Harusnya Gisa sudah mengambil jatah cuti melahirkannya. Namun perempuan itu masih terlihat melenggang kesana kemari di area kantor.
Dari cara bernafasnya terlihat jelas bahwa Gisa sudah kewalahan. Apalagi dari cara berjalannya yang sedikit mengangkang dan lambat, jelas saja seharusnya Gisa sudah harus di rumah bukannya sibuk bekerja seperti sekarang.
Perempuan itu jelas tidak kekurangan uang. Suaminya adalah direktur utama di perusahaan lain. Gisa memanglah perempuan yang ambisius semanjak masa sekolah. Tidak ada yang bisa menghalangi tekad dan kerja kerasnya.
Perkiraan kelahiran bayi Gisa adalah dua hari lalu. Tiga hari ini kontraksi sudah mulai ia rasakan. Puncaknya adalah pagi tadi. Gisa sampai kesulitan terbangun dari kasur. Tapi Gisa tetap harus berangkat ke kantor karena ada investor yang akan datang dan Gisa tidak bisa melewatkan kesempatan untuk bertemu investor itu atau project besar yang ia kerjakan selama berbulan-bulan akan hancur.
"Bilang ya sayang kalau ada apa-apa."
"Iya."
"Kita langsung ke dokter abis kamu present sama investor."
Gisa tersenyum. Ia mengusap wajah suaminya menenangkan. "Jangan khawatir."
"Aku tungguin di dalem aja deh sayang. Mau ya?"
"Nggak, nggak." Gisa menolak cepat. "Please. Let me handle this by myself. Aku nggak mau investornya jadi berubah pikiran gara-gara ada kamu. Pokoknya project ini harus murni karena kerja keras aku. Oke?"
Wisnu mengalah. Tidak lagi mendebat istrinya. Dulu saat ia meminta Gisa menjadi istrinya, Gisa tidak meminta apapun pada Wisnu kecuali tetap diizinkan bekerja dan mengejar karirnya sendiri.
"Aku masih di sekitar sini. Call me yah if something happen. Love you," Wisnu mengecup kening Gisa dalam, turun ke pipi juga ke bibir perempuan itu agak lama. Ciuman mereka baru terpisah karena Gisa kehabisan nafas. Tidak lupa Wisnu juga menghujani kecupan perut Gisa.
Gisa masuk ke kantornya tanpa ditemani Wisnu. Ia berjalan lambat menuju ruangannya.
"Siang, Bu Gisa. Untuk Pak Axel calon investor kita mengundur jadwal pertemuan Ibu." Rani, sekretarisnya memberi info.
"Oh ookai," Gisa tampak kecewa. Harapannya untuk pulang lebih cepat kandas. Tapi tidak masalah, Gisa bisa gunakan waktu itu untuk meninjau ulang bahan-bahan yang akan ditunjukkan pada investor.
Gisa tidak diam di kursinya. Perempuan itu berjalan-jalan kecil di ruangannya sambil membaca dokumen. Ia berhenti saat kontraksi datang. Gisa adalah pribadi yang terstuktur, jadi tidak mungkin perempuan itu tidak mencatat rapi interval kontraksi yang ia rasakan.
Jeda kontraksinya masih lama. Sakitnya juga tidak terlalu. Gisa masih bisa menahannya. Fokusnya terhadap dokumen yang ia tinjau ulang juga baik.
"Shhh awshh emmm." Sesekali ia meringis kesakitan saat kontraksi datang. Ia mengusap memutar perutnya. Gerak heboh bayinya terasa di telapak tangannya. Gisa tersenyum, merasa beruntung dengan kehadiran buah cintanya bersama Wisnu. "Pelan-pelan aja ya nak, cari jalannya."
Baru beberapa langkah berjalan, kontraksi kembali datang. Kali ini begitu dahsyat seperti pagi tadi. Gisa bersandar pada meja sambil meremas pinggiran meja. Ia sampai kesulitan bernafas karena itu.
Tidak sanggup dengan rasa sakit yang tiba-tiba sangat kuat itu, Gisa mengubungi sekretarisnya lewat tombol interkom. Rani langsung masuk. Tampak sangat khawatir melihat Gisa yang tidak bedaya.
"Bantu saja duduk, Ran."
Rani menuntun Gisa hati-hati.
"Wait-wait." Kontraksi lain datang. Membuat Gisa tidak mampu melangkah meski sudah dirangkul Rani.