"Hai, perkenalkan namaku Vidi Sena Darmaja. Bisa panggil aku Sena, atau Vidi, terserah kalian. Aku harap bisa jadi bagian dari kelas ini. Kalau ada pertanyaan, silakan, aku senang menjawab," Ucapku berdiri di depan kelas, berusaha terdengar percaya diri meski sedikit gugup.
Sejenak, kelas sunyi, sampai akhirnya ada yang angkat bicara. "Asalnya dari mana?" tanya seorang siswi bernama Bela.
Sebelum sempat menjawab, seorang siswa di belakang menyahut, "Dari Afrika, hahahaha!"
Tawa pun pecah di seluruh kelas. Semua terbahak, kecuali seorang siswi di bangku depan yang terlihat serius, sibuk dengan buku catatannya. ‘Terlalu fokus belajar,’ pikirku.
Aku cuma bisa tersenyum kecut menahan diri. Sebenarnya aku ingin sekali membalas ejekan itu, tapi kurasa bukan saatnya. Ya, kulitku memang lebih gelap, tapi itu bukan karena dari Afrika. Aku cuma sering main ke pantai—itu saja.
"Baik, Vidi, silakan duduk," ucap Bu Hana, wali kelasku, menutup sesi perkenalan.
Aku menuju bangku di tengah kelas, duduk di samping siswi serius tadi. Kami tak satu bangku, hanya berdekatan. Di sebelahku duduk Revi, teman baruku. Sementara siswi serius itu duduk bersebelahan dengan Fitri, sahabatnya.
"Hai, aku Vidi." Aku menjulurkan tangan ke arah Revi, mencoba memulai percakapan.
Revi menyambutnya sambil tersenyum tipis, "Gue Revi."
Setelah duduk, aku memperhatikan sekitar. "Ini pada kemana? Kok kayaknya cuma segini orangnya?" tanyaku pada Revi.
Revi mengangguk sambil membuka tasnya. "Iya, cuma 21 orang, termasuk lo. Namanya juga kelas IPA."
Aku menghitung cepat. "Cowoknya cuma kita aja? empat?"
"Satu lagi ada, tapi gak masuk. Namanya Beno. Yang ngejek lo tadi Yudi," kata Revi sambil mengeluarkan buku dari tasnya.
Lalu,aku melihat pick gitarnya jatuh, yang kemudian ku ambil pick itu. "Gitaris, nih? Aku juga bisa main gitar."
Mata Revi berbinar. "Wah, serius? Band gue lagi cari bassis, mau ikutan gak?"
"Tentu!" jawabku dengan semangat. Dalam hati aku lega—punya teman adalah salah satu kekhawatiran utama setiap kali pindah sekolah. Dan di sini, baru beberapa menit, aku sudah dapat satu!
Pindah sekolah bukan hal baru buatku. Ini sudah ketiga kalinya. Pertama kali saat aku berumur delapan tahun, ketika orang tuaku memutuskan merantau ke Desa ini, Desa Pratama Mandira. Setelah lulus Sekolah Dasar, mereka menyekolahkanku di Sekolah Menengah Pertama di Palembang. Dan sekarang, karena masalah di sekolah lama, Bapak memutuskan aku harus pindah lagi, kembali ke desa ini, biar bisa diawasi langsung sama Ibu. Itulah hari ini, aku kelas 11 di SMA Pratama, di desa kecil di Sumatera Selatan.
Sekolah ini letaknya 28 km dari rumah. Naik motor 40 menit, atau 10 menit kalau kurasa aku bisa terbang di atas awan seperti kakek kura-kura yang naik awan kinton.
*****
Kelas mulai berjalan dengan tenang sampai tiba-tiba siswi di sebelahku, yang tadi diam saja, menoleh dan berkata lirih, “Penggaris.”
Aku menoleh ke bawah dan melihat sebuah penggaris busur berwarna biru tergeletak di bawah mejaku. “Wah, kabur nih penggarisnya. Kebanyakan diajak belajar, kali,” candaku sambil menyerahkannya.
Dia hanya mengambil penggarisnya tanpa berkata apa-apa.
‘Cih, jutek banget,’ batinku.
Beberapa saat kemudian, siswi itu menoleh padaku. "Indy Agustina," katanya datar.
"Oh, hai Indy, salam kenal. Aku Vidi." Aku tersenyum dan mengulurkan tangan. Dia menjabat tanganku, meskipun tetap tanpa ekspresi.
.
.
Tapi tiba-tiba, aku merasa seperti ada yang mengawasi. Bulu kudukku meremang. 'Apa ini kelas angker? Apakah ada arwah penasaran di kelas ini?’ pikirku dalam hati. Kemudian aku memejamkan mata dengan sedikit berdo'a.
.
.
Setelah membuka mata, perlahan aku menoleh ke arah siswi di sebelah Indy, yang kulihat dari tadi menatapku tajam. Dia sahabat Indy.
Siswi itu menatapku dengan pandangan yang seolah berkata, "Jangan macam-macam sama sahabat gue."
‘Yah, setidaknya bukan arwah penasaran,’ pikirku lega, walau tetap merasa terancam.
Aku mencoba mencairkan suasana. "Hai, Vidi Sena... kamu ?"
Fitri tetap diam, tapi Indy menyela, "Namanya Fitri. Dia emang gitu, maaf ya."
Aku mengangguk pelan, memperhatikan Fitri lebih seksama. Wajahnya terlihat familiar, tapi aku tak ingat di mana pernah melihatnya.
*****
Hari pertamaku di sekolah baru ini berlalu dengan cukup menarik. Oh iya, aku tak jadi membalas Yudi, meski sudah ada niat. Bukan karena pengecut, tapi karena aku tahu betapa sulitnya Bapak mengusahakan aku diterima di sini.
Yang pasti, hari ini adalah awal yang tak akan kulupakan.
****
Saya Ahmad Dwiky.. penulis amatir, namun saya ingin menjadi professional. Untuk itu saya butuh support, dari para pembaca untuk comment kesalahan penggunaan kata, diksi, atau lain-lain.Jika kalian suka bantu vote dan follow ya semuanya🙏🙏
Part Ini hanyalah pengenalan, jika anda bosan, buka part berikutnya. Ada banyak hal menarik disana, juga hal berbau comedy, dan masih banyak lagi..
Terimakasih🙏🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
HYTM by SanDwiky
Teen FictionIni bercerita bagaimana aku banyak belajar darimu. Bagaimana mengindahkan perempuan, memiliki rasa secukupnya, belajar percaya, dan juga belajar untuk terus hidup. . Singkatnya begini... Seperti layaknya seseorang yang jatuh cinta pertama kali, kita...