BAB 7 - Sundapura

96 24 5
                                    

Lama-kelamaan secercah cahaya terlihat dari ujung terowongan. Mata lelah mereka berubah berbinar penuh harapan. Cahaya rembulan semakin terlihat seiring mobil melaju keluar terowongan.

Saat cahaya rembulan membanjiri celah-celah mobil, mereka disambut dengan pesona alam yang menakjubkan. Satu persatu orang turun dari mobil. Suara langkah kaki, desiran daun, dan riuh angin malam menciptakan suasana yang hening. 

Langit hitam pekat di atas kepala mereka hanya diterangi oleh remang sinar rembulan dan beberapa planet juga asteroid. Sinarnya menembus celah pepohonan rapat. Jangkrik-jangkrik bernyanyi, memadukan suara. Kabut tipis nan dingin menyelimuti hutan, sementara burung hantu kadang-kadang berseru, membuat suasana sedikit berkesan menyeramkan.

Raga duduk di tanah sambil menyenderkan punggungnya di bagian bawah mobil. Menghirup segarnya udara tanpa polusi sambil memandangi langit yang penuh akan bintang. Dinginnya malam tak sedikitpun mempengaruhinya untuk beranjak dari tempat, matanya terpaku akan keindahan alam. Semua ini tak lain kerjasama dari nyala terang kunang-kunang, suara gemericik air sungai, kabut diantar pepohonan hingga bintang-bintang. Di kota tidak pernah ada pemandangan semacam ini.

Satu persatu ikut duduk bersandarkan mobil travel mereka yang sudah terlihat seperti rongsokan. Aca duduk bersandar sambil menangkup salah satu kunang-kunang yang terbang di depannya. Menunjukkannya pada Aksara yang sekarang sedang sibuk membuat api unggun, menata ranting-ranting menjadi sebuah gundukan. Dia mengumpulkan ranting-ranting beberapa menit lalu, saat teman-temannya sedang sibuk mengagumi keindahan alam. Aksara selalu seperti itu, selalu selangkah lebih awal dari siapapun.

Raga bangkit ikut membantu, mengambil segala ranting yang ada untuk berjaga-jaga. Sementara Sera duduk mengobati luka punggung Zarka akibat cakaran Ahool.

"Kalo udah selesai, kalian gantian kesini, gue obatin." ucap Sera sambil menjahit luka punggung Zarka.  Raga yang mendengarnya memberikan jempol pada Sera, sambil meletakkan kayu-kayu di depan Aksara.

Aca masih bermain dengan kunang-kunang yang hinggap di tangannya. "Keren kan? Kayanya dia suka sama aku. Mitosnya kunang-kunang akan memadamkan cahaya jika tidak suka dengan orang yang memegangnya."

Aksara tersenyum tipis. "Bisa jadi karena kunang-kunang itu tidak merasa terancam. Sebenarnya proses penghasilan cahaya pada kunang-kunang tidak dipengaruhi oleh sentuhan manusia. Dia terus bercahaya karena proses bioluminesensi yang tidak terkait dengan perasaan atau kesadaran yang merupakan reaksi kimia."

"Tapi di film tinkerbell dia bisa padam kok cahayanya," Sera ikut menyahut, mendukung Aca. 

"Woi sakit, jangan ngomong, fokus dulu," Zarka takut pungungnya kenapa-napa jika Sera terus berbicara.

"Sorry hehe," Sera cengengesan, dia memang membawa segala perlengkapan medis. Niatnya perlengkapan itu digunakan untuk mengabdi di salah satu puskesmas kkn.

"Lagian masa dunia nyata disamain sama film kartun." Zarka mengejek, dia malah memulai obrolan.

"Itu bisa saja terjadi jika mereka kelelahan, kekurangan oksigen, dan sebagainya." lanjut Aksara. "Kebanyakan film juga ga murni fiksi, sedikit-sedikit mereka punya pegangan dari hal yang sebenarnya terjadi."

"Kamu keren, kaya ensiklopedia berjalan," Aca tersenyum bangga.

Zarka mendekati Aksara untuk membantunya membuat api unggun. "Iyasih pinter kaya ensklopedia berjalan, tapi kalau ga pernah ikut pramuka percuma." Zarka menghela napas menatap kasihan pada Aksara yang sedang membuat api dengan batu. "Lo bikin api pake cara purba gini kapan selesainya?"

Aksara melemparkan batu ke tanah, lelah karena memang tidak satu kalipun muncul percikan api. Menurut sains gesekan akan menghasilkan panas, dan panas dapat menimbulkan api, namun prakteknya ternyata tidak semudah itu. Dia memberikan tugas membuat api unggun sepenuhnya kepada Zarka. 

(KKN) DIMENSION OF NUSANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang