"Kamu yakin sayang?" Thomas memeluk Inggrid dari belakang. Telapak tangannya mengusap perut Inggrid dengan gerakan memutar. Semakin turun, Thomas menangkup bawah perut Inggrid dan mengangkatnya.
"Nghh emmh," Inggrid mendesah nyaman.
Thomas menangkup dan menahan perut Inggrid selama beberapa saat.
"It's oke kalau kamu nggak ikut. Atau mau ikut pemberkatannya aja?"
Inggrid menggeleng cepat. "No. Please, aku nggak apa-apa."
"Tapi kamu udah kontraksi."
"I'm fine. We're gonna be fine," Inggrid mengerling ke arah perutnya. Meyakinkan Thomas bahwa ia dan bayi mereka sungguhan akan baik-baik saja.
"Masih pembukaan satu juga kan? I guess our baby is coming tonight. Percaya, we are gonna be fine," Inggrid meyakinkan. "Lagipula aku nggak mungkin nggak dateng ke nikahan Talita."
Thomas menyerah. "Oke, then. Bilang ya kalau kamu udah nggak kuat. Kita langsung ke rumah sakit."
Inggrid mengangguk mantap. Ia tersenyum lebar mendengar Thomas yang akhirnya memberi izin untuk menghadiri pernikahan adik ipar sekaligus sahabat sejak kecilnya itu. Sahabat macam apa Inggrid yang tidak hadir di hari bahagia sahabatnya.
Thomas keluar dari kamar mereka karena Papa memanggilnya meminta bantuan. Sepeninggal Thomas kontraksi Inggrid menguat. Lebih kuat dari yang ia rasakan semalam dan pagi saat bangun tidur. Inggrid duduk sambil memegangi perutnya. Ia meringis sakit.
"Sabar ya, sayang. Kamu jangan lahir dulu ya. Kita dateng ke nikahan aunty Talita dulu ya?"
Bayinya seolah tidak setuju dengan permintaan Talitha. Gerakannya di dalam rahim Inggrid semakin heboh. Membuat kontraksi yang rasanya sudah sangat menyakitkan lebih menyakitkan lagi.
"Shhhh awshhh sayanggg. Sakittt nak."
*
Karena satu dua hal bersifat teknis, pernikahan Talita dan Rayn diundur selama tiga puluh menit. Namun, satu jam berlalu barulah pernikahan mereka dimulai.
"Pengantin wanita akan segera memasuki altar, dimohon para hadirin untuk berdiri."
Pintu utama dibuka lebar, memperlihatkan Talita yang berjalan perlahan dalam gandengan sang Papa.
Semua hadirin berdiri menyambut dengan sukacita, begitu juga Inggrid. Thomas membantunya berdiri.
"Shhh ashhh," Inggrid buru-buru mengigit bibirnya karena kelepasan mendesis sakit. Dari posisi duduk menjadi berdiri memang rasanya tidak nyaman. Saat posisi duduk kepala bayinya terasa tidak menganggu, saat beranjak berdiri kepala bayinya menekan panggulnya bahwa menusuk jalur lahirnya menimbulkan rasa nyeri.
Thomas menyadari ringisan sakit sang istri. "Kontraksi lagi?" Thomas berbisik.
Buru-buru Inggrid membantah. "Dia nendang kenceng banget. Kayanya ikut seneng nyambut Talita."
Thomas terkikik mendengarnya. Hatinya terasa penuh namun ia juga merasa sedikit grogi. Hari ini adiknya menikah, dalam waktu dekat juga anaknya akan lahir. Ia sungguh merasa bahagia.
Thomas dan Inggrid duduk di barisan kedua, di belakang orang tua Thomas.
Awalnya Inggrid bisa mengikuti prosesi pernikahan Talita dengan khidmad. Tapi di tengah acara Inggrid menyerah juga. Perempuan itu memilih untuk tetap duduk saat semua hadirin diminta berdiri. Kontraksi sedang datang dengan kuat. Inggrid meremat gaun yang ia pakai untuk melampiaskan rasa sakitnya. Ia menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya. Cara itu berhasil mengurangi sedikit rasa sakit akibat kontraksi.
Orang-orang terlihat maklum melihat Inggrid yang tidak mengkuti prosesi pernikahan secara utuh. Perempuan itu sedang hamil besar. Perutnya membulat sempurna, saking besarnya kadang Thomas saja sampai takut tiba-tiba perut Inggrid meletus.
"Gapapa?" Thomas berbisik bertanya. Semua orang sedang khidmad berdoa. Thomas mencuri tanya pada istrinya.
Inggrid mengangguk dan tersenyum. "Nggak kuat berdiri. Kaki aku sakit."
Bohong. Kontraksi sedang menyerangnya begitu hebat.
Tibalah pada saat yang ditunggu-tunggu, janji pernikahan. Talita tampak mengucapkan janji pernikahan dengan sungguh-sungguh. Sesekali ia menghentikan kalimatnya karena tangis akan pecah.
Inggrid tidak lagi fokus. Pikirannya terbelah dua. Di satu sisi ia ingin mendengarkan janji pernikahan sahabatnya dengan seksama tapi kontraksi yang menyerang dengan jarak waktu pendek itu menghalanginya. Setiap kali Inggrid ingin meresapi janji pernikahan Talita, kontraksi menginterupsinya. Meremas perutnya dari dalam.
Kedua pengantin selesai mengucapkan janji pernikahan. Riuh rendah tepuk tangan dan sorakan gembira menggema mengiri sesi ciuman keduanya. Inggrid ikut bersorak heboh meski suaranya sempat tercekat. Perempuan itu memaksakan berdiri. Beruntung Thomas langsung merangkulnya sehingga menjadi sumber kekuatan untuk Inggrid.
Rangkaian pernikahan Talita masih terus berlanjut. Setelah janji pernikahan, resepsi langsung digelar siang itu juga di venue yang berbeda. Jeda antara janji pernikahan dan resepsi Inggrid gunakan untuk beristirahat di kamarnya. Ia ditinggal sendirian karena Thomas harus membantu mengkondisikan beberapa hal.
Make Up Inggrid masih sama, perempuan itu hanya perlu berganti gaun. Seseorang yang akan membantunya datang sekitar 30 menit lagi.
Inggrid meringkuk di atas kasur. Rasa sakit yang ia rasakan semakin tidak bisa ditoleransi. Jarak antar kontraksi juga semakin dekat.
"Kamu udah nggak sabar mau ketemu Mami Papi ya?"
Seolah mengiyakan, anaknya menendang dengan kuat.
"Sabar ya sayang. Sebentar lagi."
Saat kontraksi mulai reda, Inggrid bangkit ke kamar mandi. Ia terkejut saat membuka celana dalamnya dan mendapati banyak lendir keruh di sana. Berbekal ilmu yang ia dapat di kelas melahirkan, Inggrid iseng mengecek pembukaannya.
Inggrid melebarkan kakinya di depan cermin. Perempuan itu duduk mengangkang di atas closet. Selatan tubuh Inggrid basah karena lendir yang terus keluar.
Inggrid menahan nafas saat tangannya sendiri mulai masuk.
"Hmmphmm."
Rasanya tidak nyaman tapi Inggrid mencoba masuk lebih dalam, merenggangkan jemarinya di sana.
"Ahhh hmm."
Inggrid tidak tahu tepatnya itu pembukaan berapa. Tapi jari Inggrid mampu melebar di sana.
Suara ketukan membuat Inggrid terkesiap dan buru-buru mengeluarkan tangan dari dalamnya.
"Sayang? Everything oke?"
"Hmmm. Sure. Aku lagi pipis."