Makan malam kali ini amat tenang, bahkan terkesan hening. Hanya dentingan sendok dan piring juga suara kunyah yang mengisi senyap dalam ruangan.
Tidak ada obrolan, bahkan gumaman atau dehaman yang seharusnya keluar. Benar-benar sepi.
Situasi ini ... terlalu canggung bagi Sakura.
Makan malam untuk kali pertama setelah menikah, berdua saja, di ruang makan, dengan makanan sisa prasmanan yang sehabis Magrib tadi diantar oleh kakak iparnya, Itachi Uchiha, benar-benar membuat Sakura yakin sekali bahwa Sasuke bukanlah orang yang bisa dianggap enteng.
Lihat saja, pria itu makan dengan tenang. Gayanya yang elegan dan caranya menatap makanannya sendiri kemudian memandang ke arahnya saat mengunyah makanan sukses menciptakan debaran halus yang membuat Sakura kurang nyaman.
Sakura yakin, Sasuke pasti bukan orang kampungan.
Ya, mungkin pria itu memang sedikit medhok dan gaya bicara berlogat Jawanya masih cukup kental. Sangat wajar mengingat dia tinggal sejak kecil dan besar di sana. Tetapi yang Sakura lihat dari bagaimana segala perilaku yang Sasuke lakukan malah lebih elite dari orang kaya di daerah rumahnya di perbatasan Kota Tangerang dan Jakarta Selatan. Memang benar pria itu adalah anak bungsu pemilik Uchi-Mall, tapi Sakura tak pernah membayangkan bahwa Sasuke bisa sekeren ini.
"Kenapa? Makanannya udah nggak enak?"
Suara tersebut menginterupsi lamunannya. Sakura terkesiap, lantas berdeham lalu mulai makan kembali setelah menjawab. "Nggak, gak apa-apa, kok. Masih enak. Sisanya buat besok juga pasti masih enak, taruh di kulkas terus nanti dihangatin."
Sasuke mengangguk, "Hm."
Saat keduanya selesai, dan ketika Sasuke akan mengambil piring bekas makan Sakura, dia langsung menahan lengan pria itu, dan berkata, "Aku aja,"
"Kita harus bagi tugas, kan? Tadi kamu yang siapin makanan dan semuanya. Sekarang gantian," tukas Sasuke, lembut.
Sakura balas tersenyum, entah mengapa tak ingin menatap wajah suaminya dan hanya mengambil piring bekas pria itu yang ada di tangannya lalu pergi ke wastafel sambil berujar. "Iya. Tapi untuk kali ini biar aku aja. Ini aku yang mau, kan?"
Sasuke terkekeh dan membiarkan istrinya mengambil pekerjaan tanpa berkomentar apa-apa lagi, ia segera pergi ke ruangan kerjanya tadi setelah izin untuk pergi.
Ketika Sasuke pergi, Sakura langsung membuang napas kasar dan merutuk.
"Gila! Bisa gila gua kayak gini!" Dia mengusap wajahnya dengan lengan dan geleng-geleng kepala. "Nggak bisa nih, gua butuh cerita! Gua butuh saran ...."
Segera setelah membersihkan peralatan makan yang kotor dan membereskan meja, Sakura langsung pergi ke luar, mencari tas selempangnya dan mengambil ponsel lalu kembali lagi ke dapur. Ini adalah satu-satunya ruang yang jauh dari ruangan di mana Sasuke berada. Ia pikir, lebih baik di sini daripada ambil risiko ketahuan sedang ghibah dengan teman-temannya di kamar jika tiba-tiba Sasuke keluar dari ruangannya.
Sakura melakukan panggilan video, orang pertama yang menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan kekesalan serta perasaan tidak nyamannya adalah Tenten. Untungnya, gadis bersurai cokelat itu mengangkat panggilan tak lama setelah bunyi bernada tut mengudara.
"Wey ... penganten baru ... ada apa nich?" Suara Tenten terdengar begitu menyebalkan di pendengarannya. Apalagi wajah temannya itu tampak sekali tengah meledek. Sakura membuat raut masam.
"Ten, gua gak tau lagi mesti gimana. Sasuke bener-bener gila. Aarghh...."
Tenten di sana mengangkat sebelah alis, skeptis. "Kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Impromptu
Fanfiction{SasuSaku Fanfiction} Semuanya baik-baik saja, bahkan seminggu di kampung halaman Tenten terasa menyenangkan bagi Sakura. Namun, di hari ke delapan, tepat ketika ia tidak tahu arah mana jalan yang harus dituju ke rumah, ia menemukan sesuatu yang men...