Bab 2 : Kekejaman Saudara Tiri

32 14 19
                                    

Apa memang saudara tiri harus sekejam ini?

---

"Woi, Manusia Ular. Mana uang jajan gue," teriak Kamila saat memasuki rumah.

Semua pelayan sontak terkejut mendengar suara teriakan dari si majikan kecil. Mereka memandang takut ke arah nyonya besar yang berjalan dengan santai menuju Kamila. Mereka khawatir putri kecil itu akan kembali diperlakukan dengan kejam, sedang mereka tidak bisa melakukan apa-apa.

"Bicara dengan siapa, Anak Kecil?" tanya Lilian sambil bersedekap dada. Manusia yang mendeklarasikan diri sebagai nyonya besar di rumah itu, menatap lurus ke arah Kamila. Air wajahnya tenang, tetapi menghanyutkan.

"Mana uang jajan gue?" ulang Kamila dengan penekanan di setiap kata yang ia ucap. Matanya menatap tajam ke arah wanita berusia sekitar 40 tahun itu.

Lilian berjalan dengan elegan ke arah Kamila yang berdiri di depan pintu masuk. Kamila menatap awas. Manusia gila ini bisa melakukan hal yang merugikan Kamila. Benar saja, tangan kanan Lilian tiba-tiba meraih rambut Kamila dan menariknya kasar. Tangan kirinya menangkup wajah Kamila dan menekannya dengan kuat. Kamila meringis dan mencoba memberontak. Tidak ada yang berani mendekat apalagi melerai. Nyonya besar punya kuasa. Itu yang ditanamkan oleh Lilian sebulan setelah ia menapakkan kaki di rumah itu.

"Yang sopan ngomong sama saya, Anak Sialan," ucapnya pelan, tetapi menusuk. Kamila masih berusaha melepas cengkeraman di wajahnya dan tarikan di rambutnya yang ia yakin sudah rontok beberapa helai.

"Uangmu sudah masuk rekening saya. Itu artinya uang tersebut milik saya." Lilian lalu melepas cengkeramannya dengan mendorong kepala Kamila kuat dan membuatnya terlempar ke guci samping sofa. Kamila merasakan darah segar mengalir di kepalanya, sebelum semua menjadi gelap dan kalimat terakhir yang ia dengar adalah, "hapus semua rekaman CCTV di rumah ini. Segera!"

🌸🌸🌸

“Heh, bangun lo! Nyusahin banget jadi manusia.” Sebuah tarikan kasar Kamila dapatkan secara tiba-tiba. Rasa pusing luar biasa menyerang. Ia belum siap untuk langsung bangkit setelah pingsan selama dua jam.

Ingatannya langsung mengarah kepada kejadian di mana Lilian mendorongnya sampai terjatuh dan terbentur guci. Tangannya menyentuh bagian kepala yang terasa sakit. Tidak ada perban yang seharusnya membaluti kepalanya yang mengeluarkan darah segar tadi. Kamila yakin bahwa Lilian yang melarang para pelayan untuk mengurusnya.

“Aw,” ringis Estella, menahan rasa sakit luar biasa di area kepala bagian belakang.

“Bangun, woi!” Lagi, tarikan yang lebih kasar ia dapatkan dari Sera. Tatapan mata Sera tajam, seolah ingin menguliti Kamila hidup-hidup.

Sebenarnya, apa salah Kamila? Kenapa dia diperlakukan buruk dan tidak manusiawi seperti ini? Padahal, merekalah yang merampas haknya. Mereka yang menumpang dan bertingkah seperti pemilik. Harusnya, penumpang sadar diri bahwa mereka tidak memiliki sedikit pun hak untuk tinggal lebih lama, bukan?

“Sabar, Kak! Kepala gue pusing banget,” ucap Kamila sambil memegangi kepala.

“Gue bukan kakak lo. Panggil gue Nona Sera!” Sera kembali menarik rambut Kamila kasar. Rasa sakit yang sangat Kamila rasakan. Kepalanya baru saja mengeluarkan darah segar dan dengan kejamnya Sera menarik rambutnya dengan sangat kuat. Kamila menjerit kesakitan.

“Lepasin!” Kamila memberontak. Namun, sia-sia saja. Kekuatannya tidak sebanding dengan Sera yang tampak berapi-api ingin menyiksanya. Kamila belum pulih benar, ditambah dengan perutnya yang belum diisi lagi setelah makan di warung Mbak Inah. Tidak ada kekuatan tersisa untuk melindungi diri apalagi membalas perlakuan Sera.

Langkah kaki mendekat ke arah Sera dan Kamila. Kamila belum berhasil melepaskan tarikan Sera di rambutnya. Sera bahkan menarik rambutnya lebih kuat, sampai kepala Kamila ikut tertarik ke samping.

“Dengar, Sialan! Lo itu bukan siapa-siapa. Jangan sok jagoan!” bentak Sera.

Gabriel muncul di pintu kamar Kamila dengan segelas air bening. Tidak, Kamila yakin itu bukan air mineral murni. Mustahil Gabriel akan sebaik itu memberikannya air minum. Pasti ada yang ia masukkan ke dalamnya.

“Minum dulu, nih. Baik banget gue hari ini,” ucap Gabriel menyodorkan gelas tersebut kepada Sera. Sera menerima dengan senyum melebar. Tarikannya pada rambut Kamila sedikit mengendur. Tangan kiri digunakan untuk menarik rambut Kamila dan tangan kanan dia pakai untuk memegang gelas.

Kamila menjerit dan memberontak. Kepalanya ia ayunkan ke kanan dan ke kiri. Gabriel yang sedari tadi hanya menatap aksi Sera, kini ikut memukul kepala Kamila dengan tangan kanannya cukup kuat.

“Diem atau gue buat pingsan untuk kedua kalinya!” ucapnya dingin dan datar.

“Jangan, please. Itu pasti bukan air mineral murni. Kalian pasti udah campurkan sesuatu ke dalamnya,” ucap Kamila dengan suara terbata. Ia belum bisa melepaskan diri dari cengkeraman Sera.

“Nah, untuk membuktikannya. Lo mesti coba. Minum cepat!” ucap Sera tidak sabar. Ia memaksa Kamila untuk membuka mulut dan memastikan Kamila meminum air itu sampai habis.

Kamila terbatuk setelah meminum air tersebut. Benar saja dugaan Kamila. Air itu pasti sudah dicampur dengan sesuatu, dan itu garam. Garam yang sangat asin. Lidah Kamila seperti mati rasa. Perutnya yang notabenenya kosong, merasa begitu mual. Kamila menahan sekuat tenaga untuk tidak muntah di depan dua manusia kejam ini atau mereka akan semakin menyiksanya. Namun, sekuat apa pun ia menahan, isi perutnya tetap keluar juga. Lendir bening mengotori kaki Sera yang berada tepat di hadapan Kamila. Matanya membelalak terkejut.

“Kaki gue,” teriaknya sambil memukul kepala Kamila kuat. Kamila yang masih lemas karena baru saja muntah, tidak bisa menjaga keseimbangan. Ia jatuh ke bawah tempat tidur. Kepalanya sedikit terbentur ke sisi bawah tempat tidur, yang berbahan dasar besi. “Bersihin kaki gue, astaga!” Sera merasa ikut mual melihat kakinya yang sudah dikotori oleh muntahan Kamila.

Gabriel bergerak santai ke arah lemari Kamila dan mengambil baju yang menurutnya paling bagus. Tempatnya terpisah dari baju lainnya. Ia mengambil baju itu dan melemparnya kasar ke kaki Sera yang berlumuran lendir.

Kamila yang sadar dengan kelakuan Gabriel langsung mendekat dan mengambil baju itu. Ia memeluk erat baju berwarna merah muda polos itu. Kamila sangat menyayangi baju itu. Baju terakhir yang bundanya belikan. Ia sampai tidak berani memakai baju itu lagi.

“Jangan yang ini,” ucapnya lemah. Entah kemana hilang keberaniannya selama ini. Kamila yang dikenal cuek, jutek dan suka semena-mena, tampak tidak berdaya. Kekuatannya tidak berarti apa-apa di hadapan dua saudara tirinya itu. Mentalnya hancur, jiwanya dirusak paksa.

Tuhan, apa saudara tiri memang selalu sekejam ini?

Velvet SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang