Indy Agustina, lahir di Yogyakarta, 29 Agustus 1999. Tingginya sekitar 150 sentimeter atau seketiakku, dia selalu membawa tas hijau besar di punggungnya, lengkap dengan boneka Keroppi yang bergantung. Kalau melihatnya dari belakang, kadang aku pikir, tas itu bisa muat seisi perpus.
Rumahnya hanya berjarak 200 meter dari sekolah, anak tunggal dari keluarga kaya. Ayahnya seorang manajer terkenal di desa ini, sementara ibunya wanita karir yang sibuk.
Cita-citanya mulia, ingin jadi dokter dan diterima di Universitas Gadjah Mada. Hal itu yang membuatnya bersikeras untuk tidak pacaran. "Mengganggu fokus belajar," katanya. Logis sih, tapi aku selalu merasa... cinta di SMA itu semacam eksperimen bebas. Bebas merasakan suka, tanpa perlu memikirkan hierarki sosial atau status keluarga. Yah, itulah yang aku pikirkan.
******
Pagi itu, aku datang ke sekolah lebih awal dari biasanya. Setibanya di depan kelas, aku ketemu Fitri. "Fit, udah makan belum?" tanyaku, walau aku tahu, itu pertanyaan klise. Fitri cuma menatapku malas sambil memutar bola matanya.
"Brak! Brak!" Suara kursi berjatuhan dari dalam kelas membuatku dan Fitri spontan saling bertukar pandang.
“Siapa tuh?” tanyaku penasaran.
“Itu si Beno yang dipukuli kak Alan,” jawab Fitri sambil mengintip dari jendela.
"Kenapa enggak ada yang bantu?" gumamku, heran melihat teman sekelas cuma diam.
.
.
.
"Mau masuk?" Tanyaku kepada Fitri.
"Menurutmu?" Fitri menjawab sambil mengerutkan dahinya.
Aku menarik napas panjang, lalu menerobos kakak kelas yang menghadang. Mungkin aku gila. Setelah berhasil masuk, aku melihat Beno, wajahnya memar. Aku langsung merapikan kursi dan duduk tepat di depan mereka.
"Oi bang, kalau emang mau berantem tuh diluar. Pengen banget apa dilihat keren?" Kataku kemudian.
Tak ada jawaban dari kedua kakak kelas tadi. Mereka cuma melirik aku sejenak sebelum menarik Beno ke arah toilet dengan gaya yang kurang ajar. Aku berdiri, siap mengikuti mereka, tapi baru mau melangkah...
"Hei, ada apa ini?!" Bu Ebi muncul tiba-tiba seperti pahlawan dari langit, melerai mereka dengan tatapan tegas.
Syukurlah aku belum terlibat banyak dalam keributan ini. Kalau tidak, bisa-bisa Bu Ebi hilang kepercayaan padaku, dan itu sama dengan menghancurkan masa depan sekolah baruku!
Usai keributan, Fitri bercerita dengan gaya khas gosipnya. "Katanya, Beno sering godain pacar kak Alan," ucapnya penuh percaya diri.
"Kamu dong Din?" aku celetuk, bikin semua orang melongo.
Fitri segera menghantam bahuku dengan keras. “Aduh, kenapa sih!” teriakku sambil memegangi pundak yang kini terasa lebih sakit dari sebelumnya.
.
.
“Dini sama Kak Alan udah putus, dan pacar yang dimaksud Dini itu anak IPS. Jadi, lo nggak kenal,” bisik Fitri dengan wajah serius, sambil menatapku dengan tatapan yang mengerikan.
“Jadi itu alasan Beno nggak masuk sekolah hampir lima minggu? Kenapa dia tiba-tiba muncul hari ini?” tanyaku, sedikit bingung.
“Kalau dia bolos lagi hari ini, dia nggak naik kelas. Udah deh, jangan banyak nanya,” ucap Fitri, senyum liciknya bikin aku merinding.
“Glekk...” Aku menelan ludah, merasa lebih baik bertarung melawan dua kakak kelas tadi daripada harus menghadapi senyum mengerikan Fitri. “Oke, Fit, makasih penjelasannya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
HYTM by SanDwiky
Teen FictionIni bercerita bagaimana aku banyak belajar darimu. Bagaimana mengindahkan perempuan, memiliki rasa secukupnya, belajar percaya, dan juga belajar untuk terus hidup. . Singkatnya begini... Seperti layaknya seseorang yang jatuh cinta pertama kali, kita...