[20] Selamat tinggal

55 3 0
                                    

Mobil milik Kak Rai sudah meninggalkan halaman rumah Ayah, bersamaan dengan itu air mataku tumpah begitu saja. Aku tidak bisa menahannya lagi, semua tidak mudah, tetapi untuk dipertahankan pun rasanya sulit. Aku tidak bisa terus bersama dengan Kak Rai dalam pernikahan rumit ini.

Ayah menyambutku dengan wajah yang tampak sendu. Mungkin jauh di lubuk hatinya, Ayah tetap merasa bersalah sebab melepaskan aku—anak satu-satunya—untuk menikah muda.

Meski, sudah kukatakan semua yang terjadi bukan kesalahannya. Benar, Ayah sudah mengetahui semuanya. Beberapa hari lalu, aku akhirnya mengatakan semua perihal pernikahanku dengan Kak Rai.

Ayah terkejut, marah dan kecewa. Tetapi, aku terus meyakinkan Ayah tentang semua yang terjadi adalah jalan dan garis yang Tuhan berikan pada kehidupanku. Setelah Ayah tahu, berulang kali Ayah katakan agar aku segera melepaskan Kak Rai.

Ayah bilang, tidak masalah jika aku harus kembali bersama dengannya. Tidak masalah jika kami kembali tinggal berdua seperti sebelumnya, yang terpenting aku tidak berada di antara Kak Rai dan istri pertamanya.

“Ayah minta maaf, Luna.”

Aku tersenyum seraya menggeleng, “Ayah nggak perlu minta maaf sama Luna. Berapa kali sih, Luna bilang sama Ayah kalau semua ini udah jadi warna di hidup Luna. Anggap sebagai pelajaran agar hidup Luna lebih baik lagi, jadi Ayah nggak perlu merasa bersalah.”

Ayah mendekat, lalu menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Hangat tubuh Ayah membuatku merasa nyaman, sama seperti dulu saat aku kecil.

Dalam pelukannya, aku merasa perlindungan serta kasih sayang yang luar biasa. Aku tetap gadis kecilnya dan Ayah tetap pahlawan untukku sampai kapan pun.

“Anak Ayah udah dewasa, maaf kalau selama ini Ayah belum membuat kamu bahagia. Maaf karena Ayah menyetujui pernikahan kamu sama Raihan. Maaf karena Ayah membuat kamu terluka menjalani pernikahan bersama Raihan.”

Tangisku pecah, aku memeluk Ayah sangat erat. Tidak bisa aku pungkiri semua memang menyakitkan, sebab aku sudah menjatuhkan hati padanya. Aku terlanjur jatuh cinta padanya. Berulang kali rasa sakit ini menggerogoti hatiku, perasaan yang aku miliki nyatanya tidak pernah memudar. Aku mencintai Kak Rai.

“Ayah, Luna juga minta maaf. Karena nggak menjaga pernikahan yang harusnya hanya Luna lakukan sekali dalam seumur hidup Luna. Maaf kalau selama ini Aluna menyakiti hati Ayah.”

Pelukan kami merenggang. Tangan Ayah terangkat, jari-jarinya perlahan menghapus air mata yang sudah membasahi hampir seluruh pipiku.

Ayah tersenyum, memberikanku kekuatan untuk bangkit dari rasa sakit dan kecewa akan kehidupanku.

“Semua baik-baik aja. Kamu akan selalu menjadi anak kebanggaan Ayah dan menjadi gadis kecil Ayah. Makasih karena anaknya ayah ini udah berjuang dan dewasa dalam menjalani semuanya. Kamu masih punya mimpi dan cita-cita yang bisa kamu capai, Ayah akan selalu mendukung kamu.”

Aku tersenyum. Ayah benar, aku masih memiliki mimpi dan juga cita-cita yang bisa aku capai. Apa yang terjadi pada kehidupanku hanya sebuah ujian kecil yang diberikan oleh Tuhan agar aku bisa bersyukur dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Masalah yang terjadi sekarang tidak lantas membuat hidupku berhenti begitu saja, aku masih punya Ayah yang mendukungku sampai sejauh ini.

**

“Aluna!!!”

Aku menoleh mendapati Gita yang tampak berlari menghampiriku. Kebiasaan dia memang selalu terlambat dan terburu-buru. Padahal aku sudah mengatakan padanya untuk jangan sampai terlambat.

“Untung nggak terlambat.”

“Sebentar lagi kalau kamu nggak datang, kamu nggak akan ketemu sama aku. Nanti jadi kangen,” ucapku sedikit menggodanya. Gita tampak cemberut yang membuatku tertawa pelan sebab raut wajahnya yang lucu.

“Jangan gitu dong, tega banget lo sama sahabat sendiri,” katanya. Lalu dia tampak mencari-cari seseorang, “Ayah lo mana?”

“Ayah lagi ke toilet.”

Gita mengangguk, “Lo beneran udah yakin sama semuanya?”

Aku menoleh menatap Gita yang juga tampak menatapku penuh keseriusan. Pertanyaan yang dia lontarkan sebenarnya bukan hanya saat ini saja. Tetapi, sudah dia katakan sejak semalam saat kami mengobrol lewat telepon.

Setelah menghabiskan waktu dengan Ayah, aku juga memberitahu Gita dan menceritakan semuanya. Termasuk memberitahu keputusan yang akhirnya aku ambil dan membuatku berada di sini sekarang.

“Nggak usah bikin aku berpikir lagi, Ta. Aku udah serius dan semoga ini yang terbaik buat aku sama dia.” Gita mengembuskan napas pelan seraya mengangguk. Dia tidak mengatakan apa pun lagi sampai akhirnya Ayah kembali bergabung dengan kami.

“Sudah siap?” Kali ini wajah Ayah tidak sendu, malah tampak tenang seakan apa yang terjadi semalam hanya mimpi sesaat.

Mungkin karena kami sudah banyak bercerita dan menghabiskan waktu berdua, yang sudah jarang bahkan hampir tidak pernah lagi aku dan Ayah lakukan setelah aku menikah.

“Sudah, Ayah.”

“Kalau sudah sampai, jangan lupa kasih kabar sama Ayah.”

“Sama gue juga. Pokoknya kalau ada apa-apa dan butuh sesuatu lo harus kasih tahu gue juga, Lun. Sebagai sahabat lo, gue menjadi garda terdepan,” timpal Gita penuh semangat.

“Iya, aku pasti kasih kabar sama kamu juga.”

“Nggak ada yang ketinggalan, kan?” tanya Ayah memastikan barang-barang yang aku bawa tidak ada yang tertinggal.

Aku menggeleng, “Udah Luna cek dari semalam, semuanya udah beres.”

“Kalau gitu hati-hati ya, Nak.”

“Gue antar sampai depan pintu masuk kereta ya, Lun.”

Aku mengangguk lalu kembali menatap Ayah. Perlahan aku mendekat dan memeluk Ayah yang sudah melebarkan tangannya menyambutku. Keputusan yang aku ambil adalah pergi dari kehidupan Kak Rai. Bukan untuk selamanya, mungkin untuk beberapa waktu.

Aku butuh memikirkan semuanya, butuh waktu sendiri dan menjaga jarak dari Kak Rai. Bukan melarikan diri dari tugas sebagai istri, aku hanya perlu waktu untuk kembali masuk ke dalam hubungan rumit itu.

Aku butuh waktu untuk memperbaiki hatiku, meyakinkan perasaanku atas semuanya.
Kak Rai bilang aku bisa mengambil waktuku sendiri dan ini yang aku putuskan.

Tidak hanya pulang ke rumah Ayah, melainkan mengambil waktu agar aku tidak berada di kota yang sama, yang memungkinkan aku bertemu dengan Kak Rai.

Selamat tinggal Kak Rai, maaf karena aku masih belum bisa menjadi istri yang baik untukmu.

Menikah Itu Mudah? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang