[PROLOG]

31 7 0
                                    

Kehidupan ini selalu melaju, realita akan terus berlalu, menyadarkan kita pada waktu yang tak bisa menunggu.

Kini perjalanan panjang telah membawanya kemari pada ruangan bernuansa putih dan biru langit wangi obat menguar hingga menusuk indra penciumannya ia mencoba menetralkan pandangannya mungkin karena terlalu lama berada dalam gelap membuatnya berat untuk membuka mata.

Pendengarannya menangkap suara yang begitu ia hapal siapa yang tengah duduk di sebelah dirinya yang terbaring lemah.

Welcome to mobile legend!

Sekujur tubuhnya mengaduh sakit bahkan untuk menengok ke sisi suara barusan berasal ia tak kuasa.

Kepalanya seperti dibentur ribuan kali badannya seakan rapuh hingga ia sulit bergerak bebas, sungguh ia tak bohong sakitnya minta ampun.

"Bim..?" Lirihnya yang tak mendapat sahutan pada orang yang ia panggil

"A.. bim." Suaranya semakin melemah, tercekat oleh kerongkongannya yang terasa kering sekali.

Meski suaranya parau tetap ia paksakan walaupun bakal tersaingi oleh suara dari game online yang temannya tengah mainkan.

"Bim!" Panggilnya setelah mengerahkan sisa tenaga yang ada, kerongkongannya yang kering jadi tambah sakit sangking memaksakan pita suaranya.

"Danu? Lo udah bangun, syukur akhirnya udah bisa bangun gua dah tiga hari disini nemenin lo ga sadarkan diri!" Tuturnya sambil memencet bel untuk memanggil para perawat agar memberi tahu bahwa Danu telah siuman.

Abim ialah sosok teman Danu semenjak pindah ke indekost yang sama dengannya, ibarat kata Abim adalah semilir angin sejuk di musim panas selama Danu cari lowongan kerja Abim lah yang memberi banyak info tentang jalan, info loker, dan makanan enak namun ramah dikantong di daerah ini.

Karena Danu merupakan anak seorang rantauan.

"Ada yang sakit ga? Tenang bentar lagi Dokter dateng, lo mau apa? Biar gua bantu." Abim menyerbu Danu dengan banyak pertanyaan sangking terlalu senang dapat melihat temannya dapar membuka mata kembali.

Sedangkan yang diberi perhatian hanya membalas dengan gelengan lemah.

"Haus."

Mendengar itu Abim dengan cekatan mengambil segelas air putih dengan sedotan yang masih terbalut pembungkus kertas yang ada di atas meja nakas, lalu membantu temannya itu untuk minum yang langsung tandas oleh Danu.

Abim sedikit kaget melihat kelakuan orang baru siuman, tak berselang lama Abim menggeser tubuhnya untuk memberi ruang bagi para perawat yang baru datang untuk memeriksa Danu disusul pula oleh Dokter di belakangnya.

Seusai melakukan pemeriksaan pada Danu Dokter mengajak Abim ke luar ruang rawat untuk berbincang seputar masalah keadaan Danu.

"Tolong ya Pak kalau ada keluhan di bagian kepala pasien segera beri tahu kami, karena benturan yang cukup keras pasti membuat beberapa saraf di kepalanya kurang berfungsi sehingga agar tidak menjadi masalah besar harus secepatnya ditangani."

"Baik Dok! Terimakasih kalau begitu," balas Abim singkat.

"Sama-sama saya permisi." Dokter itu memberi senyum jumawah pada Abim sebelum berlalu meninggalkannya, sekarang yang menjadi tugasnya adalah menjaga temannya.

Dari balik tirai pembatas Abim mengintip Danu tengah duduk dibantu oleh bankarnya yang ditinggikan pandangannya lurus satu titik ke samping dari tatapannya memancarkan kesenduan entah apa yang ada dipikirannya, Abim langsung berjalan masuk sambil menghembuskan napasnya berat, "kasian gua sama lo, seminggu magang ae belum.. udah babak belur begini."

"Ya mau gimana lagi namanya juga musibah. Ga ada yang tau, ga ada yang mau jugakan, tapi kalau udah takdir gua bisa apa?" Danu menunduk, menatap selang infus yang bertengger di tangannya.

Abim mengambil tempat duduk seperti semula, "bocah yak, coba ngapa-ngapa tuh jangan pasrah doang, bilang anjing kek!"

"Anjing," balasnya lemah, lesu, letih. Karena jujur saja ia masih terlalu pusing untuk diajak bicara, sehingga kepalanya sulit mencerna dan pengelihatannya berat.

Abim memutar bola matanya malas, umpatan kasar yang ia ucapkan jadi beda arti kalau yang menyebutkan sosok seperti Danu, hatinya terlalu lembut dan tutur katanya sangat halus berbanding terbalik dengan dirinya. Mungkin karena Danu terbiasa menjadi seorang guru.

"Eh Bim, ini rumah sakit siapa yang bayar?" Raut wajah Danu yang awalnya datar berubah harap-harap cemas menunggu jawaban dari Abim.

Sekarang Abim mendapat jawaban atas apa yang sedaritadi temannya itu lamunkan, Danu memang agak sensitif kalau soal uang.

"Pihak sekolah, katanya seluruh biaya rumah sakit bakal dibayar lunas asal kasus kecelakaan lo jangan sampai kesebar dan mereka ga mau kena liput media."

Dan yang mendengar penuturannya menghela napas lega diikuti ekspresinya yang berubah tidak secemas sebelumnya.

"Plong gw dengernya, kalau gua yang bayar bisa ga makan sebulan."

"Ck, tapi ya Nu perasaan gua keknya bener deh, ada yang ga beres di sekolah itu."

Danu hanya memperhatikan, menatapnya penuh telisik menanti kalimat selanjutnya yang akan Abim sampaikan.

"Aneh aja gitu hawanya, keliatan banget sekolah anti kritik udah gitu masa bisa si sekolah nerima Guru baru lulus dengan gampangnya yang belum ada pengalaman kerja."

Kalau boleh jujur Danu sedikit tersinggung oleh kalimat terakhir yang Abim ucapkan, seolah-olah temannya ini tak percaya akan kemampuannya.

"Lagian gua juga tes sama wawancara dulu, lo aja yang prasangka buruk, mungkin juga karena gua good attitude, good looking jadi hoki-hokian," balas Danu tak mau sombong.

"Sayang cuman ga good rekening aja, tapi bukan itu yang mau gua bahas, setelah lo kerja disitu gua mulai cari-cari tau tentang ni sekolah, katanya emang bener tuh sekolah problematik makanya pas lo kecelakaan gua langsung curiga pasti ada sesuatu." Abim tak mau kalah ia masih pada pendiriannya bahwa sekolah tempat ia bekerja menyimpan segudang misteri yang ditutup-tutupi.

"Gua si bersyukur masih ada tempat yang mau ngegaji lulusan Antropologi kek gua buat jadi guru sejarah, lo kan tau gua kepepet duit banget Bim daripada gua jadi gembel, sia-sia bokap gua kuliahin," tutur Danu memejamkan mata sambil sesekali memijat perlahan bagian tulang hidungnya.

Kepalanya yang masih terbalut rapih oleh perban mendadak pening dengan topik pembahasan.

"Tapi serius, gua takut yang lu hadapin nanti lebih dari ini."

[...]






Hiii ini book pertama gua setelah dari sekian banyak yang gua unpub dengan berjuta alasan, kali ini book gua terinspirasi dari cerpen yang gua tulis sendiri, dan gua harap respon pembaca sesuai harapan.

-Sabtu, 29 Juni 2024

CALL TO MIND Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang