalau kedengaran orang lain."

"Siap bos." Lin baru saja mau angkat Toro yang tergeletak di lantai, tapi sebuah pergerakan membuatnya terhenti.

Toro menarik kaki Ian agar tidak pergi.

"Wow." –Lin.

"??" Penuh tanda tanya di kepala Ian sekarang.

Toro yang dari tadi menunduk karena rasa pusing, akhirnya sedikit mengangkat kepalanya, tatapannya sangat tajam. "Jangan pikir dapat lepas dariku, Ian."

Ian terpaku sebentar lalu mukanya langsung memerah, secara reflek dia tidak sengaja menendang Toro sampai kepental ke lemari.

"SI GOBLOK, MALAH DITENDANG?!" Kaget Lin yang liat Toro hampir tidak bernyawa.

"Si-Siapa suruh tiba-tiba gitu?!" Ian tanpa berkata panjang langsung berlari menjauh dari UKS, tidak lupa kembali menutup pintunya dengan lumayan keras.

Tatapan tajam dari Toro sangat-sangat– sudahlah. Bisa dilihat dari Ian yang salbrut.

Ian berlari ke WC untuk mencuci wajahnya di wastafel.

"Bahaya..." Gumamnya sambil natap ke cermin yang ada di depannya.

.
.
.

"Kak Enzo! Aku mencarimu dari tadi." Ian berlari ke arahnya.

"Ian, kenapa?"

"Itu... Sebenarnya begini."

"Ini tentang Toro..."

"Iya." Enzo mengangguk.

"Sebentar lagi ulang tahunnya, apa kakak bisa tolong memberikannya hadiahku?"

"Ah, bukan berarti aku masih ada apa-apa sama dia, cuman saja... Ulang tahunku kemarin, Toro ada memberiku hadiah. Sebagai balasan saja, aku merasa juga harus memberinya hadiah."

"Tapi Ian, ini adalah hadiah ulang tahun. Bukankah lebih baik jika kamu yang memberinya sendiri?"

"Aku tidak bisa. Rasanya kami bertengkar hebat, bahkan susah rasanya mau ngomong dengannya."

Enzo mengangguk mengerti. "Kali ini saja, ya. Kakak akan tetap bilang hadiah ini darimu."

Ian wajahnya penuh kebahagiaan sekarang. "Iya! Besok harinya. Tolong ya, kalau begitu aku mau ke kelas dulu."

"Tunggu dulu, Ian!"

"Kenapa?"

"Kemarin aku sempat berbincang dengan Kiki, dia memintaku untuk menyampaikan pesan. Katanya Toro sama Kelly tidak ada hubungan apa-apa lagi, begitulah katanya kemarin."

Ian melebarkan matanya.

"Pendapatku secara pribadi... Mungkin kamu bisa membicarakannya dengan Toro? Putus bukan berarti kalian harus musuhan seperti ini."

"Kapan-kapan deh. Aku bakal coba bicara dengannya..."

Ian juga sadar, semua batas ini adalah ulahnya. Dialah yang dari awal berencana untuk jauhi Toro.

Agak ngga tau diri sih, abis minta jauhin tiba-tiba minta baikan, tapi biarin deh.

"Lebih cepat lebih baik, loh. Mau kakak temanin aja?"

Ian berpikir dengan keras, ada baiknya juga membawa kawan.

"Boleh... Aku coba." Dengan meminta maaf, mungkin semuanya akan baik-baik saja. Bisa ngobrol seperti biasanya, walaupun hubungannya tidak sepenuhnya yakin akan kembali.

"Toro tadi ada di UKS, kak Enzo temanin ya. Awas aja kalau kabur."

Enzo hanya tertawa pelan. "Nggak bakal kok."

"Aku bingung harus ngomongin apa nanti..." Ucap Ian sembari berjalan menuju UKS dengan Enzo, mereka sedikit mengobrol.

"Awal-awal mending ucapin maaf dulu sih, habis itu renungi aja kesalahanmu."

Ian mengangguk paham. Benar-benar hari yang berat.

"Sebenarnya tadi aku mau kasi Toro hadiahnya, tapi lupa hehe."

Saat mereka sampai ke UKS, malah melihat pemandangan yang agak...

"Toro, apa sudah baikan? Aku kaget pas dengar kamu sakit parah!"

"Gak parah-parah amat sih, cuman demam doang. Minum obat juga sembuh, maaf udah bikin khawatir." Ucap Toro sambil mengelus anak yang ada di depannya.

Pemandangan Toro sedang mesraan dengan anak lelaki asing. Dapat diperkiraan itu dari kelas 10.

TORO PUNYA GUE! [Wee!!] Toro x MaleOCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang