Ayam gosong

12 3 0
                                    

Di sisi lain, seorang laki-laki sedang menikmati sarapannya. Dihadapannya terhidang berbagai macam makanan, tidak terkecuali ayam gosong yang dibuat oleh bundanya. Ia duduk di meja makan hanya berdua dengan sang bunda, sang ayah sudah pergi entah kemana sejak ia masih balita.

"Kok bisa gosong sih bun? " tanya Nathala

"Bunda lupa kecilin api kompor kak, jadi gosong deh tuh ayam"

"Untung masih enak buat dimakan" Kata Nathala sembari menyuap makanan yang sudah ia ambil.

"Siapa dulu yang masak, bunda gitu"

Nathala terkekeh. Walau hanya tinggal berdua dengan sang bunda, Nathala tetap bisa merasakan kehangatan rumahnya itu. Tak kala ada masa di mana ia merindukan kehadiran sang ayah.

"Bunda, ayah tuh pergi kemana sih? " Nathala menyeletuk, bunda yang mendengar pertanyaan Nathala hampir tersedak jika ia tidak segera berhenti menyuapkan makanan itu ke dalam mulutnya.

"Kenapa tanya gitu? " tanya bunda, merasa heran mengapa putra semata wayang nya ini bertanya tentang ayahnya.

"Mau tau aja sih bun, ayah kan engga pernah balik lagi setelah dia merantau" kata Nathala.

"Anak bunda udah cukup dewasa ya? Mau bunda ceritain? "

"Boleh? " tanya Nathala kepada sang bunda, ia sangat menunggu momen ini. Karena akhirnya ia bisa mengetahui apa alasan sang ayah pergi begitu saja dari kehidupannya.

Bunda mengangguk, lalu tersenyum lembut, "Boleh dong, dengerin ya"

"tapi setelah ini kakak jangan benci ayah ya? janji ke bunda. " Nathala mengangguk.

"waktu itu, bunda dan ayah bertengkar hebat kak. Bunda larang ayah untuk merantau, tapi ayah tetap pergi." Perkataan bunda terhenti sejenak dikala terasa aliran air yang turun dari mata kirinya.

"Bunda, are you okay? kalo bunda ga kuat cerita, ga usah dipaksa bun" Melihat air mata yang mengalir di pipi sang bunda, Nathala khawatir. Tapi bunda bersikeras untuk melanjutkan cerita itu. "gapapa kak, bunda lanjut ya"

ingatan bunda kembali kepada masa masa pertikaian itu, dimana ayah dan dirinya bertengkar cukup parah.

"𝘮𝘢𝘶 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘢𝘱𝘢, 𝘈𝘮𝘰𝘳𝘢? 𝘢𝘬𝘶 𝘤𝘶𝘮𝘢 𝘮𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘯𝘵𝘢𝘶!" 𝘭𝘢𝘬𝘪-𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘣𝘦𝘳𝘶𝘮𝘶𝘳 𝘵𝘪𝘨𝘢 𝘱𝘶𝘭𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘯𝘵𝘢𝘬 𝘤𝘶𝘬𝘶𝘱 𝘬𝘦𝘳𝘢𝘴. 𝘉𝘦𝘯𝘵𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘵𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘈𝘮𝘰𝘳𝘢 (𝘣𝘶𝘯𝘥𝘢) 𝘵𝘦𝘳𝘴𝘦𝘯𝘵𝘢𝘬.

𝘱𝘦𝘳𝘭𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘢𝘪𝘳 𝘮𝘢𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘭𝘪𝘳 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘮𝘢𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘵𝘶𝘳𝘶𝘯 𝘮𝘦𝘭𝘦𝘸𝘢𝘵𝘪 𝘱𝘪𝘱𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘢𝘵𝘶𝘩 𝘬𝘦 𝘭𝘢𝘯𝘵𝘢𝘪. "𝘢𝘬𝘶 𝘵𝘢𝘶 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘤𝘶𝘮𝘢 𝘮𝘢𝘶 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘯𝘵𝘢𝘶 𝘥𝘦𝘮𝘪 𝘱𝘦𝘬𝘦𝘳𝘫𝘢𝘢𝘯, 𝘵𝘢𝘱𝘪 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘦𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘕𝘢𝘵𝘩𝘢𝘭𝘢? 𝘥𝘪𝘢 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘬𝘦𝘤𝘪𝘭, 𝘙𝘢𝘮!"

𝘙𝘢𝘮𝘢, 𝘯𝘢𝘮𝘢 𝘭𝘢𝘬𝘪-𝘭𝘢𝘬𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘪𝘯𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘵𝘢𝘱 𝘈𝘮𝘰𝘳𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘵𝘢𝘱𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘶𝘩 𝘢𝘮𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘬𝘦𝘴𝘢𝘭𝘢𝘯. "𝘣𝘦𝘳𝘢𝘯𝘪 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘱𝘢𝘯𝘨𝘨𝘪𝘭 𝘯𝘢𝘮𝘢𝘬𝘶, 𝘙𝘢? 𝘬𝘦𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘱𝘢𝘯𝘨𝘨𝘪𝘭𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘴 𝘪𝘵𝘶? 𝘥𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘕𝘢𝘵𝘩𝘢𝘭𝘢, 𝘥𝘪𝘢 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 5 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯." 𝘙𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘦𝘯𝘨𝘶𝘴, 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘵𝘶𝘴 "𝘢𝘯𝘢𝘬 𝘪𝘵𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘮𝘢𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪."

"𝘢𝘬𝘶 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪, 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘤𝘢𝘳𝘪 𝘢𝘬𝘶, 𝘈𝘮𝘰𝘳𝘢."

𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘦𝘳𝘬𝘢𝘵𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘪𝘵𝘶, 𝘙𝘢𝘮𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘮𝘢𝘴𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘶𝘳𝘶𝘩 𝘣𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘪𝘭𝘪𝘬𝘯𝘺𝘢. 𝘚𝘦𝘨𝘦𝘳𝘢 𝘪𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘩𝘦𝘯𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘢𝘬𝘴𝘪 𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘱𝘦𝘳𝘨𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭𝘬𝘢𝘯 𝘳𝘶𝘮𝘢𝘩 𝘴𝘦𝘳𝘵𝘢 𝘈𝘮𝘰𝘳𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘥𝘶𝘥𝘶𝘬 𝘥𝘪 𝘭𝘢𝘯𝘵𝘢𝘪 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘢𝘪𝘳 𝘮𝘢𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘭𝘪𝘳 𝘥𝘦𝘳𝘢𝘴 𝘥𝘪 𝘱𝘪𝘱𝘪𝘯𝘺𝘢.

Nathala tersentak "bunda, bunda jangan paksain untuk cerita ya? Kakak engga mau lihat bunda nangis, maaf bunda" Nathala menarik bunda ke pelukannya dan memeluk erat sang bunda.

Bunda hanya bisa terisak karena mengingat kejadian masa itu. Bunda menoleh, "maaf ya kak, bunda kira bunda kuat untuk cerita. Nyatanya hati bunda masih sesak sekali saat mengingat kejadian itu"

"it's okay bunda, maaf kakak buat bunda mengingat kejadian itu lagi" Nathala menenggelamkan wajahnya di pundak sang bunda. Bunda tersenyum kecil, mengelus rambut anak laki-laki semata wayangnya.

"jangan pernah benci ayahmu ya, kak? bunda mohon" matanya yang sembab dan merah akibat menangis menatap sendu ke arah Nathala. Nathala mengangguk, dan tersenyum "engga akan, bunda"

Jam telah menunjukkan pukul 19.45 malam. Nathala pamit kepada bundanya untuk kembali ke kamar, "bunda, kakak mau ke kamar ya bun, mau ngerjain tugas" Bunda menengok, lalu mengangguk "iya kak, jangan tidur terlalu malam ya" Nathala mengangkat tangannya dan menunjukkan jempol untuk mengisyaratkan 'oke'.

Sesampainya dikamar, Nathala duduk di tepi kasur dan menatap bingkai foto di atas meja belajar miliknya. Ia berdiri lalu berjalan ke arah meja belajar tersebut, memperhatikan beberapa foto yang tertata rapi di dalam bingkai tersebut. Itu foto saat Nathala masih balita, di foto itu ayah dan bunda berfoto di tepi bukit, dengan Nathala yang di gendong oleh sang bunda. Nathala tersenyum saat mengingat kejadian tersebut.

Namun, senyuman itu mendadak hilang. Karena Nathala teringat sehari setelah foto bersama itu, sang ayah pamit merantau dan tidak pernah kembali hingga saat ini. Ia berdecak, "ayah, ga kangen sama bunda dan kakak? Kakak kangen" Air mata miliknya mulai turun, tapi dengan sigap, Nathala langsung menghapus air matanya.

"Gua ga boleh cengeng, cukup usahain beasiswa itu, dan gua bisa kuliah sekalian nyari ayah disana" Nathala melupakan tentang foto itu, dan mulai fokus kepada tugas-tugas sekolah miliknya.





to be continue

They're my homeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang