Prolog

76 25 25
                                    

Rumah yang sudah kehilangan fungsi, apa masih bisa dijadikan tempat pulang?

---

Kamila Monroe melangkahkan kaki tanpa minat menuju bangunan kokoh berlantai dua di  hadapannya. Tidak ada supir yang mengantar juga menjemputnya hari ini. Pagar pun, ia sendiri yang membuka. Seluruh fasilitas yang biasa ia dapat, mendadak hilang. Dengan jelas ia tahu penyebabnya.

Langkah yang tadinya terayun pasti, terhenti tiba-tiba. Mata almond-nya menajam ke arah koper berwarna dusty pink yang teronggok di atas lantai marmer yang dingin.  Koper miliknya yang selalu ia taruh di atas lemari, kini tergeletak di teras rumah. Tangannya terlipat di depan dada. Wajah itu datar tanpa ekspresi.

Dengan langkah santai, ia berjalan menuju koper dan meraihnya, membawanya masuk ke dalam rumah. Tidak tampak ketakutan dalam diri itu. Namun, isi hati siapa yang tahu, bukan?

"Kok, masih berani-beraninya masuk ke rumah ini? Gak tahu makna dari koper yang ditaruh di depan pintu keluar?" Seorang gadis cantik keluar dari rumah sebelum Kamila sempat masuk. Ia menatap sinis ke arah Kamila.

"Biar gue jelasin. Lo itu diusir," bisiknya dengan menekan tiap kata yang ia ucap. Dorongan cukup keras Kamila dapatkan di bahunya. Kamila sempat terdorong ke belakang. Beruntung Kamila masih bisa mempertahankan keseimbangannya, hingga ia tidak sampai jatuh ke lantai dingin teras rumahnya. Telunjuk gadis yang sedang memakai fake nail itu, terasa menusuk bahu Kamila.

Tidak ada jawaban. Kamila memilih bungkam. Ia tetap berusaha masuk meski sedikit kesusahan.

"Eits, kenapa, nih?" Kali ini, seorang pria berusia kurang dari dua puluh tiga tahun ikut berdiri di samping gadis cantik tersebut, membuat Kamila semakin sulit untuk masuk. Mereka sengaja menutup akses agar Kamila tidak bisa memasuki rumah itu.

"Ini ada yang gak paham makna dari pengusiran. Harus diperjelas kali, ya?" ucap Seraphina Bellamy, gadis dengan rambut tergerai indah sepunggung itu berkata sinis dan menusuk.

"Loh, adik kecil. Kok, masih balik, sih?" tanya Gabriel Hartley menatap penuh intimidasi ke arah Kamila.

Pertanyaan bodoh. Ini rumah gue, tentu gue balik ke sini.  Makian yang hanya bisa ia utarakan dalam hati, karena yang keluar dari mulutnya hanyalah satu kata.

"Minggir!" Suara datar Kamila terdengar, membuat Sera dan Gabriel tertawa.

"Duh, dia nyuruh kita minggir. Mau gak, ya, kita?" tanya Sera menatap ke arah Gabriel. Gabriel yang ditatap memasang tampang kasihan yang jelas saja palsu.

Kamila menarik napas kasar. Banyak hal yang ia benci di kehidupannya yang baru menginjak tiga belas tahun. Usia yang masih cukup belia untuk mendapatkan kekejaman seperti ini dari dua manusia  yang paling ia benci di dunia. Ah, ditambah dengan satu lagi, sosok yang belum tampak hingga saat ini.

Genggaman Kamila mengerat pada koper yang ia taruh di balik tubuhnya. Matematika cukup menguras otaknya di sekolah dan ditambah dengan drama yang baru saja terjadi, membuat lelahnya semakin menjadi-jadi. Kamila sedang tidak ingin bermain-main. Dalam bayangannya, ia akan bersih-bersih, lalu tidur siang sebentar. Padahal ia tahu, hal itu mustahil akan terjadi, mengingat tidak ada 'sosok pelindung'nya di sini. Meski luka itu masih belum sembuh, ia tetap bersyukur jika sosok pelindung itu berada di rumah. Setidaknya ia merasa aman dan sedikit nyaman.

Tidak ada pilihan lain. Ia harus masuk dan bergegas menuju kamar. Badannya terlampau lelah dan terasa lengket. Jarum jam menunjukkan pukul 16.52 WIB, bukan waktunya untuk meladeni drama murahan dari dua sosok menjijikkan di hadapannya ini.

"Eh, ada apa?"

Ralat. Ada tiga. Sial.

Satu lagi manusia menjijikkan yang selalu Kamila doakan enyah dari kehidupannya. Ia muak dengan sifat ular sosok ini.

Di saat Sera dan Gabriel menatap ke arah perempuan itu, Kamila berlari masuk ke dalam rumah. Menubruk Sera dan Gabriel yang sedang kehilangan fokus untuk menghadangnya. Sera hampir terjatuh, beruntung perempuan itu sigap menahan.

"Sial. Woi, anak dajjal," teriak Sera yang enggan Kamila respon. Kamila berlari sekuat yang ia bisa untuk sampai di lantai dua, tempat kamarnya berada. Napasnya terengah-engah. Lelah harus berlari di atas tangga dengan koper berat di tangannya.

Pintu kamar ditutup dengan kasar. Koper itu ia jatuhkan begitu saja. Napasnya masih memburu. Punggung ringkih itu bertemu dengan kokohnya pintu kamar. Tanpa sadar, setetes air mata terjatuh melewati pipi. Putri kebanggaan keluarga itu menjelma menjadi gadis penuh luka. Entah siapa yang memulai kisah pilu ini. Yang pasti, kehidupan yang dulu banyak diimpikan teman-temannya, berubah menjadi boomerang untuk dirinya kini. Senyumnya palsu, tawanya terpaksa. Impiannya yang dulu tertata rapi dan tercapai satu persatu, kini dihancurkan oleh fakta bahwa hidupnya tak lagi sama.

Benarlah bahwa apa-apa saja yang didapat hari ini, tidak senantiasa akan selalu dimiliki di esok hari. Tidak ada jaminan untuk mendapati kemudahan yang sama di tiap hari. Selalu ada badai yang menanti untuk menghampiri. Lantas, bahagia seperti apa yang membuat terlena, sedang luka juga turut serta dalam perjalanan?

Rumah yang dulu selalu tenang dan tentram, kini kehilangan fungsinya. Tidak ada lagi hal yang menyenangkan di dalam sini. Rumah Kamila telah runtuh, meski bangunannya masih berdiri kokoh. Rumahnya telah hilang, meski interiornya masih lengkap. Rumah ini terasa kosong, meski masih berpenghuni.

Lantas, apa masih pantas bangunan ini disebut rumah, sedang perannya sudah terlanjur mati?

Velvet SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang