#2 Koloni di belakang layar

3 0 0
                                    

Sebulan yang lalu…

Hari itu adalah kedua kalinya Bapak datang ke SMAS Pratama untuk berusaha agar aku diterima di sekolah ini.

Wakil Kepala Sekolah sekaligus guru matematika, Bu Ebi, membuka berkas milikku. Beliau sering dipanggil Bu Ebi.

"Di lihat Bu, Vidi ini sering mewakili cerdas cermat matematika di sekolahnya, dan dia juga juara LPI (Liga Pelajar Sepakbola Indonesia) di Sumatera Selatan. Kenapa tidak bisa diterima di sekolah ini?" ujar Bapak.

"Iya Bang, tapi yang kita butuhkan itu attitude. Dan setelah saya menelfon sekolah lama Vidi, saya dapat info bahwa Vidi dikeluarkan karena sering tawuran, dan terakhir dia tusuk teman sekelasnya pakai pulpen. Kalau anak yang pintar, kita punya banyak kok di sini, jauh lebih pintar dan pandai daripada Vidi."

"Saya mohon, Bu. Ini satu-satunya harapan saya di desa ini. Atau bolehkah saya bawa Vidi ke sini, supaya Ibu bisa lihat dan bicara sendiri dengan anaknya?"

"Hehh… (menghela nafas) Yaudah Pak, besok ya Pak sebelum jam makan siang," jawab Bu Ebi.

"Terima kasih, Bu."

*****

Keesokan harinya

"Oh, kamu Vidi," kata Bu Ebi.

Beliau berdiri dari kursinya, memutari badanku dengan sedikit membuka kacamatanya. Sepertinya beliau mencoba membaca diriku.

"Iya Bu, saya Vidi Sena Darmaja, Bu."

"Oke, silakan duduk, Vidi dan Abang," kata Bu Ebi.

"Hah, Abang?" gumamku kecil sambil melirik ke arah Bapak.

Bapak membalas lirikan itu dengan anggukan kecil dan senyum licik, seolah berkata "biarin aja dan kemudian duduk."

"Gimana Bu, Vidi anak baik kan Bu?" tanya Bapak.

"Iya sih, tidak terlihat bandel dan nakal. Tapi, kamu kenapa di sekolah lama tusuk teman kamu pakai pulpen?" tanya Bu Ebi.

"Darah mu-d-da Bu..."

"Bang, saya tanya Vidi aja," Bu Ebi menyela kata-kata Bapak.

"Awalnya saya dikeroyok, Bu. Makanya saya melakukan apa saja yang bisa. Saya juga jatuh pingsan, jadi saya tidak terlalu ingat," jawabku.

"Sebenarnya Vidi ini hanya kambing hitam, Bu. Pelakunya belum tentu Vidi. Lihat aja anaknya, Bu, kalem kan?" sahut Bapak.

"Baiklah, kalau memang begitu, kamu bisa sekolah di sini. Tapi kamu harus berjanji, jangan buat kepercayaan Ibu berubah terhadap kamu. Besok, silakan bawa Ayah atau Ibu kamu ke sini untuk menyelesaikan administrasi pendaftaran… Oke, Vidi?" kata Bu Ebi.

"Baik Bu, tapi ini Ayah saya, Bu," tunjukku ke arah Bapak.

Bu Ebi membuka kacamatanya, "I-itu benar Ayah kamu? Masih muda sekali, saya kira kakak kamu."

Aku hampir tidak bisa menahan tawa. Namun, Bapak mencubit pahaku dengan keras, membuatku diam seketika.

Bapak memang berwajah lebih muda, padahal umurnya sudah 43 tahun saat itu.

"Iya Bu, saya Ayah kandung Vidi," kata Bapak dengan senyuman kecil.

"Oh baik Pak, saya minta maaf. Silakan isi formulirnya," kata Bu Ebi.

*****

Setelah menyelesaikan proses pendaftaran, kami pun pulang menggunakan motor baruku

"Yah, tidak jadi dipanggil Abang deh, hahahaha," ledekku kepada Bapak.

HYTM by SanDwikyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang