para perwira dengan seragam putih memenuhi salah satu ruangan villa mewah bernuansa putih gading, dengan tiang tiang tinggi sebagai pengokohnnya. terdengar bunyi dari gelas gelas yang mereka dentingkan.
"you damn bastard, how lucky you are to still be alive in this world?" pria yang di tujukan itu hanya tersenyum miring ketika salah satu teman menyenggol bahunya.
"of course dude, dia masih diberi kesempatan dari tuhan untuk merubah sifatnya yang kaku itu." salah satu pria dengan paras khas timur tengah itu menimpali, terkekeh tanpa dosa dan secara acak mendetingkan gelas ke orang lain yang berada di sampingnya. sedangkan pria yang di tunjukan atas perkataan tersebut hanya menatap tanpa ekspresi dengan mata biru laut yang dalam, saat dia menyesap minumannya yang terasa pahit di tenggorokan.
"oh santai saja kapten Volker kau tidak ada tandingannya." pria itu hanya terkekeh sambil mengangkat kedua tangannya tanda berdamai.
acara itu tentu tidak formal, hanya selebrasi atas keberhasilan dari beberapa perwira yang selamat dari pemberontakan dahsyat di salah satu perbatasan. tidak ada formalitas dan tidak ada komando, beberapa perwira yang hadir itu, mereka semua. bebas tugas.
Empat orang pria yang berdiri membentuk setengah lingkaran itu tertawa dan saling melempar candaan dan ejekkan satu sama lain selayaknya pria pada umumnya ketika saling mengobrol. seiring para pria itu tengah asik dengan percakapan yang mereka lakukan, pria berparas timur tengah itu tiba tiba berkomentar.
"Hei bas di mana adik mu? aku sudah lama tidak melihatnya setelah tiga tahun tidak bertemu." dia memang pria yang banyak tanya dan berkomentar, perbedaan yang sangat kontras untuk berteman dengan seseorang yang sekaku Bastian Volker tentunya :|
"entahlah, dia selalu hilang dan tiba tiba datang dan aku tidak terlalu memperdulikan dia berada di mana."
"tidak heran selalu seperti itu, adik mu itu pembawa suasana pesta bas."
tepat setelah kalimat terakhir yang terucapkan tersebut, seorang gadis berjalan penuh percaya diri melewati para perwira berseragam putih dan beberapa tamu lainnya, tentu dengan sapaan dari beberapa orang yang dia lewati saat berjalan.
"bukankah itu laura..." kata salah seorang teman Bastian tiba tiba mendapati adiknya yang tengah menyapa balik para tamu di ujung ruangan.
"tapi siapa yang berada di belakangnya itu?"
awalnya Bastian tidak terlalu terpengaruh akan perkataan temannya tentang laura yang tiba tiba menampakkan diri entah dari mana. Tetapi ketika temannya itu menyebut siapa orang dibelakang adiknya, mau tidak mau mata Bastian melirik ke arah seseorang yang di tujukan.
satu detik, dua detik...
Bastian diam sejenak. bukan, dia diam bukan karena melihat beberapa pasukannya yang gugur ketika dia ditugaskan di perbatasan. tapi entah kenapa saliva yang berada di tenggorokannya menjadi sangat sulit untuk dia telan. sialan pikirnya.
tatapan itu tidak berpaling dari netra biru lautnya yang tajam untuk sosok gadis yang berada tepat di belakang adiknya. Laura menggandeng tangan gadis tersebut saat gadis itu hanya berada di balik punggungnya yang menampilkan sedikit sosoknya. seperti seorang ibu yang menggandeng anaknya agar anak itu harus mengikuti ibunya. Bastian masih tidak mengalihkan pandangan dari gadis itu yang menampilkan sedikit lekuk tubuhnya dengan balutan dress floral semata kaki, yang... demi tuhan... Bastian benar benar mengakui dress itu tidak cocok dipakai di acara seperti ini, walaupun acara ini tidak formal tapi.. dress itu lebih cocok dipakai untuk berbelanja bahan makanan, atau lebih buruknya itu cocok untuk berada di tempat tidur!
gadis ini sudah tumbuh menjadi sosok yang dewasa berbeda seperti terakhir kali saya melihatnya, tetapi dia benar benar tidak tahu tempat! betapa naifnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sailor's Sin
General FictionHe is a sailor, but unfortunately I drowned in his ocean eyes until I ran out of breath and panted under him. "You are one of the sins I can take." "Katakan padaku apakah kau mencintaiku?" Pria itu terkekeh kering tanpa humor. "Mencintaimu?" Ulang...