Namaku Gun Atthaphan Phunsawat. Aku akan bercerita tentang bagaimana akhirnya aku bisa meninggalkan tanah kelahiranku. Tanah yang pernah membuatku mengenalmu. Tanah yang menyimpan memori saat kakiku berjalan selaras di sampingmu. Benar katanya, harusnya tak ada cinta yang kusemai di antara kita. Aku memaksa, berharap ada celah walau bagai setitik cahaya di tengah gelap gulita. Kau menghadapku, meskipun tak ada 'iya' untukku. Bibirku kelu untuk mempertahankan argumen jika kau mencintaiku. Namun faktanya, semua itu sebuah khayalan tanpa sebuah pembenaran. Selama ini aku terlena dengan kebaikan dan aku definisikan itu cinta.
Ternyata aku terlalu naif.
Notifikasi yang muncul di layar berhasil mengalihkan atensiku dari penatnya pekerjaan. Jika itu dari adikku—Chimon, mungkin bisa kuabaikan, tapi ini dari nomor baru yang dengan santai memanggil namaku. Aku penasaran siapa pemilik nomor ini? Chimon tak mungkin asal memberikan nomor teleponku di luar negeri karena aku bisa berubah menjadi macan jika itu sampai terjadi.
—Gun, apa kabar?
Tanda tanya muncul dalam otakku. Kerutan di dahiku semakin dalam, heran. Siapa?
—Gun, aku Pat. Aku dapat nomormu dari Chimon. Maaf jika aku mengganggumu. Apa kau sedang senggang sekarang?
Ingin kujawab tidak, tapi rasa penasaranku membuat jari-jari ini memberi jawaban yang sebaliknya. Mengapa dia mengirimiku pesan setelah ribuan purnama.
Jawaban 'tidak' yang kuberikan barusan membuat gelembung pesan ini terus bergulir hingga tanpa sadar aku telah mengabaikan pekerjaanku sekitar setengah jam dan akhirnya terhenti saat sebuah pertanyaan muncul.
—Gun, apakah kau tidak bisa kembali ke Thailand? Aku harap kau bisa membantuku.
Memang harusnya aku tak menyemai cinta sejak awal. Saat aku berharap semua akan berakhir, kau datang kembali dengan kisah lain.
***
—Bangkok, 2024
Rintik hujan berjatuhan tetapi seperti enggan membasahi jalanan. Hiruk pikuk mobil-mobil yang mengular tetap tak berubah, meskipun sudah lima tahun kutinggalkan.
Bangkok masih sama saja.
Adikku—Chimon datang menjemputku ke bandara. Saat dia memelukku, aku sedikit terkejut karena dia sudah tumbuh lebih tinggi dariku. Terakhir kali kami berpisah—di bandara lima tahun lalu seingatku tinggi kami masih sejajar. Meskipun begitu, aku bersyukur adikku bisa tumbuh dengan baik.
"Kakak pulang karena mendapat pesan dari kak Pat, kan?"
Aku cuma mengangguk.
"Maaf kak, aku memberikan nomor ponselmu. Aku sudah berusaha mengabaikan, tapi dia terus memaksa. Aku pun tak tega, karena dia sambil menangis."
"Aku tidak akan memarahimu, Chi. Kau tak perlu takut."
"Kak, are you ok?"
Aku menggigit bibir bagian dalam menahan perasaan yang sebenarnya berantakan. Pulang ke Bangkok tidak pernah ada dalam rencanaku hari ini, esok, dan selamanya. Cinta mengaburkan indahnya Bangkok dari pandanganku. Hambar dan mati rasa.
"I'm ok..."
"Aku tahu ini tidak mudah untukmu, Kak. Tapi kakak tahu sendiri, kak Pat pun menderita."
"Kakak ingat tentang cincin yang dia berikan untuk kita?"
Aku hanya mengangguk. Bagaimana aku tidak mengingatnya, dia memberikannya sebagai hadiah saat aku ulang tahun yang ke dua puluh lima.
Setiap perayaan ulang tahun, kami bertiga selalu merayakannya. Perayaan ulang tahun selalu menjadi acara yang paling aku tunggu-tunggu. Saat ulang tahun Chimon, aku menunggu dia mengajakku berbelanja bersama mencari kado untuk adikku itu. Saat ulang tahunnya, aku tidak sabar membeli kado spesial untuknya. Saat ulang tahunku, aku tidak bisa tidur memikirkan kali ini kado apa yang akan diberikannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Babii with Love
FanfictionSemua tulisan disini tidak saling terikat satu sama lain. Cerita lepas yang berasal dari pikiran halu. Terkadang hanya sekelebat dan dituangkan menjadi sebuah cerita. Update tidak tergantung apapun karena memang ide ini muncul tiba-tiba tanpa rencan...