BAB II. SAMUDRA & WINDY

5 0 0
                                    

2.6 Pahlawan-nya Mama
Sagara POV
8 tahun kemudian
Kini usiaku telah menginjak 18 tahun. Aku bukan lagi Sagara yang selalu membuntuti papa, namun kini aku telah menjadi pelindung untuk adikku Dhara dan juga Papa serta Mama Windy. Papa dan mama menikah saat usiaku genap 11 tahun, itu berarti 7 tahun silam. Dan baru 5 bulan yang lalu, mama menambah seorang bayi mungil di keluarga kami. Seorang bayi yang lahir dari rahim mama dan yang akan melengkapi keluarga kami, bayi yang nantinya menjadi adikku juga. Kini, aku lengkap memiliki seorang adik perempuan dan seorang adik laki-laki.

Dhara kini juga tumbuh menjadi anak yang cantik dan sangat lembut, seperti didikan mama Windy. Dulu, papa dan aku sangat takut jika adik tumbuh menjadi gadis yang pembangkang karena kurangnya peran ibu. Namun, nyatanya dengan hadirnya mama, semua kekhawatiran kami sirna. Dhara tumbuh menjadi anak yang selalu menebarkan sisi positif, ia memiliki banyak teman dan juga prestasi. Sekarang, Om Aksara dan Om Kalan juga telah menikah dan masing-masing memiliki dua orang anak.
“Mas Gara lagi sibuk? Boleh papa minta tolong?” Papa menghampiriku yang sedang bermain game online melalui ponselku.

“Enggak, Pa. Kenapa?” tanyaku.

“Boleh papa minta tolong kamu buat ke supermarket beli keperluan adek kecil? Papa lagi ada meeting di rumah, kakak Dhara lagi jagain adek sambil nugas,” jelas papa.

“Ini mas keluar sendiri, Pa? Atau sama mama?” tanyaku.

“Sama mama aja ya, mas mau kan?” Tiba-tiba mama muncul di balik punggung papa.

“Okayy!! Mas siap-siap dulu ya, Ma. Oh ya, Pa, mas pinjem mobil ya, biar mama gak kepanasan dan gak kesusahan naik motor, mas.” Aku tersenyum sambil mengedipkan sebelah mataku pada papa.

“Iyaa, boleh. Hati-hati ya, kalau ada apa-apa, segera hubungi papa.”

“Siap, komandan.”

Saat ini aku dan mama sedang mengelilingi supermarket untuk mencari beberapa keperluan rumah dan juga barang-barang adik kecil yang habis. Sebenarnya adikku itu memiliki nama, namun kami nyaman memanggilnya adik kecil. Marvin Putra Samudra, itu adalah nama adikku.
“Sagara!” panggil seseorang. Aku membalikkan badanku, mencari siapa yang memanggilku. Hingga aku menemukan seorang wanita yang sekiranya seumuran dengan mama yang berjalan ke arahku.

“Sagara, anak bunda. Kamu apa kabar?” wanita yang menyebut dirinya ‘bunda’ itu memelukku. Aku sontak mendorongnya menjauh dariku.

“Sagara, kenapa kamu dorong bunda?” wanita itu mencoba kembali mendekatiku.

“Maaf, saya hanya punya seorang mama. Saya tidak memiliki bunda. Anda siapa?” Aku perlahan berjalan mundur hingga tak sengaja menabrak mama.

“Gara, ada apa sayangg?” Mama menatap seseorang yang ada di belakangku.

“Dia ngaku-ngaku kalau dia bunda Gara, Ma. Gara udah bilang kalau Gara cuma punya Mama Windy,” ucapku.

“Maaf, anda siapa ya?” Mama menatap wanita itu yang menatap mama marah.

“Harusnya saya yang nanya gitu, kamu siapa? Kenapa kamu ngaku-ngaku kalau dia adalah anak kamu? Saya yang melahirkan dia, dia adalah anak saya dan suami saya,” ucap wanita itu.

“Siapa nama suami kamu? Papa gak mungkin punya istri seperti kamu,” ucapku.

“Samudra Putra Batara. Kami menikah di New York, 19 tahun lalu. Adik perempuan kamu, dia sekarang sudah besar kan?” Aku menatap wanita itu diam, apa benar yang ia katakan?

“Kamu Diah Ratnasari? Istri dari kak Samudra? Maaf, maksudku, mantan istri dari suamiku? Benar kan? Bagaimana jika kita bicara di luar? Agar lebih santai.”

Disinilah kami sekarang. Di sebuah taman yang cukup sepi, aku duduk di sebelah mama yang berhadapan dengan wanita itu. Situasinya cukup tegang saat ini, bagaimana mama menatap tak suka pada wanita itu, begitu juga sebaliknya.
“Langsung aja, kamu siapanya anak saya? Kenapa kamu bilang kalau Samudra adalah suami kamu dan kenapa anak saya menyebut kamu dengan kata ‘ma’?” Wanita di hadapan kami ini menyilangkan kedua tangannya sambil menatap mama dari atas hingga ke bawah, seolah sedang menilai mama.

“Saya mantan pacar pertama Kak Samudra sekaligus istrinya,” jawab mama santai. Mama terlihat biasa saja saat menghadapi wanita di hadapannya itu.

“Dan juga mama saya. Mama yang merawat dan membesarkan saya dan adik saya dengan penuh kasih sayang. Mama yang selalu ada buat anak-anaknya dan rela mengorbankan segalanya untuk kami. Mama yang menemani proses kami, dari kami tidak bisa menjadi bisa. Mama yang akan selalu menjadi penerang di keluarga kami. Dan yang akan selamanya menjadi kesayangan papa, saya dan kedua adik saya.” Dapat aku lihat bagaimana tatapan terkejut dari wanita itu.

“Enggak!! Sagara saya adalah bunda kamu! Saya yang melahirkan kamu, bagaimana bisa kamu menyebut orang lain dengan sebutan mama? Bagaimana bisa papamu menikahi perempuan seperti dia? Memang apa yang dia berikan hingga papamu menikahinya?”

“Apa maksud kamu ‘perempuan seperti dia’? Apa yang telah mama berikan? Jika yang kamu maksud adalah kebahagiaan, kehidupan, kehangatan, peran istri untuk papa dan peran ibu untuk anak-anaknya, maka sudah jelas terjawab jika mama bisa memberikan itu semua untuk kami. Jika kamu menyebut dirimu sendiri dengan kata ‘bunda’ dan ‘istri papaku’, maka dimana semua peran itu? Apa yang pernah kamu berikan untuk kami? Apa kamu sanggup memberikan semua yang diberikan mama?”

“Sagara, kamu itu anak saya. Kamu akan ikut dengan saya, bukan dengan wanita yang kamu banggakan itu!! Dia hanya akan mengambil harta papa!”

“Jaga ucapanmu!! Saya tidak akan ikut dengan wanita yang telah menelantarkan keluarganya seperti anda.”


Tbc...
Halo!! Selamat Hari Kemerdekaan RI Ke-79! Kalian apa kabar? Ada yang ikut apel? Yang ada kegiatan di weekend ini? Atau yang lagi santai? Semangat menjalani aktivitasnya yaa, jangan lupa makan dan istirahat yang cukup. Have a nice day semuaa><
17 Agustus 2024.

Rumah untuk Sagara dan Dhara Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang