1 : Apa pantas?

46 14 25
                                        

Kehancuran keluarga menjadi cikal bakal hancurnya moral. Rasa sopan tergerus oleh drama yang enggan ia ikuti alurnya. Lantas, apa pantas ia menerima setiap caci maki dari banyak pihak?

---

Kamila Monroe menatap datar meja makan yang hanya tersedia gelas dan beberapa buah. Tidak ada roti yang biasanya selalu tersuguh di meja saat ayahnya di rumah. Mereka bersengaja menyembunyikan makanan itu dari Kamila.

Dengan segera, Kamila tergerak mengambil sebuah apel yang masih segar, setidaknya untuk mengganjal perutnya yang kosong.

"Heh, siapa yang ngizinin lo sentuh buah-buahan di meja?" Suara sinis Sera terdengar nyaring. Dia baru saja pulang dari salon, terlihat dari rambut panjangnya yang tampak baru di-curly. Mungkin dia punya acara setelah ini. Kamila tidak peduli.

"Gue lapar," jawab Kamila tanpa beban.

"Hah, lo pikir gue peduli? Buah-buahan itu diletakkan di meja bukan buat lo makan. Sadar diri sedikit, kek, jadi orang. Letakkan di sana dan jangan pernah sentuh apa pun lagi, Sialan!" Sera menatap nyalang ke arah Kamila yang terlihat tidak peduli dengan ucapan Sera.

Kamila cepat mengambil apel dan bergegas keluar dari rumah. Ia butuh makanan berat untuk menghentikan suara riuh perutnya yang berteriak minta diisi. Bahkan mereka tidak mengizinkan Kamila untuk memakan sepotong roti dan segelas susu.

"Heh, balikin apelnya!" teriak Sera yang menatap kepergian Kamila. Sera menggeram marah. Kakinya menghentak lantai marmer dengan kasar. Tangannya mengepal. "Sial. Awas aja lo."

Kamila berlari menuju warung kecil depan gang rumahnya. Sedikit jauh dari wilayah perumahan elit milik mereka. Tempat yang kini sering ia kunjungi saat ayahnya sedang tidak di rumah. Awalnya, pemilik warung merasa terkejut melihat kedatangan Kamila yang biasanya selalu ia lihat di atas mobil mewah bersama sang ayah. Pemilik warung yang biasa dipanggil Mbak Inah merasa tersanjung atas kunjungan putri terhormat keluarga Monroe itu.

Selayaknya tuan putri yang dilayani dengan baik, Kamila mendapatkan itu di warung Mbak Inah. Ia menjelma menjadi putri terhormat dan disegani. Pelayanan terbaik itu kembali ia dapatkan. Mbak Inah selalu mendahulukannya atas pelanggan yang lain. Tanpa mengurangi kemunafikan, Kamila menyukainya.

Awalnya, ia hanya iseng berkunjung ke warung Mbak Inah, karena rasa lapar yang mengganggu aktivitasnya waktu itu. Ia singgah dan mendapat keistimewaan yang ia sukai. Lama-lama ia nyaman dan sering makan di sana.

Kamila memandang para pelanggan yang sudah menunggu sedari tadi. Ia memasang ekspresi sinis dan berjalan santai menuju Mbak Inah. Tidak memedulikan antrean, ia ingin dilayani terlebih dahulu.

"Eh, Neng Kamila. Mesan apa, Neng?" Sesuai dugaan, Mbak Inah akan langsung tergesa mendatanginya. 

Seru juga, pikir Kamila.

"Ayam penyetnya satu. Segera, ya!" perintah Kamila yang langsung dituruti oleh Mbak Inah.

Langkah Kamila terhenti. Mbak Inah yang menyadari kebungkaman Kamila, melihat arah pandangnya. Dia memahami satu hal.

"Duh, maaf, Neng. Saya gak tahu kalau Neng mau berkunjung. Saya suruh pindah dulu, ya," ucap Mbak Inah sambil menunduk. Kamila melipat tangan, menunggu aksi Mbak Inah selanjutnya.

"Maaf, Kak. Bisa pindah ke bangku sebelah, gak? Ini Neng Kamila mau duduk di sini," pinta Mbak Inah ke dua pelanggan yang sedang makan di bangku paling ujung, tempat yang biasa dan harus Kamila duduki. Dia tidak mau duduk kecuali di bangku tersebut.

"Loh, gak bisa gitu, dong, Mbak. Kan, kami duluan duduk di sini," jawab seorang gadis tersebut protes. Mereka menatap sinis ke arah Kamila. Mereka mengenali gadis kecil ini. Yang ditatap hanya memasang ekspresi tidak peduli. Yang penting dia duduk di bangku itu.

Velvet SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang