Hwllooo! Siap untuk chapter pertama?
Jangan ketipu sama judul, ngga sedih-sedih amat kok.
Selamat membaca! Beri Wai komen yang buanyak & vote yaw!!
U ´ᴥ' U
Pagi hari itu dimulai dengan damai. Udara terasa segar, makin-makin ketika semalam hujan. Daun-daun bahkan masih basah akan airnya, dan Liano tak bisa lewatkan udara pagi yang sangat sejuk begitu—meski dia belum memakai baju.
Anak dengan kolor berwarna merah itu berlarian ke halaman, buat Bunda mengejarnya dari belakang, "Adek! Heyy! Astaga, pakai baju dulu!"
Tangan Bunda menenteng sepasang baju, warna kuning dengan gambar penguin. Sementara Liano sendiri tertawa-tawa merasakan kakinya menapaki genangan air di halaman. Bunda dibuat mengelus dada, alamak, Liano perlu dibasuh lagi.
Tapi tak ada yang paling melegakan bagi seorang ibu ketika melihat anaknya tertawa senang. Maka untuk sesaat, Bunda biarkan Liano tertawa di atas genangan air di halaman rumah mereka. Sebuah pemandangan yang akan Bunda ingat seumur hidupnya sampai mati.
Ternyata, Liano tak ingin menikmati bahagianya sendiri. Dia tariklah tangan Bunda dan membawa wanita itu melompat-lompat di halaman mereka sambil tertawa. Bunda bahkan menggendongnya dan memutar tubuh mereka, membuat Liano tertawa makin keras.
Bahkan ketika Om Mario berkunjung dan datang di depan pagar, pria itu berdiri kaku dan agak tak percaya melihat sepasang ibu dan anak yang baru saja bermain itu. Tapi tentu saja lagi-lagi Liano tak mau berbahagia sendirian, dia tarik juga adik dari Bunda itu.
Mario menolak, awalnya—bagaimanapun juga dia baru selesai mandi dan mengunjungi sang Kakak demi mengantar sarapan, tapi malah diajak kotor-kotoran.
"Gabung aja, Yo. Kapan lagi kita main kayak gini. Iya kan, adek?" Maria, kakaknya Mario itu menatap ke arah adiknya sambil tertawa, menunggu putranya mengundang Mario ke acara mereka.
Dengan berat hati, Mario menggandeng tangan Liano dan memasuki area halaman rumah kakaknya yang agak luas itu. Semprotan air menyambutnya, rupanya diberi langsung dengan istimewa oleh Maria. Mario dan Liano jadi saling menatap satu sama lain sebelum akhirnya mengangguk dan memberi balasan pada wanita yang sangat mereka cintai itu.
Tawa bahagia ketiganya mengudara di sana. Di bawah langit sejuk dan cerahnya pagi, di naungan hangatnya tawa orang-orang yang disayangi. Mereka berbahagia. Mario tidak pernah luput berdoa semoga bahagianya mereka bertahan selamanya.
Hal yang Mario luput adalah tak ada yang kekal kecuali Yang Kuasa.
Siang harinya, ketika Mario melakukan acara rutinnya mengajak Liano jalan-jalan, kabar terburuk dalam hidupnya malah datang.
"Saya menemukan pemilik ponsel ini sudah bersimbah darah di persimpangan dekat pasar. Sekarang jasadnya sedang dibawa ambulans, masnya bisa segera datang ke rumah sakit?"
Suara itu terdengar sendu. Tapi kalimatnya berhasil menyayat hati Mario, mengiris lubuk hatinya dan membuat waktu berhenti. Mario terdiam sejenak, sampai dia menunduk dan mendapati Liano memakan es krimnya dengan cemong.
Anak itu merasa ditatap, dia mendongak, "Yan telepun capa, Om? Bunda? Bunda tau Nono mam etim?" raut wajahnya berubah jadi terkejut dengan lucu, jika biasanya Mario akan tertawa, kali ini dia malah meneteskan air mata.
"OM TENAPA NANIS?" Liano tak pernah suka Bunda atau Om Bosnya menangis, makanya dia segera memeluk kaki Mario dan mengelus-elusnya.
"Halo? Halo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Papa Bos (temp. paused)
RandomLiano punya om, namanya Om Mario--tapi Liano panggil dengan sebutan Om Mario Bos, yang tanpa disangka-sangka akhirnya dia panggil Papa. Selamat datang di kehidupan Liano, balita yang akhirnya punya Papa dan dikelilingi oleh empat teman Papanya yang...