Malam ini, jadwalnya Halilintar menggila di kamar Ice. Ice juga mereog di kamarnya sendiri. Hanya saja, kali ini Halilintar mereog-nya parah sekali.
"Dia. Ngajak. Gue. Fotbar! Cok! Ice. Lo tadi juga denger, kan?"
Halilintar tak mau menunjukkan wajah penuh senyum salah tingkahnya, jadi ia mengubur wajah di bantal bersarung cinamorrol Ice, berteriak sekuat tenaga. Ice hanya menatapnya dengan pasrah, sudah tak tertolong lagi. Ia hanya bisa menikmati mi goreng rendang buatannya sendiri dengan khidmat, sambil menantikan balasan chat dari Blaze. Beda dengan Halilintar, hubungan Ice sudah sedikit lebih maju. Meski masih tak ada status juga. Sama saja gak jelasnya.
"Aduh sumpah capek." Halilintar akhirnya menggulingkan tubuhnya dan berbaring telentang. Otaknya masih belum kapok memutar memori percakapan ia dengan Taufan, mengusap dahinya masih dengan senyuman lebar. "Ada-ada aja. Ada-ada aja hidup."
"Hidup kalo ga musingin PTN ya musingin crush." Ice menanggapi.
"Iya. Anjir. Anjir dah bisa-bisanya gue salting gara-gara tuh bocah. Dia pasang susuk kali ya waktu di Bali?"
Ice mengangkat bahu. "Boleh jadi."
"Kurang ajar banget anjing. Besok pas wisuda gue harus gimana weh?"
"Biasa aja. Jangan keliatan naksir banget."
"Iya tapi gimana? Tadi aja gue kayak, hampir meluk dia."
Ice menggeleng lelah. "Bego."
"Emang. Lo juga. Mau sampe kapan digantung sama anak binsik?"
Satu geplakan mendarat di kepala Halilintar. "Dia beneran suka sama gue aja udah ga mungkin."
Halilintar tertawa menjawabnya. Lalu, ia bangkit duduk. "Ortu lo besok bawa buket, gak?"
"Kayak anak cewek, ih, malu. Gak ah."
Halilintar mengernyit. "Gapapa, kali, cowok dapet buket. Gue jadi pengen ngasih Taufan buket."
Ice melotot mendengarnya.
"Ah, tapi gausah lah ngapain."
Ice menatap Halilintar yang memainkan ponselnya dengan fokus, mungkin sedang mengecek notifikasi yang masuk. Ia masih belum melepas tatapan horrornya dari Halilintar ketika laki-laki itu justru bergelung di sampingnya, sudah siap tidur meski dengan ponsel di tangan.
Ice meletakkan mangkuknya yang sudah kosong di atas nakas, fokusnya kini pindah pada Halilintar. "Lo siapa dan lo apain temen gue Halilintar?"
Halilintar, yang merasa aneh, hanya menanggapidengan lirikan sadis. "Apa sih, is?"
"Ya abisnya lo aneh, tiba-tiba kepikiran ngasih buket. Pas lo naksir sama Kaizo aja nontonin dia basket ga berani. Pas lo naksir gila sama Gempa ngajak fotbar aja malu mampus. Lah ini? Lo mau ngasih buket? Sejak kapan lo jadi cogil gini?"
Halilintar memberengut. "Kan gue bilang gajadi."
"Ya tetep aja."
Halilintar hanya mengangkat bahu. "Gatau juga. Gue pengen aja."
Ice masih belum puas dengan jawabannya. "Ada sesuatu sama yang ini, kan Hal?"
Halilintar hanya berdehem pelan.
"Cerita coba."
Halilintar terdiam lama, lalu menjawab, "Gamau ah."
"Ih, Hali!"
Ice hendak meraih pinggang Halilintar, nyaris menyerangnya lagi. Tapi Halilintar berkelit menjauh lebih cepat, berguling turun ke samping ranjang, menghindari serangan gelitikan Ice.
"Besok kalo lo beneran nikah sama Taufan gue spill kelemahan lo itu, liat aja."
Halilintar hendak marah, tapi malah tersenyum lebar tanpa bisa ditahan. "Jangan gitu anjir."
"Nyengir lu."
"Gaada apa-apa buset. Cuma... Apa ya? Dia kayak tipe gue banget. Pinter, ya walau agak tengil. Kalo punya anak pasti dijahilin terus. Tapi orang pinter pasti pemikirannya juga maju, dan gue mau besok punya anak yang diasuh sama orangtua cerdas. Alias gue sama dia..."
Ngeri, Ice meringis sembari mendesis tak percaya. "Lo udah mikirin mau nikah sama dia?"
Halilintar nampak tak terima dikomentari. Rona kemerahan di wajahnya semakin menjalar hingga ke telinga. "Ya siapa yang engga anjir? Lo emang ga pernah kepikiran nikah sama Blaze?"
Ice menepuk dahinya lelah. Ia membaringkan tubuh di atas ranjang, diikuti Halilintar yang naik dengan takut-takut, cemas Ice akan menggelitik pinggangnya lagi. Tapi tidak, Ice justru memejamkan mata, menempatkan tangan di dahi. Matanya menerawang jauh ke langit-langit kamar, mencoba meraup dan memahami emosi yang tercampur aduk di benak dan pikirannya.
"Engga sih. Gatau juga. Blaze payah kalo jadi bapak. Tapi..." Ice mengerang, menggulingkan tubuh hingga tengkurap, menatap Halilintar yang duduk bersandar pada dipan. "Gatau deh ga ngurus. Kok jadi bahas gue. Lo beneran mau ngasih buket? Kecepetan anjir, kalo maksud lo mau pelan-pelan mah jangan tiba-tiba ngasih buket."
"Ya kan pas kelulusan. Semua orang bakal dapet buket." Halilintar bersikeras, membuat Ice hanya bisa menggeleng pasrah. "Lagian gue bercanda doang. Ga akan gue kasih buket tuh orang, ga berani gue."
"Yaudah fotbar aja kalian."
Halilintar mengangguk, lalu Ice kembali beraring telentang. Mereka sama-sama diam, sama-sama mencoba mencerna beban pikiran masing-masing.
"Naksir orang itu ngerepotin." Halilintar berucap. Ice mengangguk-angguk menyetujuinya. "Taufan ngerepotin."
"Blaze juga."
Halilintar mendesah. Sejujurnya masalah naksir-naksiran begini Halilintar bisa menanggung efeknya. Cuma kadang-kadang pasti kangen, kadang-kadang malu mampus sampai tak mau ngobrol sama sekali. Kadang-kadang cengengesan sendiri karena membayangkan kehidupan menyenangkan bersama sang pujaan hati. Tapi kadang-kadang juga menggalau gila karena satu dua hal, memikirkan bagaimana pengalaman crush LDR yang akan Halilintar jalani. Yang satu di Depok, yang satu di Singapura.
Ia juga jadi memikirkan barangkali Taufan tidak akan memikirkannya seperti ia memikirkan Taufan. Inilah bagian tersakitnya. Inilah sisi menyedihkan dari agenda suka sepihak yang selalu saja Halilintar lakoni. Entah karena dia yang payah dalam hal percintaan atau nasibnya memang apes saja.
Tak pernahkah ada seorang saja yang menyukainya? Tak pernahkah sekali saja, Gempa atau Taufan menatapnya seperti ia menatap mereka? Yah tentu saja, Halilintar masih memikirkan tentang Gempa.
Mungkin sekitar sepuluh tahun lagi, dua nama itu akan tetap bertengger di ingatannya sesegar pertama kali Halilintar mengenali perasaannya pada mereka.
"Gue pengen Gempa sama Taufan inget gue. Paling nggak sedikit lebih banyak dari yang seharusnya."
Ice mendongak, memperhatikan wajah murung sang sahabat tanpa susah-susah merubah postur tubuh. "Gempa udah pasti inget lo. Adek asuhnya-padahal kalian seumuran."
"Gempa ngajak gue foto nggak ya besok?"
Ice mengangkat bahu. "Gatau. Tapi Taufan pasti ngajak."
Halilintar berdecak. "Ya iyalah kocak."
"Gempa juga pasti ngajak." Ice menjeda ucapannya. "Lo masih ada rasa sama Gempa?"
"Nggak. Kayaknya. Udah capek naksir dia. Dia gitu-gitu aja ke gue, kan sekarang juga udah ada cewek."
"Lo menyedihkan banget sih, li."
Halilintar menarik pipi Ice kuat-kuat, membuatnya menjerit kesakitan. "Ngaca anjing."
Ice menggerutu sembari menyamankan posisi untuk tidur, membuat Halilintar justru tertawa dibuatnya. Pantas saja Blaze tergila-gila untuk mengusili sahabatnya yang satu ini. Mungkin besok atau kapan, ia akan menyempatkan diri untuk memukul kepala manusia berapi itu, lalu memarahinya karena tak kunjung mengungkapkan rasa suka pada Ice.
Semua orang bisa mendeteksi sesuatu yang menghubungkan keduanya, perasaan yang tak pernah terucapkan. Hanya saja keduanya terlalu bodoh untuk sadar.
"Tidur, Hal. Besok bakal sibuk kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Message in A Bottle - TauHali
Fanfiction"Jatuh cinta kok, waktu udah kelas dua belas." "Mana pas perpisahan." "Iya, kasihan ya gue." . . Cause you could be the one that I love I could be the one that you dream of Message in a bottle is all I can do Standin' here, hopin' it gets to you sho...