Bab 3 : Pemilik Sebenarnya

30 14 18
                                    

Apa berhak pencuri menikmati hasil curiannya dengan bebas, sedang pemilik asli dipaksa terlunta-lunta mempertahankan haknya? Seasing itukah keadilan?

---

Sera merasa muak melihat Kamila yang terus memeluk dramatis baju itu. Ia bergegas menarik paksa baju tersebut. Sera tidak merasa kasihan sedikit pun dengan lelehan air mata Kamila. Kekesalannya semakin memuncak.

"Gak mau! Ini baju gue," tolak Kamila dengan sisa energi yang dia punya.

"Sial! Gak usah sok dramatis gitu, deh! Muak banget gue. Cepetan bersihin kaki gue pake baju ini! Gue gak peduli sama baju yang lo sayang banget itu. Cepat atau gue kunci lo di kamar ini!” Sera membentak Kamila dengan suara menggelegar. Tangannya mencengkeram bahu Kamila kasar.

"Awas, Kak! Sakit!" Kamila meringis kesakitan.

"Makanya cepetan bersihin kaki gue!" Suara Sera masih terdengar kasar.

Kamila yang merasa terpojok, tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sebelum ia mendapat hal lain yang lebih kejam, ia mengalah kali ini. Membersihkan kaki Sera dengan baju kesayangannya itu. Air mata terus mengalir dari pipinya.

Tangan kanannya meraih kaki Sera untuk ia bersihkan. Senyum kemenangan terukir di wajah Sera.

Energi Kamila terkuras habis setelah pingsan barusan. Apalagi belum ada sesuap nasi pun masuk ke perutnya. Ia benar-benar kehabisan energi.

“Nah, gitu dong. Eh, by the way, vibes-nya udah cocok banget jadi pembantu gak sih, Bang?” tanya Sera tiba-tiba ke arah Gabriel. Gabriel tertawa sinis. Matanya tidak lepas memandangi tubuh Kamila sedari tadi. Memindai tiap sisi tubuh gadis kecil itu.

Hem, menarik.

“Pembantu kita memang udah cukup, tapi kayaknya kalau nambah satu lagi, gak bakal rugi juga. Orang pembantunya gak dibayar,” jawab Gabriel sambil tertawa.

"Apalagi pembantunya model begini. Cocok banget." Sera menikmati usapan Kamila di kakinya. "Hem, gue jadi penasaran. Gimana, ya, kalau bener kejadian? Seorang pemilik sebenarnya terpaksa menjadi pembantu di rumahnya sendiri. Dramatis!"

"Kita ajuin ke Mama kali, ya? Mama pasti senang," jawab Gabriel dengan senyum puas.

"Mama bakalan jadi orang pertama yang akan bertepuk tangan kalau hal itu kejadian. Ah, udah, deh. Kaki gue udah bersih. Makasih, Pem-ban-tu," ucap Sera menekan tiap kata yang ia ucap.

Hati Kamila sangat sakit mendengar perkataan kedua saudara tirinya. Harusnya ia yang memiliki tahta tertinggi di rumah ini setelah ayahnya. Harusnya ia yang bisa berlaku semena-mena di sini. Bukan mereka.

Sang Ayah pernah berjanji untuk mengatasnamakan rumah ini sebagai miliknya yang sah, jika ia sudah berusia tujuh belas tahun. Masih tersisa beberapa tahun untuk merebut kembali haknya. Sebelum si manusia ular bertindak lebih jauh, ia harus menyiapkan strategi untuk mengembalikan kembali kedamaian rumah ini seperti sebelumnya.

Bagaimana pun kekejaman yang ia dapatkan di rumah ini, bahkan saat mereka memperlakukannya lebih dari sampah sekali pun, ia tidak akan pergi. Ini rumahnya, sudah seharusnya ia yang berkuasa atasnya.

Rumah ini harus kembali kepada pemiliknya. Sudah sepatutnya pemilik sah berjuang untuk mempertahankan haknya. Ia akan mencoba mengenyahkan para benalu yang saat ini mencoba mencuri miliknya. Tidak, ia tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi.

Jika pun ada yang harus menjadi pembantu, bukan Kamila orangnya. Namun mereka bertiga. Manusia-manusia rakus yang mencoba mengambil hak milik orang lain. Mereka yang tidak memiliki hati sedikit pun. Kejam.

Meski jiwanya hancur sekali pun, rumah ini akan ia perjuangkan sampai mati. Rumah yang pernah menjadi saksi bahagianya. Rumah ini pernah utuh, sebelum berubah menjadi runtuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Velvet SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang