02. Om, Kok Bunda Nda Ada?

845 142 18
                                    

Haloo!!

Selamat datang di chap kedua dari kisahnya Liano dan si Om. Semoga syukaa!! Bwat nemenin malming ni wkwk

Selamat membaca! Beri vote dan komen yang banyak yaw!!

U ´ᴥ' U

Mario akan mengingat hari ini. 26 Oktober yang penuh duka. Padahal pagi-paginya mereka berbahagia, bermain air bersama, tertawa-tawa seakan esok tak akan tiba--yang nyatanya benar bagi Maria. Helaan nafas berat dikeluarkan pria hampir berkepala dua itu, dia lalu mendudukkan diri di sofa. Kediaman Maria yang sederhana ini nampak sunyi. Kakaknya memang tak menyukai banyak perabotan rumah, makanya dia biarkan lenggang supaya Liano pun bisa berlarian di dalam, tapi nyatanya itu hanya menambah sepi.

Anak yang ditinggalkan terlelap di gendongan Kael, sedangkan pria seumuran Mario itu masih menepuk-nepuk pantatnya perlahan.

"Ka, sini biar gue aja," kata Mario. Dia berdiri guna meraih raganya Liano, Rakael nampak mengantuk dan kelelahan juga.

Pria itu menggeleng, "Gue aja. Lo istirahat geh," katanya. Malah mengusir Mario.

"Sana, Mar. Kalo pun nanti Nono mau susu, gue bisa bikinin," itu suara Rian yang menyahut. Pemuda itu datang dari dapur dengan senampan minuman, dia letakkan itu di meja dan mempersilakan kawanannya yang lain mengambil gelas masing-masing.

Hansen dan Naufal tentu hadir di sana. Menemani Mario dan si Kecil Liano menghadapi hari berat mereka. Biasanya malam-malam begini suara Maria yang cempreng menyuruh anaknya istirahat terdengar, tapi sekarang suara itu hanya berputar dalam memorinya saja. Rian jadi menghela nafas miris.

"Capek gak, Ka?" tanya Rian. Dia mendekati tubuh Rakael supaya pemuda itu gantian duduk. Semua orang tahu kalau sejak persemayaman Bundanya, Liano menangis keras.

Rakael menggeleng sambil tersenyum kecil, "Aman. Lo ngeteh dulu aja, gue nyusul. Badannya Nono anget, gue tidurin di kamar aja ya?"

Mario tersedak kopinya, dia langsung berdiri guna mengecek keadaan keponakannya itu. Hatinya tak bisa tenang, yang dikata Rakael benar adanya. Awalnya Mario hendak menggendong Liano dan membawanya ke kamar, tapi Naufal mendorongnya pelan.

"Lo duduk, tenangin diri dan urus diri lo sendiri dulu. Okey?" kata Naufal. Pemuda itu memegang bahunya Mario dengan tenang.

Mario menghela nafas dan menatap Naufal dengan pandangan sulit diartikan.

"Tentang Nono biar gue sama Nopal yang urus. Nanti kalo Nono bangun, lo harus keliatan oke biar dia ngga makin nanya kenapa omnya keliatan gak baik. Paham, Mar?" itu kata Kael yang akhirnya berjalan lebih dulu ke kamarnya si Kecil Liano.

Naufal tersenyum teduh ke arah Mario lalu menepuk bahunya, "We can thru this together, man."

Lantas Mario merelakan waktunya untuk kembali duduk bersama Rian dan Hansen.

Tangan Hansen dengan jahil mengeluarkan sebatang nikotin dari kotaknya, masih terbungkus apik dengan kertas berwarna emas.

Adegan itu langsung dihadiahi jitakan keras dari Rian, si calon dokter. "Jangan bawa Mario ke jalan sesat punya lo," katanya dihadiahi tatapan tajam.

Hansen malah tertawa, "Biar semua masalah lo terhempas ke udara," tangannya Hansen yang satunya terarah ke udara lepas. Tapi Mario tak berminat, dia menurunkan tangan Hansen itu.

"Lo tau gue, Sen," katanya. Lalu bahu itu bersandar ke sofa.

"Mhn, gue kira lo bakal goyah," Hansen menyalakan sumbu batang nikotinnya, lalu asap mulai menguar dari sana.

Kaki Rian langsung menendang Hansen yang duduk di depannya, "Keluar! Atau besok lo beresin seisi rumah ini?!"

Sambil meringis, Hansen bangun dari duduknya, "Galak lo," dia juga balas menendang kaki Rian lalu berlarian kecil, "gue nyebat dulu."

Om Papa Bos (temp. paused)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang