nine

93 8 0
                                    

chapter sembilan mengandung mature content.
untuk chapter 18+ bisa cek di karya karsa.
yang di posting di wattpad hanya rating 15+


--

Jean menatap ke depan dengan tatapan kosong, larut dalam pikirannya ketika sampai di kelas. Ia tidak fokus dengan apa yang dibahas oleh dosen yang sedang menjelaskan. Sebentar lagi harusnya ia lulus. Namun karena harus fokus balapan, pendidikannya sedikit keteteran. Dalam dua bulan ke depan, ia baru bisa memulai menulis tugas akhir untuk menyelesaikan studinya. Beberapa mahasiswi pun tidak fokus dan sibuk mencuri-curi pandang menatap Jean.

Sampai pelajaran selesai pun, Jean masih menatap dengan tatapan kosong. Teman sekelasnya menyenggol siku Jean untuk menyadarkannya. "Kau tidak pulang?" Tanyanya pada Jean yang sedang berusaha mengumpulkan fokusnya.

"H-hah?" Jean sedikit bingung. Kelas masih penuh dan semua mata tertuju padanya. Jean menatap depan, meja dosen sudah kosong karena dosen sedari tadi keluar kelas. "O-oh, ya. Aku keluar sekarang." Jean merapikan bukunya, menaruhnya di dalam tas, lalu beranjak dari kursi. Beberapa mahasiswi mengikuti Jean dari belakang dan memberikannya selamat. Ada juga yang membelikannya bunga dan coklat dan Jean berterimakasih pada mereka.

Sayang sekali ia tidak bisa mengikuti kelas online karena sudah ditiadakan. Pihak kampus memilih hanya mengadakan kelas secara tatap muka untuk seluruh mahasiswanya dengan alasan lebih bisa dikontrol oleh dosen secara ketat. Tak jarang Jean datang hanya mengumpulkan tugas saja karena dia tidak suka diikuti oleh beberapa mahasiswi yang terus mengganggu privasinya di kampus. Ia tidak bisa bergerak leluasa semaunya.

Salah satu mahasiswi bertanya. "Siapa staf barumu? Apa staf barumu salah satu mahasiswa di sini?"

"Tidak. Aku tidak punya staf baru." Jawab Jean datar.

"Benarkah? Aku dengar kau punya staf baru."

"Tidak benar. Aku tidak punya staf baru." Jean mengelak karena tidak ingin ditanyai oleh mereka lebih lanjut. Dan Jean juga tidak ingin mereka tahu bahwa Jean sendirilah yang menerima Elaine.

"Oh, oke. Selamat, Jean." Mahasiswi itu memberikan sebuah undangan ulang tahun. "Kalau kau bisa datang." Wajahnya memerah dan ia menggigit bibirnya. Jean hanya mengangguk sebagai respon ketika menerima undangan tersebut dan meninggalkannya secepat mungkin.

Menyebalkan. Jean menuju parkiran dan masuk ke dalam mobilnya. Ia melemparkan semua kado yang dia terima di kursi penumpang. Ia mengemudi mobil sport hitam miliknya menuju garasi Tim Jean.





-




"Tidak terasa tinggal satu balapan lagi tersisa. Hebat sekali Jean, dalam tiga tahun berturut-turut menyelesaikan balapan dengan poin sempurna." Ucap salah satu staf mencuri pandang pada Jean ketika ia sampai di garasi.

"Belum tentu. Mungkin di balapan terakhir, aku bisa mengalahkannya." Kata Killian dengan wajah sombong. "Siapa tahu, kan."

Jean sampai di garasi tidak menggubris pembicaraan staf dan temannya. Ia masih sibuk merenungkan ciuman seminggu lalu bersama Elaine. Rasanya sangat nyata, seperti baru kemarin terjadi. Jean berpikir kalau dia sedang bermimpi. Saat ketika ia bangun, ia mendapati tertidur di sofa apartemennya. Bahkan Jean pun tidak sadar mengapa ia bisa sampai di sana. Jean yakin kalau dia sangat mabuk kala itu. Ku rasa aku tidak bilang pada supirku untuk pergi ke situ.

Selama seminggu, Jean hampir gila. Pandangannya tidak fokus. Ketika ia mencoba memejamkan matanya, wajah Elaine dan lenguhan pelan itu memenuhi pikirannya. Bibir lembut milik Elaine teringat jelas, rasa manis Jean rasakan ketika ia mencoba untuk mengeksplor lebih dalam. Bahkan lebih candu dibanding rokok elektrik atau minuman alkohol yang biasa ia konsumsi.

Jean duduk di sofa dan meminum minuman energi dingin yang staf berikan padanya. Pikirannya berandai-andai. Kalau saja ia tidak mabuk hari itu, apa yang akan terjadi selanjutnya? Kemungkinan apa yang akan terjadi kalau ia tidak tertidur saat mencium Elain di hari itu? Jean tidak mengerti dari mana ia mendapatkan keberanian. Badannya bergerak sendiri sesuai kemauannya.

Setiap malam, ia menyentuh bibirnya, kemudian menggigitnya pelan. Badannya terasa panas. Jean mengguyur badannya dengan air dingin dan meminum bir dingin untuk mengalihkan pikirannya. Ia mengusap wajahnya kasar dan menggeram. Berhari-hari wajah Elaine menghantuinya. Ketika tidur pun, ia bermimpi bertemu dengan Elaine.

Jean pikir dengan menghabiskan waktu di garasi bisa mengalihkan pikirannya sebentar, namun sama sekali tidak berhasil. Ia beranjak dari kursi dan mengambil jaketnya. Para staf bertanya ke mana ia akan pergi karena belum ada satu jam ia sampai, Jean sudah bersiap untuk keluar. Jean melambaikan tangannya, tak berucap satu kata pun. Ia mengambil kunci mobil di saku, membuka pintu mobilnya, kemudian menginjak pedal gas menjauhi garasi.





-





Jean melemparkan jaketnya kesembarang arah ketika sampai di apartemen dan berjalan menuju kulkas mengambil vodka dingin dan membawanya menuju sofa. Ia menyalakan televisi dan menonton apapun yang sedang ditayangkan. Jean bingung bagaimana cara membuat moodnya jauh lebih baik.

Elaine. Wanita itu tak berhenti mengganggu pikirannya. Entah sejak kapan, Jean tidak sadar. Apakah semua karena hoodie lusuh yang Elaine kenakan saat pertama kali bertemu, atau karena ia tertarik pada Elaine sejak pandangan pertama. Jean pun bertanya-tanya pada dirinya sendiri bagaimana bisa dia menerima wanita yang tidak mengerti apa-apa sebagai stafnya. Dia bisa melayaniku? Jean berdecih mengingatnya.

Berciuman, bahkan bercinta, bukan pertama kalinya Jean melakukan itu semua. Di saat baru masuk kuliah, ia sudah merasakan hal-hal yang seharusnya orang dewasa lakukan. Dikelilingi wanita, berciuman, atau bercinta dengan banyak wanita, ia sudah pernah melakukannya. Jean tak ingat kapan terakhir kali dia bermain-main. Ia meninggalkan kehidupan malamnya demi menjaga namanya yang sudah besar menjadi pembalap hebat.

Jean masih ingat jelas malam itu, ketika ia memberikan hoodienya pada Elaine, Elaine terlihat sangat imut di matanya. Hoodie kebesaran, tangan menjuntai panjang, tampak seperti mini dress, rasanya ia ingin—tidak. Jean menggeleng kepalanya dan kembali meminum vodka. Jean merasa kewarasannya hampir hilang semenjak mengenal Elaine. Memorinya kembali memutar ketika Elaine berada di pangkuannya.

"Sial! Apa aku yang menyruruh supir itu untuk membawaku ke sini malam itu?!" Omelnya pada dirinya sendiri.

Jean menaikkan kakinya dan menyender di sofa. Ia menatap langit-langit dan samar-samar terdengar suara televisi yang masih menyala. Jean kemudian mengambil ponselnya di samping botol kosong vodka yang baru saja ia habisi. Jarinya mencari satu nama dan menelponnya.

Jean meremas rambutnya dan menggeram. Ia membayangkan hal-hal kotor yang ingin ia lakukan bersama Elaine.

"Halo?" Jawab Elaine ketika menerima telpon dari Jean.

"E-El." Respon Jean terbata-bata.

"Jean? Kau kenapa?" Tanya Elaine sedikit khawatir. "Kau sakit?"

"El—ugh." napas Jean memburu.

"Hei! Kau ini kenapa?! Kau mabuk, ya?!" Nada bicara Elaine sedikit kesal.

"E-Elaine." Panggilnya sedikit berteriak.

Di sisi lain, Elaine menutup telpon Jean dan menatap ponselnya berkali-kali. Tidak biasanya dia menyebut namaku. Elaine merasa heran. "Sebenarnya apa yang ingin ia katakan? Mengganggu tidurku saja!" Elaine tak paham kalau Jean baru saja berfantasi tentang dirinya. Di pikiran Elaine, Jean hanya melantur tak jelas dan Elaine yakin ia habis minum bersama teman-temannya.

Chocolate Dipped Strawberry (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang