chapter 11

2.6K 246 22
                                    

Selama sepuluh menit aku memejamkan mata rapat, masih didalam mobil Sagara.

"Nangis itu gak ada salahnya Cha." Suara Sagara mulai terdengar, kurasakan telapak tangan miliknya mengusap belakang kepalaku.

Aku tidak menanggapi perkataan Sagara, lebih memilih menatap keluar jendela mobil.  Menangis sekarangpun tidak akan menyelesaikan masalah.

"Gak baik kalau selalu ditahan." Katanya lagi. Tapi untuk kedua kalinya aku tidak membalas perkataan Sagara.

Isi kepalaku melayang, memutar ulang memori masa remajaku saat ayah masih berada dirumah.

Umurku lima belas tahun. Adik-ku Geva, berumur 9 tahun, Safa berumur, 7 tahun dan Nina berumur 6 tahun. Setiap Sebulan sekali pasti terdengar suara teriakan yang berasal dari mulut kedua orang tuaku. Aku tidak berani memeriksa keadaan diluar. Takut akan melihat ibu yang sedang dipukuli oleh Ayah. Bukan karena aku tidak perduli namun karena aku tidak bisa membiarkan ketiga adik-ku ikut keluar kamar atau mendengar pertengkaran dari kedua orang tuaku.

Tugasku setiap satu bulan sekali adalah membawa adik-adikku untuk masuk ke kamarku, menutup pintunya rapat-rapat. Untuk Safa aku selalu menutup telinganya dengan headphone, memasangkan lagu-lagu yang bisa meredam suara pertengkaran diluar sedangkan untuk Nina biasanya aku membiarkan-nya memainkan ponselku untuk menyetel kartun kesukaan-nya juga dengan Earphone. Sedangkan Geva selalu enggan menutup telinganya, ia lebih suka berbincang denganku, seakan tidak terlalu perduli dengan situasi diluar. Walaupun aku tahu kalau Geva melakukan hal tersebut karena ia tidak mau aku menghadapi semuanya sendiri, dia adik-ku yang cukup pengertian.

Awalnya aku bertanya-tanya kenapa kedua orang tuaku selalu bertengkar, namun setelah kusadari ternyata Ayahku memang problematik. Dia selalu melampiaskan rasa kesalnya yang disebabkan oleh orang lain, kepada Ibu. Ibuku menjadi sasaran empuk baginya. Tak jarang juga kulihat tubuh ibu lebam-lebam, tak jarang juga aku yang mengobati luka-luka tersebut.

Pernah satu kali aku berusaha melawan Ayah. Saat itu adik-adikku sedang berada disekolah dan aku izin tidak masuk karena sedang tidak enak badan. Mendengar pertengkaran Ibu yang kedengaran lumayan hebat aku keluar dari kamar dan aku langsung disuguhkan pemandangan mengerikan.

Ibu sedang terbaring dilantai, dicekik kuat oleh ayah.

Aku yang panik tanpa pikir panjang langsung mengambil vas bunga disana dan memecahkan-nya untuk mengalihkan perhatian ayah.

Tentu saja ayahku melepaskan cekikan-nya dan menatapku dengan penuh keterkejutan.

Dengan langkah tertatih aku mengambil ponsel dan menelefon polisi.

Tahu apa yang terjadi setelahnya? Ayahku merangkul ibuku dengan mesra sambil mengatakan kalau mereka hanya bertengkar biasa didepan sang polisi yang datang kerumah kami, disaat aku sudah berteriak histeris meminta tolong kepada aparat kepolisian disana.

Kulihat ayah mencium kepala ibuku dengan sayang, padahal sebelumnya ia mencekik leher ibu dan bekasnya terpampang jelas dileher Ibu.

Anehnya polisi tersebut seakan tidak terlalu perduli, ia hanya mengangguk angguk dan  mereka meninggalkan kami begitu saja tanpa menindak lanjuti hal ini.

Setelah itu untuk pertama kalinya ibu menampar pipiku dengan kencang. Ia menyalahkanku karena telah memanggil polisi dan ia berkata kalau yang dilakukan ayah itu tidak akan membunuhnya. Dia bilang hidup kami akan hancur bila ayah sampai masuk ke penjara. Walaupun aku tahu kenyataan-nya hidup kami memang sudah hancur, tanpa ayah masuk penjara pun kami memang sudah sengsara.

Mulai dari situ aku tidak perduli lagi dengan mereka berdua dan lebih memilih untuk menangani adik-adikku agar mereka tidak menyaksikan apa yang ku lihat dan kualami.

Superstar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang