Bab 7

24 3 0
                                    

Mataku terbuka, merasakan kepalaku yang berat dan badanku yang terasa lemas. Sedetik kemudian aku langsung terkejut, mataku nanar mengitari ruangan kamar yang familiar namun begitu asing. Serta merta aku menegakkan tubuhku, meskipun usaha reflekku ini menyebabkan kepalaku langsung berdenyut dengan hebat. Kepalaku menunduk, memeriksa apakah aku berpakaian atau tidak. Aman. Hanya saja aku hanya mengenakan stelan baju tidur yang membuatku terkejut. Baju tidur ini punyaku, hanya saja aku sudah tidak menyimpannya di dalam lemari pakaianku. Rupanya benda ini masih tertinggal di tempat ini.

Astaga! Ternyata semalam aku tidak sedang bermimpi. Aku pikir kedatangan Reinard di clubbing tadi malam hanyalah efek dari alcohol yang aku minum lalu selanjutnya aku hanya bermimpi. Namun ternyata aku memang benar-benar dibawanya ke apartement kami—dulu. Dan dia juga mengganti pakaianku.

Aneh sekali, kenapa Reinard bisa tau aku sedang bersama Reza semalam. Apakah ada yang memberitahunya?

Sebentar....

Reza.....

Shit! Dasar berandal gila! Jika benar itu ulah Reza, sejak kapan ia sedekat itu dengan Reinard?

Aku menoleh kiri-kanan, mencari dimana ponselku berada. Aku harus membuat perhitungan dengan pria itu karena sudah membuatku terjebak di dalam apartement ini bersama dengan mantan suamiku.

Aku mendengar suara air di kamar mandi, Reinard pasti sedang membersihkan diri. Dengan langkah pelan, aku beranjak dari kasur lalu keluar dari kamar sambil mencari-cari nomor Reza di kontak teleponku.

"Halo Julia......" sapanya tanpa dosa ketika teleponku diangkat.

"Sialan! Kenapa gue jadi berada di apartement Reinard?!" aku berkacak pinggang dengan kesal. Sementara mataku kembali mengitari seluruh ruangan. Tidak ada yang berbeda dari apartement ini semenjak ku tinggalkan. Semua perabot masih tersusun sama, hanya saja aku tidak tidak menemukan foto pernikahan kami. mungkin Reinard sudah membuangnya.

Reza terbahak. "Gimana semalam sama Reinard? Apa terjadi pertempuran yang maha dahsyat!"

"Gila!" teriakku tertahan. Mendengar pertanyaan Reza, tiba-tiba secuil ingatanku tentang kejadian semalam muncul, apalagi saat kulihat sepatuku yang berada di depan sofa. Astaga! Aku memang tidak sedang bermimpi. Apa yang harus ku katakan di depan Reinard nanti? Minta maaf? Atau pura-pura tidak ingat?

Ya....aku harus pura-pura tidak mengingat apapun.

"Lo kan yang ngasih tau Reinard kalau gue lagi sama lo?!"

"Ho'oh..."

"Kenapaaa???!" aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Frustasi lebih tepatnya. "Sejak kapan sih lo sedeket itu sama dia?"

"Ya semenjak lo enggak ada di Indo. Beberapa kali kami terlibat bisnis bareng gitu." Sahur Reza santai. "Sebenernya semalem sih Cuma gue suruh dateng aja. Eh enggak taunya lo mabuk, ya sekalian gue suruh bawa pulang lo."

"Rez, lo nggak tau posisi gue sama dia itu sekarang apa?"

"Taulah. Mantan pasutri kan? Tapi coba deh Jul lo pikir, takdir lo sama dia itu belum usai. Buktinya, lo langsung ketemu sama dia setelah balik kesini. Mungkin Tuhan pengen memberi kesempatan kalian buat kembali sama-sama." Terang Reza bersamaan dengan Reinard yang muncul dari dalam kamar. Kami sempat beradu pandang sebentar sebelum akhirnya aku yang lebih dulu membuang pandang ke tempat lain.

"Ya udah, nanti gue telepon." Aku langsung mematikan teleponku.

"Udah bangun Jul?" Tanya Reinard santai. Ia mengenakan stelan kaos dan celana jogger berwarna hitam dengan rambut basah. Senyumnya terarah padaku, dan aku langsung mundur selangkah. Waktunya tidak tepat, aku tiba-tiba teringat bagaimana semalam aku melumat bibir itu dengan begitu rakus.

Aku berdehem. "Kenapa lo bawa gue kesini?" tanyaku setelah berhasil mengontrol denyut jantungku.

"Terus mau aku bawa kemana?"

"Ya pulanglah. Kamu kan tau alamat rumah aku."

"Jarak clubbing ke rumah kamu jauh Jul. Kamu mabuknya sambil ngereog gitu mana bisa aku nyetir jauh-jauh."

"Ngereog gimana?" sungguh aku tidak ingat kejadian di dalam mobil. mungkin aku teriak-teriak sambil melakukan aksi tak lazim lainnya.

"Terus kenapa aku ganti baju? Dan kenapa kamu masih nyimpen bajuku ini?!"

"Kamu muntah. Enggak inget?" Reinard berjalan mendekatiku. "Dan baju itu memang ada di dalam lemari, aku enggak berani buang."

Pipiku langsung memerah. Bisa-bisanya jantungku berpacu dengan cepat dalam kondisi yang tidak tepat seperti ini.

"Oh ya sudah, aku mau pulang." Aku berbalik.

" Tunggu." Reinard mencekal tanganku dan menariknya agar kembali menghadap ke arahnya.

"Aku mau pulang ih!"

"Aku udah bilang sama mama-papa kalau kamu nginep disini."

Mataku langsung membola.

"Hah?"

"Mereka bilang oke. Enggak masalah...."

Aku speechless. Apa sebenarnya yang terjadi dengan kedua orangtuaku, sampai mereka mempercayakan sepenuhnya diriku pada mantan menantunya tersebut.

"Jadi sarapan dulu disini." Reinard melepaskan tangannya dari tanganku, kemudian berbalik arah menuju meja makan. "Nanti aku anter."

"Enggak usah, aku bisa pulang sendiri."

"Jul....."Reinard menoleh ke arahku, dan saat itu aku melihat sebuah kissmark berwarna merah keunguan di lehernya. Kali ini aku benar-benar tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Aku langsung salah tingkah dan wajahku memanas.

Astaga Julia! Kenapa kau memalukan sekali! Setidaknya kau bisa mengontrol sikap agresifmu agar tidak mempermalukan dirimu sendiri! Ya benar, sudah lama tubuhmu tidak dijamah oleh lelaki, tapi bukan begini caranya. Itu artinya kamu murahan, mengerti?!

"Kenapa?" Reinard tersenyum geli. "Kamu enggak sadar kalau semalam sudah jadi drakula dan gigit-gigit orang?!"

Aku menunduk, dengan tergesa berjalan melewatinya dan duduk di kursi makan.

"Aku enggak inget!" sahutku sibuk mengambil sarapan. Rupanya Reinard sudah membelikanku bubur ayam. Pria itu cukup pengertian sebagai mantan suami.

Reinard menarik kursi di depanku, dan ia duduk di sana. Aku masih melihatnya tersenyum geli. Mungkin ia tau jika aku sudah mengingat apa yang terjadi, hanya saja ia tidak mau memperolokku lebih jauh.

"Kenapa kamu masih tinggal disini?" tanyaku di sela-sela makan.

"Aku nyaman berada disini." Sahutnya.

"Nyaman?" aku menaikkan alisku.

"Ada banyak kenangan denganmu disini. Jadi aku memutuskan tidak akan pernah menjualnya."

"Akh, bulshit."

"Kenapa kau tidak percaya dengan apa yang aku katakan?"

"Karena kau—"

Ponsel yang berada di depan Reinard berbunyi. Aku melihat nama Rena menari-nari di layarnya. Reinard menatapku sesaat sebelum akhirnya mengangkat telepon itu dan menjauh dariku.

Aku menarik nafas gusar. Kau ingin tau Rei, kenapa aku tidak mempercayai semua omonganmu? Ya, salah satunya karena wanita yang menelponmu sekarang.

Aku beranjak dari tempat dudukku. Kembali ke kamar untuk mengambil tas. Tanpa berpamitan, aku meninggalkan apartement yang menyedihkan ini.

****** 

Klandestin 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang