Chapter 20 : Passed Away

7 1 0
                                    

"Ini salah satu bentuk pertahanan diri." Hailey kembali melanjutkan, "tubuhnya memberi pertahanan karena tahu Bianca tidak akan sanggup menanggung. Hanya dengan satu keputusan ia mengakhiri hidup Lena. Kau harus bercerita di sampingnya, Brian. Yakinkan, jika keputusan itu bukan salahnya."

Dua hari berlalu dan Bianca belum sadar, ia masih terbaring di atas kasur yang sama.

"Aku baru saja dari ruangan Dokter yang bertanggung jawab, dan beliau mengatakan tidak ada peluang dari operasi. Dan menurutnya, Bianca hanya memiliki waktu 5 hari saja untuk bicara pada Lena. Jadi, dia harus bangun secepatnya untuk melihat tantenya." Jelas Hailey sebelum pergi.

"Kau dengar itu Bianca? Kau harus bangun untuk melihat Lena. Jangan sampai kehilangan berbincang dengannya untuk yang terakhir kali," Brian berbisik di samping telinga.

"Brian ..." Luna masuk di kamar tempat Bianca menginap.

Ia memandang kekasih adiknya yang terlihat pucat, lalu mendekat, "kau harus lekas pulih Bianca," bisik Luna, mungkin karena pernah mengalaminya. Luna mengetahui apa yang harus ia lakukan.

"Terima kasih, Kak."

"Sama-sama. Oh ya,"

"Kenapa, Kak?" Luna menggeleng.

"Tidak jadi. Ini sarapanmu."

Setelah sarapan Brian mengunjungi ruangan Lena, Lena terlihat tenang di sana. Ada banyak alat-alat yang disambungkan di tubuh tantenya.

"Aku tidak tahu waktunya akan secepat ini, aku kira kau masih memiliki waktu 3 bulan," gumam Brian.

Hanya Brian yang mengetahui keadaan Lena yang sebenarnya, tapi karena Lena memohon untuk merahasiakannya, ia tak punya pilihan lain. Apa lagi setelah mengetahui Lena adalah segalanya bagi Bianca. Beberapa hari setelah ia mengunjungi rumah Bianca, tantenya itu mulai menceritakan hidup Bianca. Kejadian besar yang dialami Bianca. Seperti bagaimana ponakannya itu jatuh hati dalam dunia seni dan museum, atau begitu bencinya Bianca melihat orang-orang yang datang ke museum hanya untuk berfoto-foto di depan seni yang dikerjakan dengan sepenuh hati.

Air mata Brian mulai mengalir. "Setiap kali bersama Bianca, aku merasa bersalah. Jadi, aku selalu menggunakan alasan untuk mengalihkan pikiranku, kau melakukan ini agar wanita yang kau cintai tidak memangis. Tapi sekarang aku tidak yakin apakah yang kulakukan itu sudah benar. Kau adalah segalanya buatnya, kenapa kau begitu cepat. ..."

Brian melihat air mata Lena juga mengalir, ia mendengar semuanya.

"Aku akan melakukan yang terbaik untuk Bianca, walaupun tidak bisa berjanji."

Brian kembali ke kamar inap Bianca. Saat membuka pintu, Brian setengah berlari ketika melihat Bianca duduk dengan tatapan kosong di atas tempat tidur.

"Brian, bukankah kita berada di Spitz? Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku ada di sini? Aduh, kepalaku sangat berat." Keluh Bianca, detik berikutnya ia terlihat bingung dan memijit pelipisnya.

Brian memeluk Bianca dengan erat, tangis Brian pecah. Ini yang Brian takutkan.

"Ada apa Brian? Apa kau menangis sekarang? Aku baik-baik saja. hanya pusing sedikit." Bianca melepas pelukan itu lalu meminta Brian untuk menatapnya.

Bianca tersenyum, "lihat, aku baik-baik saja, kan? Apa ada sesuatu yang terjadi padamu?" Bianca menyentuh wajah pria yang air matanya tidak berhenti.

Ia menghapus air mata Brian, pria ini terlihat berbeda. Terlihat kurus, bukankah mereka baik-baik saja? Brian menggeleng lalu menggenggam tangan Bianca.

We Were Meet In Austria (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang