Brad marah besar ketika menemukan putri tirinya mengenakan kostum pemandu sorak SMA-nya. Pakaian itu begitu minim dan tak masuk akal. Brad tentu saja melarangnya meninggalkan rumah dengan berpakaian seperti pelacur. "Keri, kau akan mengganti baju sialan itu atau tetap tinggal di rumah."
Keri terkejut melihat tatapan tajam dalam mata biru ayahnya. Mata indah Brad sebelumnya selalu memancarkan kehangatan padanya. "Daddy?" sahut Keri, berhenti di ujung tangga.
Brad melangkah mendekat dan berdiri di depan Keri dengan tatapan yang lebih tajam. Keningnya yang bertaut menjelaskan kalau dia tidak bercanda. "Berhenti tertawa, Keri. Kembali ke kamarmu dan buang pakaian itu."
Raut Keri berubah, senyumnya yang cerah perlahan lenyap. Dia menyadari kalau Brad saat ini sungguh-sungguh padanya. Tapi apa alasannya? Apakah hanya karena kostum ini ayah tirinya yang seorang family man mendadak menjadi arogan?
Keri tidak mengerti. Tapi dia tetap mengeluarkan suara lembut untuk menghormati Brad. "Daddy, please, ini hanya untuk pesta kostum dan aku sudah dua puluh tahun. Seharusnya tidak masalah kalau aku mengenakan apa saja."
Brad tidak ingin mendengar alasan itu. Tatapannya yang sengit menusuk mata polos Keri. Sebenarnya dia tidak perlu melakukan itu, tubuhnya yang setinggi 189 sentimeter sudah cukup mendominasi. Tapi dia harus melakukannya, dia ingin Keri tahu kalau dia benar-benar marah. "Ketika aku menikahi ibumu, yang kutahu kau adalah gadis yang baik dan aku berniat untuk mempertahankan itu. Aku punya reputasi, Keri. Aku tidak ingin orang lain menganggap putri seorang pelacur."
"Tapi, Daddy, ini hanya kostum," sanggah Keri. "itu tidak akan menjadikanku seperti itu."
Dengan rambut gelap panjangnya yang ditarik ke belakang dan diikat, membuat kerutan di kening Brad terlihat makin jelas. Seandainya rahangnya tidak ditutupi janggut yang indah dan lebat, Keri akan melihat rahang pria itu mengertak. "Berhenti berdebat denganku. Gadis-gadis yang berdandan mengumpan seperti itu, mereka tidak jauh berbeda dari pelacur sungguhan."
Brad maju selangkah lagi hingga dia berjarak hanya beberapa senti dari Keri. Dia hampir terangsang mencium aroma parfum lembut gadis itu. "Kau tidak akan keluar rumah," cetus Brad. telunjuk kanannya nyaris menyentuh alis Keri. "aku bersumpah akan membuang semua barang milikmu jika kau tidak patuh dan pergi begitu saja."
Keri mulai putus asa. Tatapannya bergetar dan mengabur sementara ponselnya terus berdering. Dia ingin mengangkat telepon itu, namun Brad merampasnya lebih dulu. Brad memeriksa ponsel Keri dengan semena-mena dan menemukan alasan dari sikap putri tirinya yang berubah. "David? David yang memintamu mengenakan kostum ini?"
Brad meraih lengan Keri lalu menyeretnya duduk di kursi. Dia mulai menginterogasi Keri tentang pacarnya yang bernama David. Keri menyangkal bahwa dia pergi ke pesta bersamanya. Melihat gadis itu terus melindungi pacarnya, Brad semakin berani dengan pertanyaannya. "Jadi sejak kapan kau berhubungan dengan bocah itu? Katakan padaku, apakah dia sudah mengambil keperawananmu?"
Jantung Keri berdebar keras, lehernya kaku. Dia mencoba menghindari pertanyaan itu tetapi tetap mengklaim bahwa David sangat menyayanginya. "Dia peduli padaku, Dad, dan aku peduli padanya."
Brad kembali berdecak. Dia ingin marah mendengar jawaban itu. "Apakah kau tidak peduli padaku, Keri? Apakah itu yang membuatmu tidak lagi mendengarkan perkataanku karena kau lebih menyayangi pacarmu?"
Keri mendesah, merasa bersalah pada ayah tirinya. "Tidak, Dad. Bukan seperti itu. Aku peduli padamu, dan aku juga peduli padanya."
Untuk beberapa saat, suasana yang berderak di ruang santai menjadi mencekam. Brad tanpa mengeluarkan kata-kata menatap Keri dengan serius. Keri hampir menduga pria itu akan menamparnya, tapi kemudian dia melihat mata ayahnya berkilat, tubuhnya bergerak mendekat, dan tanpa pernah dia duga, ayahnya menyurukkan wajah lalu mencium leher serta bibirnya. Selama beberapa detik, Keri terdiam seperti patung. Dia terkejut dengan apa yang dilakukan ayahnya.