3| punya pacar

70 9 0
                                    


"Dua bulan lagi Mama sama Papa bakal pergi ke Singapur. Papa ingin fokus mengembangkan bisnis kita di sana. Jadi kemungkinan akan tinggal lama. Kalau kamu masih hidup begajulan kayak gini, lebih baik kamu ikut saja ke Singapur. Atau kalau tinggal sama Mama belum cukup membuat kamu takut, kamu tinggal saja sama Nenek di Jerman. Mau?"

Tinggal bersama nenek sama saja seperti tinggal di penjara. Penuh aturan. Begitu ketat. Ditambah neneknya adalah tipe orang yang perintahnya tidak ingin dibantah. Tipikal orangtua keras yang menjunjung tinggi norma-norma kesopanan yang ada.

Berbanding terbalik dengan Jayden yang menginginkan hidup tanpa terikat aturan apa pun. Tidak terlalu peduli dengan norma-norma yang dia anggap terlalu kuno dan mengikat.

Ikut bersama orangtuanya ke Singapura pun bukan pilihan yang ingin Jayden ambil. Justru senang bisa berpisah sehingga dia benar-benar bisa bebas.

"Nggak papa, Ma. Aku tinggal sendiri aja." Memperlihatkan senyuman manis yang memberi kesan membujuk seolah Jayden akan diizinkan tinggal sendiri karena sudah bersikap manis.

"Itu sih mau kamu," cibir sang ibunda."Yang ada kamu tambah liar kalau ditinggal sendiri. Nggak, nggak. Mama nggak akan mengizinkan kamu tinggal sendiri apalagi dengan kamu yang masih begajulan kayak gitu."

"Aku janji akan berubah kok, Ma."

Janji yang memantik delikan dari mamanya. "Sudah berapa kali kamu janji kayak gitu, tapi mana tuh? Tidak ada perubahan sama sekali. Mama tetap dapat laporan betapa tidak taatnya kamu pada aturan di sekolah."

"Aturan kan ada untuk dilanggar, Ma."

"Jayden!" Mama menyergah geram, membuat Jayden langsung menutup mulutnya rapat-rapat.

"Mama pusing deh sama kamu. Punya anak satu, tapi pusingnya ngalah-ngalahin punya anak sepuluh."

"Emang Mama tahu rasanya punya anak sepuluh?"

"Jayden!" Mamanya melotot lagi. Jayden memalingkan muka, memasang tampang seolah tidak tahu apa-apa.

"Sudahlah. Kita bahas itu nanti. Pusing Mama ngobrol sama kamu. Bikin emosi saja."

"Mama kan lagi lapar. Jadi bawaannya emosi terus."

"Nggak lapar juga bawaannya emosi terus kalau sama kamu."

Jayden meringis kecil. "Padahal udah aku temenin belanja." Mengikuti ibunya, menuruni eskalator.

"Jadi ceritanya terpaksa?"

Iya.

"Selalu dengan senang hati mengikuti kemauan Mama mah."

"Halah." Mama mencebik. "Banyak omong kosong kamu. Kalau beneran senang hati harusnya kamu juga dengerin dong kata Mama untuk jangan buat masalah terus di sekolah. Stop ikut balap-balapan, stop gelut-gelutan."

Jayden memilih tidak menjawab. Ketika matanya tanpa sengaja melirik ke satu arah di bawah sana, dia semakin mempertajam penglihatannya.

Sosok perempuan mungil dengan rambut ekor kuda masih menggendong tas sekolahnya yang terlalu Jayden kenali karena terdapat gantungan manik-manik di resletingnya.

Meskipun hanya melihatnya dari belakang, Jayden tahu perempuan itu adalah Asha. Bertanya-tanya, kenapa perempuan itu jalan-jalan sendirian di malam hari seperti ini?

Dan melihat dari tas sekolah yang masih digendongnya, Jayden penasaran apa perempuan itu belum pulang ke rumah?

Mata Jayden mengikuti ke mana Asha pergi. Entah apa yang mendorongnya ingin menghampiri gadis itu. Hanya untuk memastikan Asha tidak benar-benar jalan seorang diri di malam hari seperti ini.

Satu AtapWhere stories live. Discover now